Setelah 10
tahun menjauh dari istana megah keluarga Philips akhirnya hari ini Juwita
kembali kesana. Kepergiannya sebelumnya juga bukan karena diusir oleh keluarga
Philips, namun karena ia dinilai kurang dewasa dan belum siap jika menemani
ibunya bekerja disana. Kali ini setelah insiden hujan-hujanan dengan Tuan Muda Wiliam
akhirnya Juwita bisa kembali kesana, dengan sikap yang lebih terjaga dan
kesiapannya untuk menggantikan salah satu pelayan disana.
“Juwita
bisa kerja setelah pulang sekolah Tuan, Juwita sudah banyak belajar selama di
desa,” ucap Susi, ibu Juwita yang bekerja sebagai kepala pelayan untuk keluarga
Philips selama 5 tahun kebelakang.
Antonio
mengangguk pelan memberi ijin untuk Juwita agar bisa tinggal di rumahnya dan
mulai mempelajari pekerjaannya kelak sacara bertahap hingga ia lulur sekolah.
Juwita dan
Susi tersenyum sumringah setelah melapor pada Antonio. Susi langsung mengajak
juwita ke kamarnya di belakang, lalu mulai mengajak Juwita berkeliling untuk
menunjukkan setiap ruangan dan pekerjaan yang harus ia kerjakan sepulang
sekolah nantinya. Juwita begitu antusias dengan pekerjaan barunya, ia begitu
berharap suatu saat bisa menggantikan Ibunya sebagai kepala pelayan untuk
keluarga Philips dan memberikan kehidupan yang layak untuk Ibunya kelak ketika
pensiun.
“Nanti kamu
ngelapin guci koleksi Nyonya hati-hati, jangan ngelamun. Mahal, nanti pecah
kita bisa di pecat! Paham?!” ucap Susi mewanti-wanti purtinya dengan serius.
Juwita
langsung mengangguk paham dengan raut wajah yang serius. Ia tak ingin membuat
kesalahan dan terusir dari istana megah keluarga Philips lagi atau malah
membuat Ibunya di pecat darisana.
Wiliam
terdiam dalam keterkejutannya melihat Juwita yang kembali ke rumahnya dari
tangga. Langkahnya langsung terhenti, ingatannya pada Juwita yang menemaninya
bermain hujan kembali terlintas di ingatannya. Gadis kecil yang selalu
menatapnya dengan mata berbinar penuh kekaguman, bibir manis yang selalu
tersenyum dan tertawa bersamanya, tangan kecil lembut yang ia genggam sambil
berlarian di taman. Gadis kecil itu kembali datang padanya.
“Juwita…”
gumam Wiliam pelan namun rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk menarik
perhatian Juwita juga Susi yang ada dibawah dan langsung mendongakkan
kepalanya.
Juwita
langsung menunjukkan senyum sumringahnya yang begitu ceria, indah, dan selalu Wiliam
rindukan. Namun baru Wiliam hendak membalas senyumnya tiba-tiba Kartika, ibunya
menuruni tangga melewatinya.
“Ah, ini
Juwita?” tanya Kartika dengan wajah mendongak memandang rendah Juwita dan Susi.
Juwita
langsung mengangguk bersamaan dengan Susi dan sama-sama sudah dalam sikap siap.
“Sudah
mengerti semua aturan disini?” tanya Susi.
Juwita
mengangguk. “Ibu sudah menjelaskannya padaku,” jawab Juwita.
“Termasuk
menjaga agar semua yang ada di rumah ini tidak boleh menjadi topik pembicaraan
saat diluar?” tanya Kartika memastikan.
Juwita
langsung mengangguk dengan senyum bangga yang mengembang.
Kartika
mendengus pelan lalu menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. “Tidak usah
terlalu bangga, pelayan sepertimu sudah seharusnya mengeri itu,” ejeknya lalu
melanjutkan langkahnya.
