Bab 16 – Selimut
Jalu sempat
kaget begitu ia pulang dan melihat ada seorang gadis di rumahnya sedang duduk
di taman belakang sambil minum es bersama putranya. Gadis dengan rambut yang
begitu indah meskipun potongannya tidak rapi cenderung berantakan. Sedetik Jalu
berharap bila itu adalah Lily. Tapi di saat bersamaan pula ia ingat bila
putranya mengajak temannya kerumah.
“Halo!”
sapa Jalu dari kejauhan.
Alya
mendekat pada Jalu di ikuti oleh Arya yang juga mengenalkan ayahnya pada Alya.
Jalu langsung pergi tanpa mengajak bicara Alya terlebih dahulu karena acaranya
hari ini cukup padat. Mengingat ia akan mengosongkan jadwalnya minggu depan
agar bisa berlibur dengan istrinya.
“Kata Ayah
sama Ibu aku harus kenal sama keluargamu dulu biar mereka gak khawatir aku ajak
kamu pergi,” ucap Arya lalu tersenyum membayangkan bisa berlibur dengan Alya.
Alya
mengangguk dengan alis bertaut sedikit ragu. Ia memang dekat dengan Arya. Tapi
itu 10 tahun yang lalu. Ia masih kecil, Arya juga masih kecil. Meskipun ada
banyak kenangan yang ia miliki bersama Arya dan masih ia ingat sebagai kenangan
terindah dalam hidupnya.
Alya merasa
tidak nyaman. Arya memang kuat, keren, populer, tampan dengan tubuh berototnya,
bahkan kemampuannya di bidang akademi juga tak bisa di remehkan meskipun ia
doyan bertarung di ring. Dalam ingatan Alya, Arya jauh dari yang sekarang. Alya
bahkan masih berharap bila Arya akan tumbuh menjadi remaja bertubuh gempal dan
cupu sepertinya agar bisa saling menguatkan satu sama lain.
Tidak ada
yang salah sebenarnya dengan Arya yang sekarang, hanya saja Alya tak siap
dengan perubahan yang begitu drastis terhadap Arya. Alya ingat sekali dulu ia
berteman dengan Arya karena Arya bocah tercengeng dan penakut di kelasnya.
Bahkan saking penakutnya Arya kecil sampai tak berani mengatakan kalau ia
kebelet pipis dan lebih memilih menahannya hingga ngompol.
Alya yang
mengajari Arya berani mengatakan bila ia butuh sesuatu. Alya juga yang menemani
Arya kemana-mana saat di TK dulu. Bahkan saat mereka di bully dan di lempari
mainan. Alya sangat ingat, ia menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng untuk
Arya.
“Kalo aku
cerita sama Tante kalo kamu temenku waktu TK pasti bakal lebih baik kok,” ucap
Alya lalu tersenyum lembut.
“Oke! Kalo
gitu aku mau cukur. Aku mau keliatan ganteng, rapi, wangi, biar Tantemu makin
yakin sama aku!” seru Arya semangat.
Alya
mengikuti Arya setelah mengganti kimono yang ia pakai dengan seragamnya yang
sudah langsung kering, bersih dan rapi setelah di urus para pelayan di rumah
Arya.
“Nanti kamu
juga rapiin rambutmu biar cantik,” ucap Arya lalu mempersilahkan Alya masuk
duluan kedalam mobilnya.
Alya ingin
menolak. Tapi ia tak yakin pendapatnya akan di dengarkan Arya. Dulu saat TK dan
masih cupu, Arya sudah sulit untuk menuruti ajakan Alya. Apalagi sekarang saat
Arya sudah memiliki segala yang ia perlukan. Tapi Alya cukup memahami Arya dan
memakluminya.
“Dingin?”
tanya Arya yang duduk sabil berselimut dengan selimut bundanya dengan nyaman.
Alya
meringis lalu mengangguk dengan canggung. “Dikit…” jawabnya pelan.
Arya
menatap selimutnya sejenak. Ia tak pernah membagi selimutnya dengan orang lain
sebelumnya. Tapi dengan berat hati ia akhirnya membagi selimutnya dengan Alya
setelah tidak menemukan selimut lain di mobil.
“Itu
selimut Bundaku, kalo aku kangen aku pakek,” ucap Arya setelah memberikannya
pada Alya.
“Kamu lagi
kangen Bundamu?” tanya Alya setelah menerima selimut dari Arya.
Arya
mengangguk lalu menatap ke luar mobil. “Aku setiap hari kangen Bunda,” jawab
Arya.
Alya
mendekat ke arah Arya lalu menyelimuti Arya juga. Alya bingung harus berkata
apa pada Arya. Ia tidak akrab dengan Arya yang baru. Tapi hatinya juga tidak
menolak kehadiran Arya sedikitpun.
Arya
melirik Alya lalu menggenggam selimutnya. Ada rasa hangat di sampingnya ketika
ia berbagi selimut dengan Alya. Arya seolah terpental jauh ke masa
kanak-kanaknya yang duduk bersama bundanya. Tubuh Alya juga tak jauh beda dari
Bundanya yang membuat Arya jadi mengingat bundanya dan semakin ingat saat ia
berbagi selimut dengan Alya.
Arya
menggenggam tangan Alya di balik selimut dalam diam. Ia yang semula cerewet dan
menginginkan ini itu seketika terdiam. Arya merasa ada ruang kosong dalam
dirinya yang sedikit terisi. Alya juga hanya diam dan sedikit bingung kenapa
Arya merindukan Bundanya padahal orang tuanya selalu ada untuknya.
Tapi Alya
menyimpan semua pertanyaan itu dalam hatinya. Ia juga tak masalah dan
membiarkan tangan besar Arya menggenggam tangannya yang jadi terlihat begitu
mungil dalam genggaman Arya. Alya sejenak teringat pada almarhum ayahnya yang
meninggal saat bertugas sebagai prajurit.
Tangan
besar Arya mirip seperti tangan ayahnya dulu. Besar dan hangat, juga berotot
seperti milik Arya. Mungkin sedikit lebih kecil karena jarang berlatih atau
berkelahi seperti Arya.
“Arya, kenapa
kamu suka berantem?” tanya Alya setelah lama diam.
Arya
menatap Alya lalu tersenyum. “Aku pengen kuat biar bisa lindungin kamu, biar
kamu ga usah pasang badan buat jadi tameng, biar bisa jagain orang yang ku
sayangi, biar aku bisa pukul orang yang pernah bully aku dengan bebas,” jawab
Arya menjelaskan alasannya.
Alya ikut
tersenyum lalu mengeratkan genggamannya.
“Aku pengen
berantem sampe orang-orang sadar kalo jadi tukang bully sama sok jagoan itu gak
baik,” lanjut Arya. “Eh malah kamu kena bully aku gak tau,” Arya mendengus.
Alya
tertawa kecil. Arya mengingatkan pada ayahnya dulu sebelum berperang. Ayahnya
juga bilang pada ibunya dan kedua kakaknya yang lain bila ia pergi ke medan
perang sebagai prajurit yang menghentikan adanya perang.
Arya
mengelus tangan Alya lembut lalu kembali menatap keluar. Sementara Alya menatap
Arya seolah ia melihat ada diri ayahnya dalam tubuh sahabatnya di TK ini.
“Nanti kita
makan di sana aja, habis itu aku antar kamu pulang,” ucap Arya tanpa menatap
Alya.