Bab 09 – Tantangan Perang
Avena
dengan bangga menunjukkan perutnya yang sudah sedikit lebih besar pada Evander
di kamarnya. Evander mengikutinya dan tampak begitu senang melihat perkembangan
janin di perut istrinya. Evander jadi merasa selama ini membiarkan Avena
terlalu mandiri dan sedikit khawatir jika istrinya terbiasa tanpa kehadirannya.
“Aku harus
lebih banyak menemanimu mulai sekarang!” ucap Evander penuh keyakinan.
Avena
tertawa kecil lalu mengangguk. “Tapi karena sudah ada Margot dan Debie disini
Tuan bisa lebih tenang. Aku bisa tidur bersama Debie seperti dulu lagi,” ucap
Avena senang.
“Kenapa? Ku
kira setelah ini kita akan tidur bersama di kamarku,” ucap Evander kecewa.
Avena
melongo kaget mendengar Evander memintanya tidur dikamarnya. “Ku kira kau tidak
suka…” lirih Avena sambil tersenyum senang.
“Ah,
bagaimana bisa kau bilang aku tidak suka. Tiap malam aku selalu mendekapmu. Beberapa
waktu belakangan ini aku juga selalu memikirkanmu saat di barak. Membayangkan jika
bisa tidur di rumah bersamamu,” jelas Evander panjang lebar sembari berkacak
pinggang. “Akan ku pindahkan beberapa barangmu ke kamarku, tapi Debie bisa
tidur bersamamu disini juga,” ucap Evander yang langsung di angguki Avena yang
mulai sibuk mengikuti kemana langkah suaminya selama di rumah.
Setelah itu
keduanya mandi berendam bersama sembari menggosok punggung dan Avena
mendengarkan cerita petualangan suaminya dengan seksama.
“Oh iya! Aku
membelikanmu ini,” ucap Evander lalu menunjukkan sepasang anting emerald untuknya.
“Aku di tanya menginginkan apa untuk hadiah, antara kuda dan pedang, tapi aku
memilih ini. Aku mengingatmu terus,” lanjut Evander sembari menunjukkan kalung yang
masih satu set dengan antingnya.
“Indah
sekali!”
“Biar ku
pasangkan,” Evander langsung bangkit dari duduknya dan memasangkan kalung di
leher istrinya.
“Apa ini
hadiah karena aku hamil?” tanya Avena yang membuat Evander tertawa.
“Bukan, ini
karena kita belum bulan madu. Nanti ku pikirkan lagi hadiah apa yang cocok
untuk istriku yang hamil ini ya,” jawabnya sembari mengecup kening Avena.
Debie mengamati
betapa hangat dan romantisnya Evander memperlakukan Avena yang manja dan ia
rasa sulit untuk bisa mandiri itu. Debie sempat khawatir jika Avena tak dapat
di terima dengan baik dan mengalami banyak kesulitan tanpanya. Tapi melihat
Evander yang begitu mencintainya kekhawatiran Debie menghilang.
Melihat
Evander yang hampir selalu memeluk atau mencium Avena, atau berbicara sambil
memperhatikannya dengan penuh cinta membuatnya ikut bahagia. Belum lagi Evander
juga selalu berbicara dengan lembut padanya, membuat Debie semakin tenang
mengingat Avena juga mudah sekali menangis dan sedih hanya dengan bentakan
kecil saja. Evander ternyata memang pasangan yang tepat dan sempurna untuk
Avena, meskipun saat sedang bertugas ia terlihat begitu tegas dan garang. Saat sampai
dirumah bersama Avena, Evander tampak begitu hangat dan penuh cinta.
“Debie, aku
senang kau ada disini bersamaku. Tapi malam ini aku akan tidur bersama suamiku,”
ucap Avena lembut sembari menggenggam tangan Debie.
Debie mengangguk
dengan senang. “Besok aku akan membuatkanmu ikan panggang,” ucap Debie yang
langsung di angguki Avena dengan ceria.
“Avena!”
terdengar suara Evander yang mencari istrinya karena sudah menunggu terlalu
lama.
“Sudah
dulu, aku sudah dipanggil,” pamit Avena. “Iya, sebentar,” jawab Avena lalu
berjalan keluar dari kamarnya.
“Ku kira
kau tidur disana,” ucap Evander lalu menggenggam tangan Avena sambil berjalan
ke kamarnya.
***
Rhory
tampak begitu kesal dan kecewa pada dirinya sendiri. Kondisinya memang jauh
lebih baik dengan segala pengobatan yang ada di Astoria. Mereka benar-benar memiliki
dokter terbaik dan memiliki peradaban yang jauh lebih maju terutama di bidang
kesehatan daripada di kerajaannya. Tapi berdiam diri di Astoria terlalu lama
membuat telinganya semakin panas karena semua orang teris memuja Evander.
Mengingat sekarang
Astoria menjadi sekutu dan keluarga bagi kerajaannya dan berada dalam lindungan
Evander. Kerajaan ini selain jadi lebih aman juga jadi jauh lebih makmur. Rhory
jadi semakin cemburu, selalu begitu setiap kali ia mendapati perbedaan besar
antara wilayah taklukannya dan wilayah taklukan milik Evander.
“Tuan
Evander begitu baik, dia mau melatih prajurit kami juga,” ucap Raja Warren dengan
senyum penuh kebanggaannya.
“Tapi
bukankah kau jadi tidak memiliki penerus tahta jika Avena terus fokus pada
Evander?” tanya Rhory yang coba menghasut.
