Bab 02 – Menunggu
"Novel romance teenfiction Arya's Journey by dasp.98 original baca gratis di Hidden Gem Author"
Arya kecil
terus menunggu bundanya pulang. Sudah lebih dari seminggu bundanya tak bisa di
hubungi. Meskipun ayahnya memberi kabar bila bundanya masih tidur dan selalu
mengirimkan foto yang Arya cetak dan Arya pandangi tiap malam. Arya tetap
merasa rindu pada bundanya. Arya ingin menceritakan hari-harinya pada bundanya.
“Adek,”
panggil Alma yang datang ke kamar Arya. “Ibu beli ini, Arya bisa belajar
menulis. Nanti kalo Arya bisa menulis sama membaca, Arya bisa tulis cerita Arya
di sini. Nanti Bundanya Arya waktu pulang bisa baca disini. Pasti Bunda senang
sekali kalo tau Arya sudah bisa menulis sama membaca,” hibur Alma yang berusaha
mencarikan kegiatan untuk anak tirinya itu setelah dapat kabar kalau setiap
malam Arya sedih.
“Oh! Iya
aku mau!” seru Arya yang langsung semangat menerima buku dari Alma.
Alma
memanggilkan guru untuk mengajari Arya membaca dan menulis juga mengaji sesuai
permintaan Arya sendiri yang ingin selalu mendoakan bundanya. Alma melihat
betapa rajin dan cerianya Arya di pagi hingga sore hari, tapi seiring
terbenamnya matahari Arya akan kembali murung. Menunggu bundanya yang tak
kunjung pulang lalu menangis di kamarnya sendirian.
“Aku
Kanggen Buna, Aku Kangen Bunnda, Aku Selamanya Sayangi Bundaku,” Arya
benar-benar mencurahkan isi hatinya dalam buku yang di berikan Alma meskipun
banyak typo dan tulisannya masih belum sempurna.
●●●
Alma
mengantar Arya ke TKnya hingga Arya masuk dan duduk di bangku kelasnya. Arya
sudah bilang bila ia bisa sendiri dan akan baik-baik saja. Tapi Alma tetap
mengantarnya masuk karena ingin di sayangi Arya juga seperti Lily. Apa lagi ia
mendapat kabar kalau kondisi Lily makin memburuk dan tak kunjung bangkit dari
koma setelah pengobatan yang ia jalani.
Alma
berusaha mengalihkan perlahan perhatian Arya dari Lily. Arya memang jadi lebih
dekat dengan Alma tapi ia tetap selalu merindukan Lily. Bahkan kedekatannya
dengan Alma juga ia tulis di bukunya dan selalu di tutup dengan kata ‘Aku
Kangen Bunda!’ atau ‘Aku Sayang Bunda’. Posisi Lily tetap tidak tergantikan di
hati Arya.
“Adek, Ayah
minta maaf…” ucap Jalu yang tiba-tiba menelfon Arya dan meminta maaf dengan
suara yang bergetar.
Arya
tertawa mendengar ucapan ayahnya seolah ayahnya sedang memberikan candaan atau
sedang mengerjainya. “Apa sih Ayah, Ayah ngapain kok minta maaf? Bunda mana aku
kangen Bunda,” jawab Arya.
“Bunda
meninggal…” jawab Jalu yang membuat Arya begitu terpukul hingga tak bisa
berkata apa-apa lagi. Alma langsung meraih ponselnya yang di bawa Arya
mengambil alih telfonnya.
Arya masih
tak percaya bila bundanya meninggal. Arya tidak benar-benar paham apa itu
meninggal bahkan kalaupun bocah itu paham ia tetap tak mau mempercayainya. Arya
masih yakin dan percaya bundanya akan pulang dan sembuh seperti janjinya dulu.
“Ini pasti
karena aku belum jadi jagoan, belum pintar, jadi bunda belum pulang iya kan
Ibu?” ucap Arya menolak fakta yang ada.
Alma
memeluk Arya tanpa mampu berkata apa-apa untuk menguatkan bocah itu. Arya
menangis dalam pelukan Alma dengan histeris meskipun ia masih belum bisa
percaya kalau bundanya sudah meninggal. Meninggalkannya di dunia sendirian.
“Aku sudah
tunggu Bunda tiap hari, aku kangen sama Bunda. Aku mau ketemu Bundaku!” jerit
Arya tak terima.
Semalaman
Arya menangis, lalu diam termenung meskipun tetap mau menuruti pengasuhnya yang
memandikannya dan memakaikannya pakaian berwarna hitam dan menyisir rambutnya
dengan rapi. Menjelang siang ayahnya datang bersama mendiang bundanya. Rumahnya
sudah ramai di penuhi keluarga dan kerabat dekat yang menggunakan pakaian serba
hitam. Banyak karangan bunga di halaman rumahnya.
“Bunda, ayo
bangun!” ucap Arya begitu peti bundanya di buka. Dengan tangan kecilnya Arya
berusaha membangunkan bundanya, berusaha membangunkannya dan mengangkat bahu
bundanya agar bangun seperti kebiasaan bundanya yang membangunkannya dengan
lembut di pagi hari.
“Bunda
pembohong! Katanya Bunda mau sembuh! Katanya mau temani aku terus! Bunda
bangun!” teriak Arya sambil menangis dan memukul peti mati bundanya sampai
akhirnya ia lelah dan memeluk bundanya yang tak bergeming. “Aku kangen Bunda!
Aku tunggu Bunda setiap hari, aku sudah jadi anak baik, aku kangen Bunda. Bunda
ngomong! Aku kangen Bunda!” ucap Arya sambil memeluk bundanya.
Keluarga
Jalu yang semula membenci Jalu juga Lily benar-benar iba melihat Arya yang
begitu kehilangan bundanya. Semua yang sempat ingin tidak mengakui Arya menjadi
sadar bila bocah itu tidak bersalah. Perbuatan Jalu dan Lily yang salah, bukan
Arya. Bahkan Arya tidak mengetahui penyebab kematian bundanya apalagi masalalu
orang tuanya.
Arya
berlari ke kamarnya lalu mengambil buku hariannya. “Bunda ini aku bisa menulis,
aku bisa membaca, aku tulis ceritaku buat Bunda, aku mewarnai tidak keluar
garis. Bunda aku sekarang suka main sama Ibu juga, Bunda bangun dong biar bisa
main sama-sama,” ucap Arya sambil menunjukkan bukunya dan membukakan setiap
lembar tulisannya pada bundanya yang diam dengan mata terpejam.
“Adek,
Arya…” Jalu menggendong putranya lalu memeluknya erat.
Arya
menatap ayahnya dengan begitu sedih dan kecewa. “Kenapa Ayah biarin Bundaku
tidur terus?” tanya Arya yang tak dapat di jawab Jalu.
“Ayah minta
maaf Nak, tapi Allah sayang sekali sama Bunda jadi Bunda di ajak ke surga
duluan…”
“Aku juga mau ikut sama Bunda!” potong Arya sambil menghentakkan kakinya.