0
Home  ›  Chapter  ›  Diplomatic Marriage

Bab 10 – Evander Yang Agung

 

Bab 10 – Evander Yang Agung-1

“Tuan, ini tidak perlu. Jangan perang lagi,” ucap Avena menangis memohon pada Evander hingga bersimpuh di lantai kamar Evander.

“Ini demi kehormatanku, kehormatan keluargaku…”

“Apa gunanya? Berperang terus berperang, menang jadi arang kalah jadi abu…”

“Avena, kemewahan bagi seorang kesatria hanya ada pada martabatnya. Hanya itu yang ku punya. Agar aku tetap punya harga diri didepanmu, didepan keluargamu, didepan Raja Hannes, dihadapan semua masyarakat yang mempercaiku, kali ini saja, mengertilah,” ucap Evander yang ikut bersimpuh sembari menangis memohon pada istrinya.

Avena hanya bisa diam sambil memeluk suaminya. “Aku takut, aku takut tak bisa bertemu denganmu lagi. Aku baru bertemu denganmu lagi, kita baru bersama kembali, kita baru membicarakan soal nama untuk anak kita…”

“Aku akan kembali dengan selamat, seperti biasanya. Aku Evander Yang Agung, aku jendral yang tak tertandingi itu. Percayalah, aku akan kembali dengan selamat dan membawa kemenangan!” ucap Evander meyakinkan Avena.

Avena menangis sejadi-jadinya sembari memeluk suaminya erat-erat. “Suamiku…” lirihnya disela tangisnya.

“Aku janji akan segera pulang, pulang dengan selamat dengan kemenangan. Pegang janjiku, janji seorang kesatria.”

Avena mengangguk sembari melepaskan pelukannya pada Evander secara perlahan. “Aku ingin banyak dipeluk, menggenggam tanganmu, melihat wajah tampanmu ini, jadi harus cepat pulang,” ucap Avena yang meninggikan suaranya agar terlihat lebih tegar.

Evander mengangguk dengan serius lalu mengecup kening Avena dan kembali memeluknya. “Jagalah dirimu, bersembunyilah dengan Margot dan Debie jika kondisinya terus memburuk.”

Avena kembali menangis sembari mengangguk dan menarik tangan Evander untuk mengelus perut buncitnya. “Aku ingin ditemani saat melahirkan,” pinta Avena yang di angguki Evander sembari mengecup keningnya.

***

Raja Hannes berusaha menahan Rhory yang begitu gegabah menantang Evander. Raja Hannes bahkan menunjukkan jika Evander bersungguh-sungguh atas keputusannya pensiun dengan suratnya yang ia antar bersama Avena pagi tadi. Raja Hannes bahkan sudah tak yakin lagi jika kali ini ia akan memenangkan pertempuran besarnya melawan Evander.

Evander adalah jendral perang terbaiknya. Posisinya hampir menjadi panglima jelas mengetahui dengan jelas dan sangat detail dengan segala seluk peluk kerajaan Wilder. Evander yang paling tau seberapa besar kekuatannya dan apa kelemahannya.

Bahkan sudah tersiar kabar jika Evander sudah membuat pertemuan besar dan hingga malam ini masih tak ada satupun kerajaan yang mau bergabung dengannya, bahkan tidak dengan kekuatan militer juga yang jelas langsung merapat pada Evander. Kerajaan Wilder mulai sepi, satu persatu pelayan juga meninggalkan istana dan pergi mengamankan diri juga keluarganya seolah sudah menebak siapa yang akan jadi pemenangnya.

Rhory dengan segala egonya tak peduli dengan kondisinya saat ini. Bahkan ia akan tetap nekat berperang melawan Evander satu lawan satu jika ia tak memiliki pasukan di belakangnya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

***

“Kami akan menjaga Nyonya Calix,” ucap para pasukan yang kebih terbiasa memanggil Avena dengan sebutan Nyonya Calix daripada namanya sendiri dan langsung bersiap menjaga kediaman Evander sementara yang lainnya sudah bersiap mengepung kerajaan yang sudah tak memiliki pertahanan lagi.

Evander Yang Agung ikut dalam barisan garis depan itu. Evander sama bergairahnya dalam perang kali ini. Takatnya untuk memenggal kepala Rhory setelah menghinanya di depan umum juga di depan istrinya membuat darahnya semakin mendidih. Jendral kejam yang sudah lama menjadi jinak dan penuh senyum kembali kejam dan dingin seperti sebelumnya. Tak ada ampunan dan belas kasihan pada sorot mata Evander.

“Pengabdianku, kesetiaanku, pengorbananku, tidak sepantasnya dibayar dengan penghinaan…” gumam Evander pelan sebelum ia memberi isyarat untuk meledakkan dinding pagar yang mengelilingi istana.

Evander melangkah masuk dengan tenang, di ikuti pasukannya yang sudah langsung menyisir seluruh bagian istana. Raja Hannes duduk di ruang kerjanya berhadapan dengan Evander yang mencari Rhory.

“Maafkan adikmu Rhory,” ucap Raja Hannes yang berusaha meredakan amarah Evander.

