Epilog
Kabar gembira kembali tersiar dari kerajaan Wilder. Meskipun setelah perang terakhir menyebabkan banyak wilayah yang hilang dari kekuasaannya. Kerajaan ini tampak lebih makmur daripada sebelumnya. Tak ada ketakutan akan perang, atau kekurangan pangan. Evander dan Avena menunjukkan dengan jelas bagaimana seharusnya kerajaan dan keluarga kerajaan memimpin yang sebenarnya.
Kabar
kelahiran putri pertama Evander dan Avena menjadi perbincangan semua orang. Georgina
Calix, putri mahkota yang akan mewarisi segala milik Evander dan Avena
nantinya. Kelahirannya disambut penuh sukacita oleh semua orang. Pesta besar
diadakan selama seminggu. Semua orang merayakan, bahkan termasuk Raja Hannes
juga.
Raja Hannes
yang tak benar-benar dibunuh oleh Evander. Evander hanya mengurungnya di
penjara bawah tanah dan memutuskan untuk mengasingkannya setelah pesta usai. Hanya
itu kemurahan hati yang bisa ia berikan pada Raja Hannes.
“Apa ini
yang dirasakan ibumu dulu…” ucap Raja Hannes setelah lama diam bersama Evander
yang menemuinya untuk terakhir kali sebelum pengasingannya.
“Kenapa kau
membuangku?” tanya Evander yang memerlukan jawaban atas rasa penasarannya.
“Aku tidak
membuangmu, tidak juga membuang ibumu. Aturan kerajaan membuat semuanya jadi
begini. Ibumu tetap menjadi kekasih hatiku sampai kapanpun, aku coba melindunginya
dengan segala yang kubisa. Aku tidak membuangmu, itu alasan kenapa kau bisa
menjadi tangan kananku. Aku ingin tetap terhubung denganmu, dengan ibumu.”
Evander memalingkan
wajahnya, ia paling tidak bisa jika sudah menyinggung soal keluarganya.
“Julian…
pria itu juga mencintai Veronica sama sepertiku. Saat aku mengatakan jika
Veronica mengandung anakku dan Raja saat itu tak setuju dan hendak
memenggalnya. Julian dengan berani mengatakan jika Veronica mengandung anaknya.
Kami sama-sama coba melindunginya. Hanya itu. Lalu semuanya terbongkar saat Isabelle
tau, ia mulai membuat rumor dan diamini semua orang. Persis seperti yang Rhory
katakan.”
Evander
menghela nafas, perasaan menyesal mulai menyelimutinya.
“Tahtaku
memang sepantasnya jadi milikmu. Semua ini memang pantas menjadi milikmu. Aku senang
bisa menebus semuanya, memberikan yang sepantasnya. Aku bangga melihatmu tumbuh
dengan baik, pulang dengan selamat, memiliki istri yang baik, dan anak. Aku
bangga…”
“Berhentilah
mengatakan omong kosong seperti itu,” lirih Evander ketus meskipun sebenarnya
ia merasa hangat dan jadi goyah karenanya.
“Omong
kosong apa? Bukankah aku sudah sering mumujimu? Ini hanya hal biasa yang ku
lakukan padamu seperti biasanya. Evander… kau tetap putraku, tangan kananku,
kesayanganku, kebanggaanku. Maaf aku tak bisa menjadi ayah yang baik,” ucap
Hannes yang tak kuat membendung tangisnya sembari mendekat pada Evander untuk
memeluknya yang terakhir kali sebelum penjaga yang akan membawanya
kepengasingan datang.
Evander
ikut menangis sembari membalas pelukan Hannes dengan sama eratnya. “Maaf…”
lirihnya sebelum akhirnya berpisah dari pria yang selama ini ia layani.
***
“Avena…”
panggil Evander yang mencari Avena ke kamarnya.
Tak ada
jawaban. Evander kembali melangkah mencari istrinya. Ia memerlukan penenangnya,
memerlukan pelukan Avena. Sampai ia menemukan Avena yang baru selesai menyusui
putrinya dan memasrahkannya pada Debie dan Margot.
“Sstt…anakmu
baru tidur,” ucap Avena berbisik sembari memeluk Evander yang sudah
berkaca-kaca dan tampak begitu rapuh.
Evander membalas
pelukan Avena dengan erat lalu menggenggam tangannya ke kamar.
“Sudah?”
tanya Avena lembut.
Evander
mengangguk dengan berat hati. “Aku jadi merasa bersalah…” lirihnya sembari melepaskan
pakaiannya.
Avena
menggeleng dengan cepat sembari menangkup wajah suaminya dengan lembut. “Kuatkan
hatimu, memang ini jalannya. Sudah yang terbaik seperti ini,” ucap Avena
menguatkan lalu mengecup bibir Evander lembut.
Evander
tersenyum getir lalu mengangguk. “Aku mau mandi,” ucapnya yang merasa begitu kacau.
Avena
mengangguk lalu membiarkan suaminya sibuk dengan dirinya sendiri sementara ia
bersiap menghiburnya di tempat tidur malam ini.
Pada akhirnya
tak ada kemenangan dan kedamaian mutlak yang bisa di capai setelah perang. Setiap
darah yang tumpah atas hal itu tetap memerlukan pengorbanan dan
pertanggungjawaban besar. Avena sadar atas hal itu, begitu pula dengan Evander
yang tau jika ini akan menjadi resikonya.
“Tuanku…” lirih Avena menyambut Evander. (Tamat)