Bab 07 – Perintah Raja
Evander
yang baru sampai di pantai langsung masuk ke kamarnya di kastilnya. Tak ada
obrolan dengan pasukannya karena istrinya masih mendiamkannya. Avena pendiam,
tapi jika diam karena marah padanya atau karena kesalahannya begini ia jadi
kalang kabut sendiri.
“Tolong
carikan bunga yang romantis untuk istriku,” pinta Evander pada salah satu
prajuritnya lalu buru-buru masuk ke kamar bersama Avena yang tiduran
memunggunginya.
Evander
menghela nafas berat. Ini baru tantangan yang sebenarnya, menaklukan istrinya
yang merajuk. Sulit, ia tak bisa diajak berdiplomasi jika terus diam, dengan
kekerasan apa lagi. Evander tak mau jika istrinya tiba-tiba minta pulang ke
kerajaannya atau tak mau mendampinginya lagi.
“Avena,
istriku…maaf. Aku tidak bermaksud membentakmu, hanya saja tadi kan masih di
perjalanan. Jangan merajuk begini, bagaimana jika tiba-tiba aku harus turun
berperang dan kau masih marah begini? Nanti aku tidak bisa fokus,” ucap Evander
merayu istrinya.
Avena akhirnya
membalik tubuhnya lalu menatap Evander sejenak. Evander sudah tak tampak marah
lagi, tak semenyeramkan sebelumnya. Evander sudah kembali jadi suaminya yang
menyenangkan lagi.
“Aku
pusing,” lirih Avena sembari menggenggam tangan Evander lalu mengecupnya.
Evander
mengangguk lalu mengecup kening Avena dan mendekapnya. “Nanti kalau sudah tidak
pusing kita bisa pergi keluar, melihat pemandangan, memancing ikan,” ucap
Evander coba menceritakan hal seru yang bisa mereka nikmati.
Avena
mengangguk sembari menyamankan posisinya dalam dekapan Evander. “Aku merindukan
rumahku,” lirih Avena yang seketika membuat Evander kembali merenungkan
kesalahannya dan mulai di selimuti rasa takut.
“Kenapa?
Disini saja,” ucap Evander lembut sembari mengelus punggung Avena.
Avena
mendongakkan kepalanya menatap suaminya. “Aku tidak enak badan,” jawab Avena
sembari tersenyum, tapi Evander merasa Avena mengatakan itu hanya agar bisa
kabur darinya saja.
“Ku
panggilkan dokter,” lirih Evander yang terdengar seperti sedang memohon pada
Avena.
Avena
mengangguk lalu tersenyum dan kembali memejamkan matanya, jika sebelumnya
Evander mengira tidak enak badan hanya alasan Avena. Lama kelamaan ia mulai
merasakan tubuh Avena yang menghangat dan mulai meringkuk di sampingnya.
Evander menyelimutinya lalu melihat Avena yang kembali memunggunginya.
“Tuan…”
lirih Avena.
“Hmm…” saut
Evander yang masih dikamar melihat pemandangan di luar jendela sebelum
menutupnya agar kamar lebih hangat.
“Peluk
aku…” pinta Avena lagi yang langsung di turuti Evander yang langsung memeluknya
dari belakang sembari mencium bahu dan tengkuk Avena.
Evander
hanya diam tak berani banyak bicara sementara Avena juga diam. Tiba-tiba mual
dan pusing juga demam membuatnya kurang bisa menikmati liburannya. Avena
berusaha menyetabilkan kondisinya sembari memikirkan apa penyebabnya bisa mual
seperti ini.
“Mungkin
karena perjalanan…” lirihnya menyimpulkan penyebabnya jadi mual begini.
Evander
mengangguk. Evander menduga Avena mual bukan hanya karena perjalanan tapi juga
karena menahan tangis di perjalanan. Tapi yang mana saja alasannya ia tetap
merasa bersalah.
Pintu kamar
di ketuk, Evander meninggalkan Avena sejenak. Bunga yang ia minta sudah datang
bersamaan juga dengan teh hangat yang sama dengan yang lainnya. Evander yang
membawa sendiri nampan dan bunganya masuk, ia juga memilih untuk melayani
istrinya sendiri.
“Avena…”
Avena sudah
terlelap dalam tidurnya dengan begitu damai dan tenang. Evander memutuskan
untuk mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai lalu kembali tidur di
samping Avena yang lama kelamaan merubah posisinya dan memeluknya dengan
sendirinya.
