Bab 03 – Menikah
Mila
memikirkan benar-benar tawaran dari Bima sambil mencari tahu soal pria itu.
Mila mendapatkan cukup banyak infoemasi soal Bima dari internet. Bima cukup
populer meskipun banyak gosip tentang dirinya juga. Tapi terlepas dari itu
semua Mila hanya fokus ingin tau apakah Bima memiliki istri sebelumnya.
Sampai
akhirnya Mila yakin untuk menghubungi Arya dan mengatakan kalau ia siap menikah
dengan politisi muda tersebut.
“T-tapi ada
beberapa hal yang perlu di bicarakan,” ucap Mila di telefon pada Bima.
“Apa?”
tanya Bima tanpa banyak basa-basi.
“Aku tidak
mau di madu, aku tidak suka poligami, aku ingin menikmati kehidupanku juga,”
ucap Mila seblak-blakan yang ia bisa.
“Iya aku
gak poligami, semua bisa kita atur nanti. Kita bisa bikin perjanjian di antara
kita saja. Orang tuaku kurang setuju waktu aku mau buat perjanjian pranikah
sama kamu, tapi kayaknya kamu cukup terbuka sama hal itu. Kita bakal menikah
secepatnya, setelah itu kita bisa mulai membicarakan semuanya secara terbuka,”
jawab Bima tanpa beban.
Mila cukup
kaget dengan Bima yang mampu menuruti permintaannya dan lebih kagetnya lagi
Bima mengatakan kita atur nanti, kita, KITA! Bima memposisikan Mila
untuk ikut mengambil keputusan. Meskipun Mila hanya perempuan dan hanya istri,
Bima sudah akan mempertimbangkan keputusan yang mereka atur bersama.
Ini
sebenarnya wajar dan normal, tapi lingkungan pondok dan keluarganya yang
menganut paham poligami juga mengkultuskan ayahnya sebagai pemegang keputusan
tertinggi membuat Mila jarang mengambil keputusan. Jangankan mengambil
keputusan, suaranya saat berpendapat di dengarkanpun tidak.
Mila yang
awalnya takut dan ragu pada Bima seketika menjadi senang dan yakin padanya.
Mila merasa bila Bima adalah jawaban atas doanya tiap malam. Mila merasa bila
Bima adalah orang yang akan membawanya keluar dari rumahnya yang mengerikan
saat ini.
●●●
Benar saja
tak perlu menunda banyak waktu Bima dan Mila langsung mengadakan pesta
pernikahan. Hanya dengan satu bulan persiapan. Pesta pernikahan yang begitu
meriah meskipun akad nikahnya cukup sakral.
Dari pada
Mila, Asih terlihat lebih bahagia karena hampir sebulan ful Nasir selalu ada
bersamanya. Untuk pertama kalinya juga Asih memiliki foto keluarga sendiri yang
tidak harus rombongan dengan istri yang lain. Asih juga akhirnya memasang foto
wallpaper ponselnya dengan fotonya berdua dengan suaminya itu setelah lama
hanya memasang foto dirinya bersama suami yang hanya di kolase saja.
Pesta kali
ini rasanya seperti Mila sedang mewujudkan mimpi ibunya. Mewujudkan keinginan
ibunya yang sudah lama menahan rindu untuk bermesraan dengan ayahnya walaupun
hanya dalam waktu yang singkat dan Mila tak bisa menjamin setelah pesta usai
apakah ibunya akan tetap di perlakukan dengan baik dan mesra seperti ini.
Setelah
pesta usai, Mila langsung ikut Bima. Mila awalnya ingin di rumah sehari atau
duahari terlebih dahulu, tapi ibunya malah memintanya untuk langsung ikut
bersama Bima. Mila tak menolak karena ingin memberi kesempatan agar ibu dan
ayahnya bisa besama lebih lama dan tidak terganggu atas kehadirannya dan Bima.
●●●
Bima
membawa Mila pulang ke rumah dinasnya. Bima mengajak Mila berkeliling terlebih
dahulu, menunjukkan tiap ruangan yang ada di rumahnya sebelum akhirnya
menunjukkan kamar untuk Mila. Kamar yang bisa Mila gunakan jika ingin sendiri.
“Aku bukan
pria yang melakukan poligami. Aku bukan pria yang bisa adil dengan perasaan,”
ucap Bima lalu masuk ke kamarnya di ikuti Mila. “Kamu boleh kapanpun tidur
disini juga, tapi aku tidak memaksa,” sambung Bima lalu merebahkan tubuhnya di
tempat tidur.
Mila duduk
di ujung tempat tidur. Ia masih canggung dan merasa begitu asing dengan semua
yang ada pada Bima dan hubungan juga statusnya saat ini sebagai istri. Mila
bukan wanita yang polos, Mila juga banyak belajar soal rumah tangga dan
hubungan suami istri.
Tapi tetap
saja ketika Mila di hadapkan pada hubungan suami istri yang sesungguhnya dan di
hadapkan pada rumah tangga yang ia miliki sendiri rasanya aneh. Apalagi ia
mengenal Bima hanya dalam waktu yang sangat singkat.
“Mas, apa
yang kamu harapkan dari aku sebagai seorang istri?” tanya Mila dengan suara
yang pelan dan lembut.
Bima yang
semula rebahan dengan mata terpejam langsung membuka matanya. “Anak, patner,
itu saja. Aku pengen kamu nemenin aku di acara-acara penting, kamu ikut acara
PKK dan acara-acara keperempuanan lainnya, aku cuma pengen terlihat memiliki
pasangan. Itu saja,” jawab Bima jujur.
“J-jadi
bener gosip kalo kamu gay?” tanya Mila pelan.
Bima
langsung bangun dan melotot mendengar Mila menanyakan soal gosip sialan itu
padanya.
“Tidak!
Tentu saja tidak! Aku normal! Kalau tidak normal aku tidak akan menikahimu,”
bantah Bima sebelum pikiran Mila semakin liar menerka-nerka soal dirinya.
“Em…oke,
tidak masalah,” jawab Mila sambil menundukkan kepalanya dan mengangguk.
Bima
beranjak dari tempat tidurnya dan mengambilkan surat perjanjian pranikah yang
sudah ia siapkan lalu memberikannya pada Mila.
“Baca, kalo
ada yang mau di tambah atau di revisi bilang saja. Kalau tidak kamu bisa tanda tangani langsung,” ucap Bima yang di
angguki Mila.
Mila
langsung keluar dari kamar Bima dan pergi ke kamarnya untuk membaca isi surat
perjanjian yang Bima berikan padanya. Sementara Bima kembali istirahat di
kamarnya.
Tapi
bukannya Bima bisa beristirahat dengan nyaman ia malah teringat kembali dengan
jawaban Mila yang ambigu. Oke, tidak masalah. Jawaban sederhana yang
terdengar lain di telinga Bima. Bima langsung merasa jika Mila sedang berusaha
mengatakan, “iya tidak masalah jika kamu gay, aku juga tidak peduli soal itu,”
atau “iya tidak masalah, aku maklum kalo kamu gay”.
“Aish!!!” geram Bima lalu langsung berjalan ke kamar Mila dan berencana untuk membuktikan pada gadis itu kalau ia bukan seorang gay.