Chapter 17
Andin
terlihat sangat senang saat pertama kalinya ia boleh ikut ke
kantor suaminya. Andin bahkan sangat gugup saat suaminya memarkirkan mobil dan
jadi tidak mau ikut karena malu sudah pernah beli buku bajakan. Tapi tetap saja
Bimo
mengajaknya masuk. Meskipun Andin hanya mengikutinya dan baru pisah saat ke
kamar mandi sementara Bimo menunggu sambil melihat beberapa desain covernya.
"Udah Mas... " ucap andin yang kembali duduk di samping Bimo.
"Eh! Kamu yang cari toilet
tadi ya?" ucap editor naskah Bimo sok akrab dengan Andin.
Andin hanya mengangguk lalu
tersenyum canggung sementara Bimo menatap editornya itu dengan tajam.
"Istri apa sepupu Mas?" tanyanya pada Bimo.
"I-istriku..." jawab Bimo
canggung.
"Katanya kemarin dapet istri
orang miskin, jelek, kampungan... Bidadari gini, kalo gak suka mending kemarin
dari awal kenalin ke aku Mas..."
ucapnya nyeplos begitu saja.
Andin hanya menatap Bimo lalu
menundukkan kepalanya, sementara Bimo langsung menggenggam tangannya.
"Aku gak bilang gitu..."
ucap Bimo menepis ucapan editornya yang tak pernah memakai filter sambil menggenggam tangan Andin.
"Alah, gak usah sok lupa. Tapi
Alhamdulillah
loh, sekarang dah mau nerima... Aku ikut seneng Mas..." ucapnya lagi yang lagi-lagi nyeplos tanpa filter.
Andin hanya diam lalu perlahan
menarik tangannya dari genggaman Bimo meskipun Bimo masih menahan tangannya.
Andin kembali menarik tangannya dan lagi-lagi Bimo masih menahan tangannya dan
menggenggamnya makin erat.
"Kalo gak ada yang penting
lagi, aku mau pulang..." ucap Bimo dengan wajahnya yang menyiratkan ke
khawatiran.
"Aelah buru-buru amat..."
"Ayo pulang!" potong Bimo
dengan menggandeng Andin
keluar.
Andin hanya menunduk sambil
mengikuti langkah Bimo yang cukup cepat berusaha mengimbanginya. Tanpa berkata
apapun. Bahkan saat sampai di mobil Andin
juga hanya diam, tanpa menatap suaminya.
"Jadi belanja gak sayang?
" tanya Bimo lembut setelah mensetarter mobilnya.
Andin hanya mengangguk tanpa
menatap Bimo sama sekali.
"Ke tempat biasa?" tanya
Bimo masih basa-basi yang kembali hanya di angguki Andin.
Bimo langsung diam dan menyetir
sambil berusaha mencari bahan pembicaraan dengan istrinya agar tidak dingin
begini. Tapi sayangnya Bimo tak hangat itu untuk mencairkan suasana, bahkan
sampai di supermarket ia masih belum
bisa mencari pembicaraan yang pas dengan istrinya.
"Sayang, Andin..." panggil Bimo sambil menggandeng Andin.
Andin hanya diam lalu berjalan
masuk ke supermarket setelah
mengambil troli.
"Aku aja..." ucap Bimo
lalu mengambil alih troli yang di
bawa andin. "Andin, aku minta maaf... Dulu kan bilang gitu soalnya belum
kenal kamu, belum cinta kamu kayak sekarang..." ucap Bimo sambil berjalan
bersama istrinya.
Andin hanya mengangguk pelan lalu
mengambil beberapa cemilan, krupuk mentah, dan beberapa bumbu.
"Andin jangan marah ya, ya
sayang ya..." ucap Bimo
sambil merengek pelan karena Andin
masih belum bicara padanya.
Andin lagi-lagi hanya mengangguk,
lalu kembali berjalan mengambil beberapa ceker dan menimbangnya, lalu berlanjut
sosis dan olahan daging lain kesukaan suaminya. Andin juga mengambil beberapa
sayur dan buah.
"Sayang... Kamu masih marah
ya?" tanya Bimo yang kesal dan makin merasa tersudutkan karena permintaan
maafnya hanya di jawab dengan anggukan. Belum lagi andin sama sekali tak bicara
padanya.
Kali ini andin hanya diam mendengar
ucapan suaminya, lalu lanjut membeli beberapa permen untuk di mobil, juga
pembalut. Bimo hanya menghela nafas panjang karena istrinya masih tak mau
bicara. Sampai akhirnya di kasir untuk membayar semua belanjaan.
"Sayang mau ice gak?" tanya Bimo saat
mengantri.
"Aduh! Mbak! Gimana sih!
