Bab 10 – Evander Yang Agung
“Tuan, ini
tidak perlu. Jangan perang lagi,” ucap Avena menangis memohon pada Evander
hingga bersimpuh di lantai kamar Evander.
“Ini demi
kehormatanku, kehormatan keluargaku…”
“Apa
gunanya? Berperang terus berperang, menang jadi arang kalah jadi abu…”
“Avena,
kemewahan bagi seorang kesatria hanya ada pada martabatnya. Hanya itu yang ku
punya. Agar aku tetap punya harga diri didepanmu, didepan keluargamu, didepan Raja
Hannes, dihadapan semua masyarakat yang mempercaiku, kali ini saja,
mengertilah,” ucap Evander yang ikut bersimpuh sembari menangis memohon pada
istrinya.
Avena hanya
bisa diam sambil memeluk suaminya. “Aku takut, aku takut tak bisa bertemu
denganmu lagi. Aku baru bertemu denganmu lagi, kita baru bersama kembali, kita
baru membicarakan soal nama untuk anak kita…”
“Aku akan
kembali dengan selamat, seperti biasanya. Aku Evander Yang Agung, aku jendral
yang tak tertandingi itu. Percayalah, aku akan kembali dengan selamat dan
membawa kemenangan!” ucap Evander meyakinkan Avena.
Avena
menangis sejadi-jadinya sembari memeluk suaminya erat-erat. “Suamiku…” lirihnya
disela tangisnya.
“Aku janji
akan segera pulang, pulang dengan selamat dengan kemenangan. Pegang janjiku,
janji seorang kesatria.”
Avena
mengangguk sembari melepaskan pelukannya pada Evander secara perlahan. “Aku
ingin banyak dipeluk, menggenggam tanganmu, melihat wajah tampanmu ini, jadi harus
cepat pulang,” ucap Avena yang meninggikan suaranya agar terlihat lebih tegar.
Evander
mengangguk dengan serius lalu mengecup kening Avena dan kembali memeluknya. “Jagalah
dirimu, bersembunyilah dengan Margot dan Debie jika kondisinya terus memburuk.”
Avena kembali
menangis sembari mengangguk dan menarik tangan Evander untuk mengelus perut
buncitnya. “Aku ingin ditemani saat melahirkan,” pinta Avena yang di angguki
Evander sembari mengecup keningnya.
***
Raja Hannes
berusaha menahan Rhory yang begitu gegabah menantang Evander. Raja Hannes
bahkan menunjukkan jika Evander bersungguh-sungguh atas keputusannya pensiun dengan
suratnya yang ia antar bersama Avena pagi tadi. Raja Hannes bahkan sudah tak
yakin lagi jika kali ini ia akan memenangkan pertempuran besarnya melawan
Evander.
Evander
adalah jendral perang terbaiknya. Posisinya hampir menjadi panglima jelas
mengetahui dengan jelas dan sangat detail dengan segala seluk peluk kerajaan
Wilder. Evander yang paling tau seberapa besar kekuatannya dan apa kelemahannya.
Bahkan sudah
tersiar kabar jika Evander sudah membuat pertemuan besar dan hingga malam ini
masih tak ada satupun kerajaan yang mau bergabung dengannya, bahkan tidak
dengan kekuatan militer juga yang jelas langsung merapat pada Evander. Kerajaan
Wilder mulai sepi, satu persatu pelayan juga meninggalkan istana dan pergi
mengamankan diri juga keluarganya seolah sudah menebak siapa yang akan jadi
pemenangnya.
Rhory
dengan segala egonya tak peduli dengan kondisinya saat ini. Bahkan ia akan
tetap nekat berperang melawan Evander satu lawan satu jika ia tak memiliki pasukan
di belakangnya.
***
“Kami akan
menjaga Nyonya Calix,” ucap para pasukan yang kebih terbiasa memanggil Avena
dengan sebutan Nyonya Calix daripada namanya sendiri dan langsung bersiap
menjaga kediaman Evander sementara yang lainnya sudah bersiap mengepung
kerajaan yang sudah tak memiliki pertahanan lagi.
Evander
Yang Agung ikut dalam barisan garis depan itu. Evander sama bergairahnya dalam
perang kali ini. Takatnya untuk memenggal kepala Rhory setelah menghinanya di
depan umum juga di depan istrinya membuat darahnya semakin mendidih. Jendral
kejam yang sudah lama menjadi jinak dan penuh senyum kembali kejam dan dingin
seperti sebelumnya. Tak ada ampunan dan belas kasihan pada sorot mata Evander.
“Pengabdianku,
kesetiaanku, pengorbananku, tidak sepantasnya dibayar dengan penghinaan…” gumam
Evander pelan sebelum ia memberi isyarat untuk meledakkan dinding pagar yang
mengelilingi istana.
Evander
melangkah masuk dengan tenang, di ikuti pasukannya yang sudah langsung menyisir
seluruh bagian istana. Raja Hannes duduk di ruang kerjanya berhadapan dengan
Evander yang mencari Rhory.
“Maafkan
adikmu Rhory,” ucap Raja Hannes yang berusaha meredakan amarah Evander.
Evander
mengerutkan keningnya. “Dia menghina keluargaku, bagaimana aku bisa diam?”
