Bab 21 – Hubungan
Bima sarapan bersama dengan mertua juga istrinya. Menu pagi ini sangat banyak dan bermacam-macam. Meskipun semua menunya bisa di simpan cukup lama seperti sambel teri kacang, kentang mustofa, rendang, tetap saja untuk Bima yang biasa makan masakan Mila yang hanya dua macam saja terasa banyak.
Usai
sarapan Bima langsung berangkat ke kantornya. Sementara Mila di rumah bersama
ibunya. Bima juga sudah memberi ijin jika Mila ingin mengantar ibunya bepergian
atau mengantar ibunya pulang nanti. Bima tau ia tak bisa memberikan banyak
kemewahan untuk Mila, ia hanya petugas partai yang menjabat di DPR bukan
pengusaha. Bima sadar atas keterbatasannya itu, jadi ia juga tak bisa terlalu
mengekang Mila.
“Bima baik
sama kamu kan?” tanya Asih memastikan kesekian kalinya pada Mila.
Mila
mengangguk menjawab pertanyaan yang selalu ibunya tanyakan itu. “Mas Bima
keliatannya aja cuek Bu, aslinya baik kok. Manja juga, tapi karena ada Ibu aja
di rumah jadi malu-malu Mas Bimanya,” jelas Mila sambil tersenyum sumringah
mengingat semalaman Bima yang terus memeluknya sambil menciumi punggung dan
bahunya dari belakang.
“Kalo
keluarganya Bima gimana ke kamu?” tanya Asih kembali memastikan bila putrinya
baik-baik saja.
Mila
terdiam sebentar. “Baik sih, aku gak pernah ketemu lagi sejak bulan madu
kemarin. Orang tua Mas Bima sibuk, keluarganya juga kayak kurang deket satu
sama lain gitu Bu, jadi yaudah aku ga mikir berat-berat, yang penting
hubunganku sama Mas Bima baik, akur, harmonis. Itu aja udah cukup bagiku,”
jawab Mila yang di setujui Asih.
Asih
menganggukkan kepalanya, Asih senang Mila cocok dengan Bima. “Ibu sekarang
mulai pegang bisnisnya Ayahmu, Ibu kebagian jatah pegang ruko oleh-olehnya Ayah,”
ucap Asih yang akhhirnya bercerita maksud kedatangannya menemui Mila.
Mila
langsung tersenyum sumringah, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat sedih.
Mila tau betapa cinta ibunya pada pria yang sudah memadu cintanya itu. Mila
juga tau jika tawaran ruko dan mengelola bisnis adalah cara ayahnya membagi
gono-gini. Ada rasa tidak rela di hati Mila saat tau ibunya yang tersingkir
dalam poligaminya, tapi ada rasa lega juga karena akhirnya ibunya bebas dari
kehidupan toxicnya.
“Ibu
bahagiakan sama pilihan Ibu…” lirih Mila.
Asih
mengangguk sambil tersenyum dan menangis lalu memeluk Mila dengan erat.
●●●
Bima diam
menemani Dandi yang sedang mendengarkan istrinya yang mengomel karena acara PKK
dan acara partai. Bima jadi berpikir dua kali jika ingin memasukkan Mila
sebagai anggota ketika mendengar Maya, istri Dandi yang mengomel tiada henti
dari tadi. Bukannya menenangkan pula sedari tadi Dandi rasanya juga seperti
mengkompori istrinya dan mendukung tiap kemarahannya. Sampai akhirnya Maya
berhenti mengomel setelah 15 menit bicara tanpa henti.
“Udah Mama
sebelnya di tahan aja, Papa juga sebel. Tapi nanti kalo Mama marah orang-orang
pada liat nanti kita jadi keliatan jelek, Mamah sabar-sabarin dulu ya,” ucap
Dandi yang baru membujuk istrinya untuk tenang setelah mengomel cukup lama.
Bima sudah
menebak jika cara itu tak akan berhasil mengingat emosi Maya sudah begitu
tersulut dari tadi. Tapi ia salah Maya terlihat lebih lembut dan lebih kalem
setelah marah-marah pada suaminya.
“Gitu ya
Pah, yaudah deh Mamah sabar-sabarin kalo gitu,” ucap Maya lebih kalem dan bisa
memahami keadaan daripada sebelumnya.
Dandi
langsung tersenyum sambil melebarkan kedua tangannya. Tak selang lama Maya
sudah masuk kembali kedalam dan kembali asik dengan anak-anaknya.
“Kayak gitu
kalo sama istri, di dengerin dulu, kita harus ada di pihak istri, mau bener mau
salah istri tetap bener, baru habis itu di kasih tau. Jangan langsung di kasih
tau, cepet cerai nanti kamu,” ucap Dandi pada Bima lalu masuk kedalam mobil
Bima dan ikut berangkat ke kantor bersama Bima.
Bima hanya
mengangguk paham, mungkin ia juga perlu menerapkan hal yang sama nantinya. Tapi
Mila cukup kalem dan tak pernah mengomel apa mungkin ia bisa semarah dan
secerewet Maya.
“Istriku
kalem,” jawab Bima.
“Itu serem
biasanya kalo marah, istri kalo kalem. Kita aneh-aneh diem, kita cuek sabar,
pokoknya kita gak menyenangkan dia gak marah itu biasanya di tampung dulu
marahnya, jadi begitu dia marah beh!!! Langsung kayak tsunami,” ucap Dandi yang
begitu berpengalaman dengan wanita.
Bima diam
sejenak lalu mengerutkan keningnya. Bima tak bisa membayangkan Mila marah,
apalagi mengamuk seperti Maya yang biasa mengamuk pada Dandi.
“Istriku
kalo marah banget biasanya nangis,” ucap Bima mengingat bila pernah membuat
Mila menangis.
“Itu bahaya
juga, nanti Tuhan yang langsung marah ke kamu. Rejekimu jadi seret!” ucap Dandi.
Bima
langsung tertawa. “Mbak Maya tau kamu pernah deketin si Ayu?” tanya Bima.
Dandi
langsung melotot dan membungkam mulut Bima. “Jangan bilang Maya! Aku gak mau di
cerai sama Maya! Beda istri beda rejeki!”
Bima makin
terbahak-bahak mendengar ucapan Dandi. Bagaimana bisa seorang yang begitu
percaya pada istri dan karma sepertinya masih bisa nekat mencoba selingkuh.
Tapi ucapan Dandi juga masuk akal bagi Bima.
Buktinya
orang tuanya juga tak bercerai meskipun hubungannya sudah begitu buruk. Kalau
tidak karena uang mau karena apa lagi mempertahankannya?
Bima menatap wallpaper ponselnya. Meskipun pada awalnya ia hanya ingin hubungan dengan kepura-puraan saja, tapi belakangan ini ia mulai memikirkan apakah Mila hanya menganggapnya pura-pura juga? Apakah Mila benar-benar menyukainya? Dan…kenapa semakin lama ia semakin merasa terikat dan nyaman bersama Mila?