Wiliam
begitu senang mendengat ucapan Kartika yang mengatakan jika Juwita sekarang
menjadi pelayan di rumahnya. Wiliam begitu senang sampai rasanya ia ingin
berlari ke arah Juwita dan merengkuh tubuh kurusnya itu. Wiliam benar-benar
berbunga-bunga, tak ada hal yang lebih membahagiakannya selain mendengar kabar
jika Juwita akan menjadi pelayan dan tinggal selama 24 jam di rumahnya.
Namun kali
ini Wiliam tak bisa menunjukkan perasaannya sedikitpun. Wiliam sudah 18 tahun
ia tak bisa berlarian dan melompat bahagia bersama Juwita seenaknya lagi. Wiliam
tak bisa mengekspresikan perasaannya lagi dengan bebas, rasanya hanya untuk
senang akan kehadiran Juwita pun seharusnya juga jangan.
Juwita
masih memandangi Wiliam dengan sorot mata penuh kekaguman dan terpesona akan
ketampanan dan wibawa Wiliam yang semakin terpancar. Matanya sempat sama-sama
saling bertatapan dengan Wiliam, namun Wiliam memilih berhenti memandangnya dan
mengabaikannya begitu saja. Senyum Juwita yang masih terukir dengan jelas itu
perlahan menghilang seiring dengan langkah kaki Wiliam yang mengabaikannya.
“Semua
orang berubah, Tuan Muda dulu temanmu. Tapi sekarang bukan lagi, kamu harus
membiasakan dirimu Nak,” ucap Susi lalu merangkul Juwita dan kembali
mengajaknya berkeliling.
***
Wiliam
terus terbayang-bayang pada Juwita. Sorot matanya yang selalu memandangnya
penuh kekaguman, senyum sumringah yang begitu ia rindukan, semuanya akhirnya
kembali lagi pada Wiliam. Hampir selama 10 tahun ia menyesal pernah mengajak
Juwita bermain hujan-hujanan hingga demam dulu, merutuki keegoisannya meskipun
Juwita berkali-kali berkata jangan sampai akhirnya ia di pulangkan ke rumahnya
jauh di tempat yang tak mungkin bisa Wiliam datangi dengan naik sepeda roda
empatnya.
“Aku senang
bisa bertemu Wiliam lagi,” ucap Camila yang bersekolah di sekolah yang sama
dengan Wiliam. “Wiliam hanya mau tersenyum dan ramah padaku jika tidak di
sekolah,” sambung Camila sambil berbisik yang membuat Kartika tersenyum dan
langsung menepuk Wiliam sebagai teguran.
“Aku hanya
mengikuti aturan di sekolah saja,” elak Wiliam yang berusaha bersikap ramah.
“Aturan
selalu bisa di bicarakan, pihak sekolah akan mengerti,” ucap Hilda yang menjadi
ketua komite di sekolah tempat Wiliam dan Camila sekolah.
Wiliam
menundukkan kepalanya lalu memalingkan wajahnya. Ia sudah terlalu bosan dengan
acara minum teh yang rutin di lakukan Ibunya bersama orang tua Camila yang terus
merencanakan pertunangannya, langsung begitu mereka lulus sekolah nanti.
Rasanya terlalu cepat memang, tapi itu sudah waktu terlama yang bisa Wiliam
ulur.
“Aku sudah
memilih beberapa referensi gaun,” ucap Camila berusaha membuat Wiliam tertarik
pada pembicaraannya.
Wiliam
mengangguk. “Kamu pengen aku liat waktu gaun itu di tubuhmu?” tanya Wiliam
sambil menatap Camila.
Camila
mengangguk dengan terus terang. “Bakal bagus kalo kita menentukan semuanya
bersama-sama,” jelas Camila dengan senyum manisnya.
“Bagaimana
dengan besok?” tanya Wiliam to the poin ia sudah tidak sabar ingin
pulang dan memastikan ada Juwita di rumahnya lagi.
“Hmm…
sepertinya sesekali anak-anak bisa kencan sendiri,” ucap Kartika sambil
mengedipkan matanya seolah memberi kode pada calon besannya.
Hilda langsung tertawa kecil setuju dengan ucapan Kartika. [Next]
0 comments