“Tapi dia
adikmu…”
“Bukan!”
“Dulu, kalau
aku belum menikah dengan Isabelle mungkin aku akan menikahi Veronica dan
bertanggung jawab atas kehamilannya saat itu.”
Evander
terdiam ia enggan nama ibunya terus disebut dan di sangkut pautkan dengan
keluarga kerajaan seperti ini. Ia bisa bertahan karena kerja kerasnya bukan
karena belas kasihan dan itu selalu dipegang teguh oleh Evander.
“Keluarga
kerajaan tak mengijinkanku untuk bertanggung jawab, jadi ayahmu yang menanggung
semuanya. Dia membesarkanmu dan mau menikahi Veronica dengan begitu lapang dada…”
“Berhentilah
membuat omong kosong hanya karena posisimu yang sudah terdesak!” bentak Evander
yang tak percaya dengan fakta baru dalam hidupnya.
“Aku tak
akan membela diri dengan omonganku. Aku hanya memberitaumu yang sebenarnya
untuk mempertimbangkan segalanya,” Raja Hannes tetap coba meluluhkan hati
Evander.
“Kau tau
aku anakmu dan kau tetap membiarkanku sengsara selama ini? Membiarkanku dimarjinalkan
dan harus terus dijegal oleh putra kebanggaanmu yang begitu bodoh itu?” tanya
Evander yang semakin marah karena ucapan Hannes.
Pedang yang
semula hanya akan menebas kepala Rhory kini terayun ke arah Hannes dengan tanpa
ampun dan dengan tatapan begitu merendahkan dari Evander.
***
Rhory
menunggu Evander di taman tengah yang cukup luas. Orang-orang sudah berkumpul
mengelilinginya selayaknya sedang menonton gladiator. Rhory masih dengan
keyakinannya untuk bisa menghabisi Evander dalam duelnya. Mengingat dari dulu Rhory
selalu menang anggar melawan Evander.
“Sudah
lama?” tanya Evander yang datang dengan menggunakan mahkota milik Raja Hannes
dengan senyum penuh kemenangannya yang langsung di sambut riuh oleh pasukannya.
“Ayah?!”
pekik Rhory kaget dengan apa yang Evander suguhkan padanya.
“Menarilah
babi kecil, ayo menarilah dengan pedangmu itu!” seru Evander menghina Rhory.
Rhory mulai
menangis dan semakin bertekat untuk menghabisi Evander. Ia mulai mengayunkan
pedangnya tanpa arah yang jelas dan dengan mudah di hindari oleh Evander. Tentu
saja, karena Evander selama ini hanya mengalah padanya saat bermain anggar
maupun hal-hal lainnya.
Dengan sekali
gerak tanpa banyak tenaga Evander menjatuhkan pedang yang Rhory gunakan. Rhory
coba mengambil pedangnya kembali tapi Evander terlanjur menangkapnya dan
langsung memenggal kepalanya tanpa banyak basa-basi lagi.
Semua orang
yang semula bersorak saat melihat duel yang Evander dan Rhory lakukan perlahan menjadi
hening. Semua berlutut memberi hormat dan menurunkan senjatanya seiring hujan
yang turun menutupi tangis Evander.
Menang jadi
arang, kalah jadi abu. Evander tak ingin merebut kekuasaan atau mencapainya
hingga sejauh ini. Semua terjadi begitu saja. Pagar besar yang mengelilingi
kerajaan Wilder di hancurkan. Menandakan tak lagi ada batasan antara bangsawan
dan rakyatnya, tak ada lagi perebutan tahta karena jelas raja selanjutnya
adalah Evander Calix Yang Agung di dampingi Avena Espen sebagai permaisurinya.
***
Revolusi besar
terjadi dimana-mana. Banyak aturan dirubah, perundang-undangan mulai dirumuskan,
batas wilayah kembali ditentukan. Tapi tak perlu khawatir dengan ketentraman,
karena Evander mengijinkan kerajaan yang dulu Rhory taklukan untuk menentukan
pilihannya untuk bergabung atau berdiri sendiri. Tak ada lagi perang besar yang
terjadi hanya untuk pemenuhan ego.
“Avena, kau
lihat dimana jamku?” tanya Evander yang mencari jamnya.
“Coba cek
dilaci,” ucap Avena yang sedang membaca buku di halaman belakang.
Evander
kembali ke kamar dan membuka lacinya. Tapi alangkah terkejutnya ia karena kesulitan
membuka lacinya dan tak menemukan jam tangannya namun malah menemukan tumpukan
surat cinta dari istrinya. Evander tak dapat menyembuntikan rasa senang dan
berbunga-bunganya pagi ini.
“Ketemu?”
tanya Avena yang menyusul Evander.
Evander
menggeleng dengan senyum sumringahnya. “Tapi aku menemukan ini!” serunya dengan
ceria.
Avena
langsung tersipu malu dan berusaha merebut surat-surat yang akhirnya sampai
pada Evander setelah sekian lama.
“Jangan, aku mau membacanya. Aku juga akan membacakannya nanti untuk anak kita!” ucap Evander lalu memeluk Avena dan mencium bibirnya dengan lembut. “Terimakasih…”.