Rasanya tak
ada waktu yang paling damai dan menyejukkan bagi Evander selain ketika ia
menghabiskan waktunya bersama Avena. Bersama istrinya yang manja dan pemalu,
namun tengah merajuk ini. Menyenangkan, melihat Avena yang selalu ingin
bersamanya dan bergantung padanya. Evander merasa seperti sudah menjadi raja
untuk keluarganya sendiri.
Hingga
malam menjelang, Avena sudah jauh lebih sehat dari sebelumnya. Ia sudah mulai
asik berjalan-jalan di pesisir pantai bersama Evander tentunya. Avena sudah
kembali ceria seperti sebelumnya. Avena juga ikut menikmati ikan dan daging
yang di panggang di kastil. Menikmatinya bersama prajurit yang di ajak serta
oleh Evander.
“Ow tidak
boleh,” ucap Evander yang melihat Avena menggeleng saat ia hendak menikmati
bir.
Orang-orang
menatap Evander heran karena sang Jendral begitu patuh pada istrinya.
“Boleh,
tapi jangan banyak-banyak,” ucap Avena lalu berjalan ke kamar karena tiba-tiba
mual dan pusing kembali.
Evander
yang melihat istrinya berjalan menjauh langsung mengejarnya dan mengikutinya
kembali ke kamar. “Ada apa?” tanya Evander khawatir.
“Pusing,
mual lagi,” jawab Avena pelan sembari berusaha menjaga keseimbangannya.
Evander
menggendongnya dengan sigap sebelum Avena benar-benar kehilangan
keseimbangannya. “Kau benar-benar sakit,” ucap Evander yang cemas dengan
kondisi istrinya.
“Maaf jadi
merepotkanmu Tuan,” lirih Avena yang sudah benar-benar lemas.
Tapi belum
Evander cukup tenang dengan menidurkan istrinya di tempat tidurnya. Tiba-tiba
utusan dari kerajaan datang membawa kabar untuk menghentikan perang yang di
lakukan pangeran Rhory dan penugasan Evander untuk kembali turun ke medan
perang lagi.
“Ada apa?”
tanya Avena yang melihat Evander kembali dengan wajah sedihnya.
“Kita harus
kembali malam ini,” jawab Evander sembari duduk di tempat tidur dan menggenggam
tangan Avena.
“Sekarang?”
Evander mengangguk. “Aku akan bersiap,” ucap Avena sembari berusaha bangun dan
mengenakan mantelnya.
“Aku minta
maaf, ini harusnya jadi waktu terbaik kita.”
Avena
tersenyum lalu menggeleng. “Bagiku setiap waktu yang kita habiskan adalah waktu
terbaik kita, ayo pulang. Pergilah bertugas, aku akan menunggu di rumah.”
“Nanti
setelah tugasku selesai, kita berkunjung ke Astoria ya,” janji terbaik yang
bisa Evander berikan saat ini.
Avena
mengangguk, ia tak banyak berharap sekarang. “Pulanglah dengan selamat, aku
lebih menginginkan itu.”
***
Rhory tak
mau mengindahkan peringatan dari para pasukan dan petinggi militer yang
memintanya menghentikan perang dengan cara kasar seperti ini. Bahkan tidak juga
mengindahkan peringatan Evander sebelumnya yang menyarankan untuk berdiplomasi
terlebih dahulu sebelum menyerang. Rhory lebih ingin segera menunjukkan siapa
dirinya dan betapa kuat kerajaan juga pasukannya daripada segala saran dan
masukan yang ia terima.
Ia ingin
menunjukkan jika Evander tak lebih baik darinya dan tak sepantasnya orang-orang
coba menyamakan Evander dengannya sebagai bangsawan murni penerus tahta. Rhory
ingin secepat mungkin merebut kekuasaan ayahnya dan menerapkan aturannya
sendiri yang memungkinkannya merebut Avena. Bahkan Rhory sudah membayangkan
untuk menghabisi Evander tanpa dasar yang jelas.
“Pangeran
awas!” seru salah satu prajurit yang melihat Rhory mulai di serang.
Rhory yang
masih larut dalam rencananya terkejut dan terjatuh dari atas kudanya, tak
berselang lama karena kondisi yang tak kondusif. Rhory yang jatuh jadi terinjak
kudanya sendiri. Rhory berteriak kesakitan sementara prajuritnya mulai mendekat
untuk melindungi dan membawanya menjauh dari medan perang. Kesempatan itu juga
langsung di manfaatkan musuh untuk menembakkan anak panah ke arah Rhory yang
mengenai matanya.