Bab 15 – Jatuh Cinta
Mila tidak
yakin Bima cukup sehat untuk mengajaknya pergi keluar pagi ini. Semalam ia
sudah banyak mengobrol dengan Bima dan menangis langsung di hadapannya sambil
mengeluarkan segala kecemburuan dan unek-uneknya. Pagi ini Mila merasa jauh
lebih lega dan nyaman.
Entah
karena Mila semalam atau karena inisiatif dari Bima sendiri. Pagi ini Mila
menemani Bima ke kantor DPR, karena ada laporan dan beberapa usulan serta
masukan dari staf ahli Bima yang perlu ia temui di sana. Tidak lama memang
hanya sekitar satu jam, Mila juga tidak masalah jika harus menunggu tapi Bima
menyudahinya dan memilih tidak ikut makan siang bersama dengan staf ahli dan
timnya.
“Kita mau
kemana sih Mas?” tanya Mila begitu selesai.
“Kencan aja
lagi, makan di luar bareng,” jawab Bima sambil memasang sabuk pengamannya siap
menyetir dan bermacet-macet ria.
Mila sudah
membayangkan Bima akan mengajaknya makan siang yang romantis atau paling tidak
ya, yang sedikit keren lah tempatnya seperti di mall atau sejenisnya. Tapi Bima
malah membawanya ke sebuah kafe dan galeri.
Tempatnya
memang mewah yang datang juga terlihat seperti ekspatriat dari negara lain
dengan rambut blonde dan kulit putihnya. Mila jadi sedikit malu datang kesana
dengan gamis dan jilbab besarnya yang terus di lihat.
“Aku gak
suka kesini, tapi katanya disini tempatnya enak buat kencan. Jadi aku ngajak
kamu ke sini,” ucap Bima jujur karena ia tau harga makanan termurahnya di angka
seratus ribu. Itupun hanya kentang goreng.
“Mahal
Mas,” ucap Mila setelah melihat menunya sambil meringis. “Tadi kita makan sama
timmu gapapa loh,” sambung Mila lalu menutup buku menunya.
Bima
menghela nafas. “Spageti sama steak gimana? Nanti kita sharing food?”
tawar Bima yang paham jika Mila tak ingin memesan.
Mila
tersenyum lalu mengangguk dan tersenyum. “Nanti bayarnya pakek uangan bulanan
rumah aja,” ucap Mila.
“Gak, aku
ada uang buat nraktir kamu,” ucap Bima cukup tegas tak ingin mengganggu segala
uang yang ia berikan pada Mila.
Mila
mengangguk lalu kembali tersenyum. “Aku gak minta kencan mahal, tapi makasih
udah di ajak ke sini Mas. Aku seneng,” ucap Mila malu-malu kucing.
Bima
mengangguk dengan wajah yang mulai bersemu tanpa berani menjawab. Ia biasa di
puji bahkan di jilat tiap melakukan kunjungan pada masyarakat. Tapi mendengar
pujian dari Mila terasa berbeda. Ia jadi berdebar-debar dan seperti banyak
kupu-kupu di dalam perutnya.
Begitu
makanan pesanannya datang, Mila langsung membagi pastanya dengan Bima. Bima
juga membagi potongan dagingnya dengan Mila lalu menikmatinya bersama dalam
diam. Mila senang menghabiskan waktu berdua dengan Bima yang sibuk dan Bima
senang karena berhasil memperbaiki hubungannya dengan Mila.
Usai makan
keduanya berfoto bersama dengan bantuan pelayan di taman belakang. Lalu juga di
depan lukisan yang di pajang. Mila tau jika Bima pasti akan mempostingnya
sebagai bentuk pencitraan. Mila sedikit sedih, tapi ia juga senang. Paling
tidak Bima melakukan pencitraan dengannya, bukan dengan wanita lain.
“Eh Bima!”
sapa Ayu yang kaget melihat Bima ada disana bersama Mila.
“Hai,” sapa
Bima singkat. “Yuk Dek!” ajak Bima pada Mila yang selalu ada dalam
genggamannya.
“Duluan
ya…” ucap Mila sambil berjalan bersama Bima menuju mobilnya.
Senyum di
wajah Ayu perlahan memudar, Bima sudah tak bisa ia setir lagi. Perasaan Ayu
jadi sedih, meskipun ia datang bersama salah satu politisi juga dan sudah
melakukan PDKT seminggu terakhir ini. Ayu mengira ia akan membuat Bima cemburu
dengan kedatangannya bersama Yanuar. Tapi rasanya malah ia sendiri yang
terbakar api cemburu itu sendiri.
“Kenapa
Yu?” tanya Yanuar melihat Ayu yang terus melihat Bima pergi berlalu begitu saja
dengan Mila dan tampak menikmati waktunya.
“Ah,
enggak. Kepo aja kok Bima tumben makan di sini,” jawab Ayu.
“Tumben? Mas Bima kan
DPR masak ke sini di bilang tumben,” saut Yanuar heran.
“Bima kan cuma ngambil
gaji pokok doang, tunjangannya gak di ambil selain asuransi kesehatan. Kecil
gaji pokoknya itu. Cuma 4 apa 5 juta gitu kayak PNS biasa dia,” ucap Ayu
blak-blakan soal Bima.
Yanuar mengangguk.
“Dikit banget dong uangnya?” tanya Yanuar yang jadi kepo.
“Dikit, kalo kamu tau
ya. Bima tu antara baik ama oon beda tipis. Dia gak ngambil tunjangan di luar
tunjangan melekat. Jadi kayak yang duitnya gede tuh gak di ambil. Langsung di
kasih ke partai semua, dari tunjangan kehormatan, komunikasi, fungsi
pengawasan, listrik, telfon, asisten anggota, biaya perjaanan. Dia ambil jatah
paling sedikit. Orang timnya dia yang bayarin partai, semua kebutuhannya yang
cover partai…”
“Tapi kan partai dapet
duit dari dia-dia juga…”
“Ya iya sih, tapi Bima
tu kayak gak ngambil untung. Agak heran padahal kalo dia mau dia bisa dapet
banyak proyek loh. Belum lagi sekarang punya istri kan, kadang aku mikir dia
gimana ngidupin istrinya nanti. Mana istrinya gak kerja juga,” sambung Ayu
setelah terpotong.
“Bisa aja Bima ambil
proyek waktu dah nikah, tapi kamu gak tau,” ucap Yanuar memancing kecurigaan
Ayu.
Ayu diam sambil
mengerutkan keningnya. Ayu mengenal Bima dengan sangat baik, apalagi mereka
juga pernah menjalani pendidikan di universitas yang sama. Tentu saja ia sangat
mengenal Bima, tapi belakangan ini Bima memang sudah mulai berubah sejak
menikah. Ucapan Yanuar yang harusnya langsung Ayu bantah, namun Ayu sendiri
juga ragu pada Bima akhir-akhir ini.
“K-kayaknya dia gak
gitu deh Yan…” bantah Ayu dengan ragu.
Yanuar tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Yaudahlah gak usah di bahas, ntar kalo dia main api juga di singkirin sama Ibuk (ketua umum partai),” ucap Yanuar santai.