Raja Warren
tersenyum lalu mengangguk. “Mungkin aku akan menyerahkan tahtaku pada Avena dan
Evander tanpa perlu ada nama Espena di belakangnya. Calix, Espen, Astoria, Wilder
bukan masalah besar. Selama rakyatku sejahtera, keluargaku harmonis, itu sudah
cukup bagiku,” jawab Raja Warren dengan bijak sembari menghela nafas panjang
dan tampak begitu bahagia dan tenang dengan kehidupannya.
Selalu
begitu. Selalu saja orang-orang yang dianggap lemah itu akan menyerahkan
tanggung jawab dan tahtanya pada Evander. Begitu berbeda dengan respon wilayah
yang Rhory rebut dan masih saja ingin melawannya.
Hingga akhir
pemulihan Rhory tiba. Kakinya dapat pulih seperti sedia kala dan dapat kembali
pulang ke kerajaannya. Evander dan Avena tampak ikut hadir di acara kerajaan
dalam penyambutannya sekaligus rapat besar menentukan kandidat raja
selanjutnya.
Berbeda dengan
Rhory yang tiba agar posisinya tidak di rebut. Evander sebenarnya hadir hanya
untuk mengabarkan jika ia akan menjadi ayah dan berencana untuk berhenti
sebagai jendral untuk mengurus bisnisnya. Evander ingin hidup dalam damai, tenang,
harmonis bersama keluarganya. Mengurus bisnis, membesarkan anaknya, bercinta,
mengobrol, menikmati masakan istrinya.
“Karena lebih
banyak wilayah taklukan Evander, rasanya akan lebih baik jika Evander yang
menjadi raja. Tak pernah ada kekacauan sebesar perang dengan kerajaan Hollis
kemarin selama Evander yang memimpin perang,” ucap salah satu bangsawan yang
hadir.
Suasana menjadi
canggung dan dingin. Baik Evander maupun Avena sama sekali tak menyangka akan
jadi rapat yang sengit seperti ini. Avena mengira ia hanya perlu datang untuk
mengumumkan kehamilannya, lalu ia bisa pulang dan berbelanja kebutuhan bayinya
atau berkunjung ke Astoria seperti yang Evander janjikan beberapa bulan lalu.
“Aku
berperang untuk menunjukkan kekuatan kerajaan kita….”
“Lebih
mirip menunjukkan betapa cerobohnya dirimu,” sela yang lain sebelum Rhory sempat
menyelesaikan pembelaannya diiringi tawa dari semua bangsawan dan petinggi militer
yang ada diruangan.
“T-tungu,
maaf semuanya, Yang Mulia. Kami datang kemari hanya untuk memberitau jika kami
akan menjadi orang tua. Aku juga berencana mundur dari jabatanku dan akan
memulai bisnisku,” ucap Evander melerai keadaan.
“Apa ini
saat yang tepat untuk melakukan penyerangan pada kerajaan Wilder?” celetuk raja
dari kerajaan Novalie yang kini menjadi gubernur atas wilayahnya yang sudah di
taklukkan Rhory sebelumnya.
“Kalau Evander
Yang Agung mundur, kami bukan lagi menjadi daerah kekuasaan kerajaan Wilder. Kami
akan mengabdi pada kerajaan Astoria, kudengar Raja Warren tak keberatan jika
Evander Yang Agung menjadi raja disana!” seru raja dari kerajaan Koa yang
ditaklukan oleh Evander dan langsung diizinkan mendirikan banyak sekolah bahkan
mendapat bantuan juga darinya.
Avena dan
Evander saling menatap satu sama lain. Avena sudah takut jika ada perang besar setelah
ini hanya karenanya.
“Kami juga
begitu!” seru raja-raja kerajaan lain yang sudah siap melepaskan diri dari
kerajaan Wilder.
Raja Hannes
hanya bisa geleng-geleng kepala sembari menghela nafas dengan berat. Tujuannya membuat
acara kali ini bukan untuk rapat besar yang mempermalukannya seperti ini. Ia hanya
ingin mengenalkan Priscila calon permaisuri untuk Rhory dan membuat pesta
sambutan sederhana.
“Kita
tentukan saja semua di medan perang, jika kau menginginkan tahtaku. Kita akan berperang!”
ucap Rhory yang tersulut emosinya dan tersenggol egonya sembari mengacungkan
pedang di wajah Evander. “Prajurit kelas bawah yang merangkak bersama kecoa dan
tikus sepertimu tak mungkin menang melawan bangsa Arya sepertiku!” tantang
Rhory.
“Rhory,
jangan begitu…”
“Lihatlah,
Julian Calix Sang Penjilat dan Veronica Sang Gundik! Lihatlah putramu akan ku
permalukan!” ucap Rhory yang semakin menjadi-jadi hingga menghina kedua orangtua
Evander yang sudah mati.
Evander menyunggingkan
senyum di sudut bibirnya. “Kerahkan pasukan, semua yang ingin berada dipihakku,
gunakan baju zirahmu, angkat pedangmu!” seru Evander.
Semua orang
langsung berseru penuh semangat.
“Kita! Kita
yang lemah, kita yang ditindas, kita yang bukan kaum Arya, kita yang dianggap
sebagai masyarakat kelas dua! Mari kita lawan tirani ini!” seru Evander lalu
menggenggam tangan Avena keluar meninggalkan kerajaan dengan segala
kekacauannya.