0
Home  ›  Chapter  ›  The Hot Daddy

Bab 06 – Pencitraan

Bab 06 – Pencitraan-1

Mila masih berdiam di kamarnya setelah membaca dan membahas perjanjiannya dengan Bima, Mila menangis dalam diam sementara Bima tampaknya langsung sibuk dengan ponselnya dan kegiatan politiknya setelah Mila meninggalkan Bima lebih awal.

Mila hanya berharap memiliki suami yang setia dan tidak melakukan poligami, namun juga menyayanginya dan mencintainya dengan tulus. Bukan seperti ini, bukan pria yang hanya fokus pada karir seperti ini yang Mila inginkan.

Bahkan saat Mila pergi ke kamar duluan karena sedih dengan isi perjanjian yang Bima buatpun Bima tak menahannya apa lagi peduli pada perasaannya. Bima benar-benar hanya asik dengan dunianya.

Mila berusaha menenangkan dirinya sekuat yang ia bisa. Mencoba mencari sisi positif lain yang bisa menghiburnya hingga akhirnya Mila tetap bersyukur karena paling tidak ia tidak di poligami dan Bima tetap menafkahinya itu saja. Rasanya itu akan jadi lebih dari cukup untuknya, daripada hidup seperti sebelumnya.

“Mila, siap-siap kita harus pergi,” ucap Bima begitu mobil yang menjemputnya untuk liburan bulan madu datang.

“Sebentar Mas,” ucap Mila lalu buru-buru mencuci mukanya dan buru-buru menyiapkan pakaiannya untuk pergi bulan madu, bulan madu palsu yang disiapkan keluarga Bima.

●●●

Bima menggenggam tangan Mila dan sesekali merangkulnya seolah tanpa jarak dan sudah terbiasa begitu sampai di bandara. Bima tampak begitu ceria dan terlihat bahagia terutama saat sadar bila banyak orang yang diam-diam mengambil gambarnya saat berbulan madu dengan Mila.

“Bersikaplah seperti pasangan sungguhan,” bisik Bima pada Mila lalu mengecup keningnya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Mila mengangguk lalu menggenggam tangan Bima dengan erat. Sepanjang perjalanan ke Bali, Bima juga menjelaskan apa yang harus Mila lakukan. Seperti memamerkan kemesraan, bergandengan tangan, saling merangkul, juga meminta Mila membiasakan diri untuk dipamerkan pada orang-orang yang memiliki pengaruh pada karir Bima atau teman-teman Bima.

Sepanjang perjalanan di pesawat Mila sempat melirik mertuanya yang tidak terlihat akur dan dingin. Bahkan Mila merasa bila mertuanya sedang bermusuhan satu samalain. Tapi ia hanya bisa diam dan tak berani berkomentar.

Sampai akhirnya mereka sampai di hotel. Kejanggalan mulai Mila lihat dengan jelas. Mertuanya memasuki dua kamar yang berbeda tak lama ada seorang wanita muda masuk ke kamar ayah mertuanya dan seorang pria yang terlihat seumuran dengan Bima masuk kedalam kamar ibu mertuanya tak lama setelah ibu mertuanya masuk.

“Keluargaku memang begitu, orang tuaku tidak akur. Tapi mereka tetap tidak mau bercerai karena tidak mau membagi gono-gini. Tidak usah di pikirkan, yang penting kita dapat menutupi semuanya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan,” ucap Bima lalu menarik Mila masuk kedalam kamar untuk kembali mengobrol dengan lebih intens.

“Mas, apa kamu bakal gitu juga?” tanya Mila lalu duduk di sofa di samping Bima.

Bima diam lalu menggeleng pelan. “Aku tidak mau seperti itu, makannya aku menikahimu. Aku lelah melihat orang tuaku selalu bertengkar setiap hari, entah karena cemburu atau karena apa. Tapi itu sudah berlangsung sejak aku masih kecil. Ibuku mulai sibuk dengan bisnis kainnya dan ayahku sibuk dengan karir politik juga bisnisnya, aku sering di abaikan sendiri. Aku terbiasa kesepian, lalu aku masuk politik. Semua orang mendekat padaku dan memberi banyak perhatian. Tapi kemarin aku di tuduh gay karena tak kunjung menikah,” jawab Bima lalu menatap Mila. “Sesimpel itu hidupku, bagaimana denganmu?”

“Em, ibuku istri kedua. Aku anak tunggal kalau dari ibuku saja. Ayahku kurang bisa adil, beliau kurang suka anak perempuan. Jadi yang selalu di banggakan anak-anak laki-lakinya saja,” Mila tersenyum lalu menghela nafas dan menatap langit-langit kamar. “Ibuku jarang bertemu ayah, pembagiannya kurang adil menurutku dan jadi tambah tidak adil saat ayah menikah lagi tanpa sepengetahuan ibuku. Aku benci poligami, terutama bila tidak adil. Tapi ibu selalu menyuruhku sabar dan mengerti keadaan. Hidupku kadang rumit, tapi tidak masalah sekarang aku sudah menikah. Tinggal fokus saja dengan rumah tanggaku,” sambung Mila lalu menatap Bima.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Bima dan Mila terdiam lalu saling menatap satu sama lain mengkasihani satu sama lain lalu memalingkan wajah. Bima mengira jika Mila hidup bahagia di pesantren karena hidup jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan politik yang penat, menjalani kegiatan dengan rukun dan teratur, juga hanya membahas soal agama setiap hari. Ternyata Bima salah.

Mila juga mengira jika Bima adalah orang yang beruntung, memiliki keluarga yang harmonis dan tidak melakukan poligami, tidak perlu berebut kasih sayang, tidak ada pembagian waktu, bebas mengambil pilihan dan memiliki karir yang bagus. Tapi nyatanya Mila salah.

Mila tertawa kecil, menertawakan dirinya yang sudah salah menilai Bima. Rasanya sekarang Mila paham kenapa Bima bisa begitu dingin memandang hubungannya yang sakral ini.

“Kenapa?” tanya Bima yang merasa aneh karena Mila tertawa.

Mila menggeleng. “Tidak,” jawabnya lalu tersenyum menatap Bima.

Bima tersenyum lalu menahan tawanya, Bima sudah salah menilai Mila yang tiba-tiba masuk kamar saat sedang bicara dengannya di rumah sebelumnya. Bima salah mengira jika Mila manja dan cengeng. Sekarang ia tau kenapa Mila bisa menangis atas keputusan di perjanjiannya.

“Oke, apa warna kesukaanmu?” tanya Bima memulai obrolan dengan pembahasan yang lebih ringan.

Mila juga menanyakan hal-hal sederhana sembari menjawab pertanyaan Bima. Membicarakan makanan kesukaan, tempat liburan, hewan favorit, hobi, juga hal-hal sederhana lainnya yang dirasa perlu di ketahui sebagai seorang pasangan.

“Aku suka memasak. Aku akan sering membuatkanmu makanan,” ucap Mila yang di angguki Bima sambil mengangkat sebelah alisnya dengan angkuh seolah meremehkan masakan yang akan Mila sajikan untuknya nanti. 

Bab 06 – Pencitraan-2


21
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share