Evander mengerutkan keningnya. “Dia menghina keluargaku, bagaimana aku bisa diam?”

“Tapi dia adikmu…”

“Bukan!”

“Dulu, kalau aku belum menikah dengan Isabelle mungkin aku akan menikahi Veronica dan bertanggung jawab atas kehamilannya saat itu.”

Evander terdiam ia enggan nama ibunya terus disebut dan di sangkut pautkan dengan keluarga kerajaan seperti ini. Ia bisa bertahan karena kerja kerasnya bukan karena belas kasihan dan itu selalu dipegang teguh oleh Evander.

“Keluarga kerajaan tak mengijinkanku untuk bertanggung jawab, jadi ayahmu yang menanggung semuanya. Dia membesarkanmu dan mau menikahi Veronica dengan begitu lapang dada…”

“Berhentilah membuat omong kosong hanya karena posisimu yang sudah terdesak!” bentak Evander yang tak percaya dengan fakta baru dalam hidupnya.

“Aku tak akan membela diri dengan omonganku. Aku hanya memberitaumu yang sebenarnya untuk mempertimbangkan segalanya,” Raja Hannes tetap coba meluluhkan hati Evander.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Kau tau aku anakmu dan kau tetap membiarkanku sengsara selama ini? Membiarkanku dimarjinalkan dan harus terus dijegal oleh putra kebanggaanmu yang begitu bodoh itu?” tanya Evander yang semakin marah karena ucapan Hannes.

Pedang yang semula hanya akan menebas kepala Rhory kini terayun ke arah Hannes dengan tanpa ampun dan dengan tatapan begitu merendahkan dari Evander.

***

Rhory menunggu Evander di taman tengah yang cukup luas. Orang-orang sudah berkumpul mengelilinginya selayaknya sedang menonton gladiator. Rhory masih dengan keyakinannya untuk bisa menghabisi Evander dalam duelnya. Mengingat dari dulu Rhory selalu menang anggar melawan Evander.

“Sudah lama?” tanya Evander yang datang dengan menggunakan mahkota milik Raja Hannes dengan senyum penuh kemenangannya yang langsung di sambut riuh oleh pasukannya.

“Ayah?!” pekik Rhory kaget dengan apa yang Evander suguhkan padanya.

“Menarilah babi kecil, ayo menarilah dengan pedangmu itu!” seru Evander menghina Rhory.

Rhory mulai menangis dan semakin bertekat untuk menghabisi Evander. Ia mulai mengayunkan pedangnya tanpa arah yang jelas dan dengan mudah di hindari oleh Evander. Tentu saja, karena Evander selama ini hanya mengalah padanya saat bermain anggar maupun hal-hal lainnya.

Dengan sekali gerak tanpa banyak tenaga Evander menjatuhkan pedang yang Rhory gunakan. Rhory coba mengambil pedangnya kembali tapi Evander terlanjur menangkapnya dan langsung memenggal kepalanya tanpa banyak basa-basi lagi.

Semua orang yang semula bersorak saat melihat duel yang Evander dan Rhory lakukan perlahan menjadi hening. Semua berlutut memberi hormat dan menurunkan senjatanya seiring hujan yang turun menutupi tangis Evander.

Menang jadi arang, kalah jadi abu. Evander tak ingin merebut kekuasaan atau mencapainya hingga sejauh ini. Semua terjadi begitu saja. Pagar besar yang mengelilingi kerajaan Wilder di hancurkan. Menandakan tak lagi ada batasan antara bangsawan dan rakyatnya, tak ada lagi perebutan tahta karena jelas raja selanjutnya adalah Evander Calix Yang Agung di dampingi Avena Espen sebagai permaisurinya.

***

Revolusi besar terjadi dimana-mana. Banyak aturan dirubah, perundang-undangan mulai dirumuskan, batas wilayah kembali ditentukan. Tapi tak perlu khawatir dengan ketentraman, karena Evander mengijinkan kerajaan yang dulu Rhory taklukan untuk menentukan pilihannya untuk bergabung atau berdiri sendiri. Tak ada lagi perang besar yang terjadi hanya untuk pemenuhan ego.

“Avena, kau lihat dimana jamku?” tanya Evander yang mencari jamnya.

“Coba cek dilaci,” ucap Avena yang sedang membaca buku di halaman belakang.

Evander kembali ke kamar dan membuka lacinya. Tapi alangkah terkejutnya ia karena kesulitan membuka lacinya dan tak menemukan jam tangannya namun malah menemukan tumpukan surat cinta dari istrinya. Evander tak dapat menyembuntikan rasa senang dan berbunga-bunganya pagi ini.

“Ketemu?” tanya Avena yang menyusul Evander.

Evander menggeleng dengan senyum sumringahnya. “Tapi aku menemukan ini!” serunya dengan ceria.

Avena langsung tersipu malu dan berusaha merebut surat-surat yang akhirnya sampai pada Evander setelah sekian lama.

“Jangan, aku mau membacanya. Aku juga akan membacakannya nanti untuk anak kita!” ucap Evander lalu memeluk Avena dan mencium bibirnya dengan lembut. “Terimakasih…”.

Bab 10 – Evander Yang Agung-2


11
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share