Jangan norak! Bikin malu aja!" omel seorang wanita paruh baya yang
memarahi ART-nya.
Bimo dan Andin cukup tercekat. Andin yang paling tercekat. Pikirannya
langsung kemana-mana, ada ke khawatiran kalau Bimo dan keluarganya mungkin akan
memperlakukannya begitu juga.
"Mas, apa dulu aku kayak gitu
juga?" tanya Andin yang
tak mengalihkan pandangannya dari ART tadi yang mulai menjauh.
"Hus! Kamu ini ngomong apa?! Enggak lah..." jawab Bimo berusaha
menepis pikiran aneh istrinya.
Andin hanya diam, lalu menunduk dan
menyeka air matanya dengan cepat meskipun suaminya sudah melihatnya.
"Aku jelasin di rumah..."
ucap Bimo lalu memeluk Andin dan mengecup keningnya sekilas.
●●●
Tapi
sayangnya sesampainya di rumah Andin langsung sibuk memasak bersama bu Alin dan Silvia. Meskipun bu Alin dan Silvia hanya menonton saja, sementara Andin yang mengerjakan semua di bantu ART di rumah.
Bimo benar-benar makin merasa tidak
enak hati saat melihat Andin yang masih memasak, meskipun sedang sedih dan
marah begini. Sampai saat makan bersama pun Andin masih melayani bu Alin
dan Silvia, juga
dirinya yang ikut makan bersama.
"Kak, kurang asin nih..."
ucap Silvia pada Andin.
"Oh iya, sebentar..."
jawab Andin yang langsung bangun dan mengambilkan garam untuk Silvia.
"Andin, ambilin mama minum
dingin ya Nak..."
pinta bu Alin
sekalian.
"Aku es teh ya Kak..." pinta Silvia lagi.
"Iya..." jawab Andin lalu
menuruti semua permintaan ipar dan mertuanya.
Sesampainya di meja makan, Andin masih menuangkan air ke gelas
milik suaminya yang kosong. Lalu kembali duduk, tapi belum lama ia duduk Silvia mengibaskan tangannya.
"Kak andin, aku gak suka
parfumnya kak Andin..."
ucap silvia sambil mengelus perutnya dengan wajahnya yang menahan mual.
"Tapi aku... "
"Kak Andin parfumnya apa?" potong Silvia yang masih mengibaskan tangannya.
"Ah, aku ganti baju dulu kalo
gitu..." ucap Andin dengan senyum setelah mencium bau badannya.
Bimo hanya menghela nafas melihat
cara adiknya mengusir istrinya dengan lumayan halus itu untuk tidak makan dalam
meja yang sama dengannya. Tapi Bimo berusaha positiv thinking,
mungkin memang indra penciuman ibu hamil seperti Silvia memang peka.
"Gak di lanjutin makannya?"
tanya bu Alin saat
melihat Bimo yang
menyusul Andin ke
kamar.
"Gak nunggu Andin..." jawab Bimo singkat.
Silvia merasa sedikit mencelos
mendengar kakaknya yang mementingkan Andin. Sedikit rasa kesal, marah dan iri
mulai tumbuh di hati Silvia saat
tau kakaknya yang dingin sudah berubah.
"Apa aku sekecut itu ya..."
gumam Andin yang
beberapa kali menciumi ketiaknya.
"Andin..." ucap Bimo yang langsung menerjang
istrinya dan memeluknya erat, lalu melumat bibirnya dengan begitu bernafsu.
"Emm... Mas..." erang Andin yang sudah di tindih Bimo.
"Aku minta maaf, aku gak bakal
gitu lagi... Aku cinta kamu... Jangan marah lagi..." ucap Bimo
manja sambil merengek meminta maaf.
"I-iya... Lain kali jangan di
ulangi lagi ya..." ucap Andin
lembut sambil mengusap pipi bimo dengan lembut.
"Iya, lain kali aku gak gitu
lagi... Aku minta maaf... " ucap Bimo
lalu menciumi tangan kanan Andin.
Krieettt...
Suara decit pintu kamar Bimo
yang terbuka. Silvia terlihat berdiri di sana lalu cepat-cepat pergi sebelum Bimo dan Andin menyadarinya.
"Pintunya belum di tutup rapat
Mas...
" ucap Andin lembut.
Bimo langsung bangun lalu menutup
pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam setelah menggantungkan tulisan "don't distrub!"
dengan hiasan hati di sekitarnya.
Aku mau cerai, kak Bimo juga harus cerai! Batin Silvia lalu masuk ke kamarnya dan mulai menangis. "Kalo aku nikah, kakak nikah juga. Kalo aku cerai, kakak juga harus cerai! " geram Silvia pelan.