0
Home  ›  Chapter  ›  Diplomatic Marriage

Bab 08 – Pahlawan Kesiangan

Bab 08 – Pahlawan Kesiangan-1


Avena mendekap erat Evander sebelum bersiap dengan pakaian perangnya. Perasaannya sudah begitu kalang kabut berpisah dari Evander. Sementara Evander merasa senang setelah sekian lama akhirnya memiliki keluarga yang menantinya dengan cemas kembali di rumah. Sudah ada alasan kenapa ia harus cepat pulang sekarang.

“Cepat pulang, aku akan menunggu disini bersama Margot,” ucap Avena yang dengan berat hati melepas suaminya.

Evander tersenyum lalu mengangguk. “Aku janji akan segera pulang…”

“Pulang dengan selamat!” sela Avena sedikit membentak Evander.

Evander tersenyum sambil mengangguk patuh. “Pulang dengan selamat,” jawabnya menirukan perintah Avena. “Kau bisa tunggu disini saja, tidak usah mengantarku keluar,” ucap Evander yang tak mau semakin berat meninggalkan istrinya.

Avena mengangguk. “Tuan aku sangat mencintaimu,” lirih Avena.

“Tentu, aku juga sangat mencintaimu Avena,” jawab Evander lalu mengecup kening Avena dengan lembut sebelum pergi dari sana.

Avena hanya bisa diam dikamar menatap tubuh gagah yang selama ini memeluknya itu pergi keluar begitu saja. Kembali berperang, kembali sibuk dengan urusan militernya, dan Avena hanya bisa diam tinggal di rumah sembari berdoa agar suaminya dapat kembali dengan selamat.

“Margot aku takut…” lirih Avena yang baru pertama kali di tinggal perang.

Margot mengerutkan keningnya, begitu sulit rasanya memberikan menerima Avena. “Semua akan baik-baik saja,” ucapnya singkat lalu keluar untuk membantu Evander bersiap.

***

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“Kau harus menjaga istriku, dia kurang sehat setelah liburaan. Buat dia betah di rumah,” pesan Evander pada Margot berulang-ulang karena paham betul bagaimana sikap Margot yang sulit bersahabat dengan orang baru.

“Baik Tuan,” jawab Margot yang tak berani membantah perintah Evander.

“Aku akan sangat merindukannya,” gumam Evander sebelum bergegas ke kerajaan bersama pasukannya.

Evander terus memikirkan penanganan apa yang bisa ia berikan atas kekacauan yang Rhory sebabkan. Setelah menerima perintah Evander langsung pergi ke kerajaan Hollis. Dikejauhan Evander sudah melihat kobaran api yang besar dari kerajaan Hollis.

“Kabarkan ke kerjanaan Astoria, kita memerlukan bantuan medis,” perintah Evander begitu sampai di barak sembari menulis surat dan menempelkan stampelnya.

Evander langsung menemui Rhory yang tampak begitu mengenaskan. Kakinya patah, matanya juga terkena panah hingga buta sebelah. Ini sangat buruk dan jelas sangat memalukan untuk kerajaan sebesar Kerajaan Wilder.

“Kibarkan bendera putih!” perintah Evander yang langsung memilih untuk menyerah setelah melihat banyaknya korban berjatuhan bahkan anak-anak dan perempuan pun ikut berimbas. Evander begitu prihatin dengan segala yang terjadi.

“Selamatkan yang bisa diselamatkan terlebih dahulu!” perintahnya dengan tegas pada pasukannya. “Utamakan anak-anak dan perempuan!” teriaknya dengan lantang yang membuat Rhory kesal.

Rhory kesal perbuatannya malah membuat Evander mendapat panggung dan sanjungan yang tiada hentinya dari orang-orang.

“Jendral Evander datang!” teriak orang-orang desa bersautan penuh kepanikan. Rhory sudah mengira jika setelahnya Evander akan di hujani anak panah sepertinya. Tapi ia salah, tak berapa lama orang-orang yang semula berteriak panik kini berteriak memanggil Evander meminta pertolongannya.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Semua pasukan juga di kerahkan untuk membuat tenda pengungsian dan mengerahkan segala cara untuk memperbaiki keadaan. Beberapa petinggi militer juga hadir disana, mereka menatap Rhory sebagai bentuk penghinaan atas kerajaan. Meskipun bukan hal yang baik untuk membandingkan, tapi secara alami semua orang akan langsung membandingkan Rhory dengan Evander yang menyerang dengan perhitungan dan tidak asal-asalan seperti Rhory.

“Sekarang siapapun hanya akan melihatnya sebagai anak manja pengacau,” bisik para prajurit yang ikut berperang bersama Rhory yang sudah merasa kehilangan harga dirinya.

***

Avena menunggu kepulangan Evander tiap hari dengan segala kecemasannya. Menatap keluar beberapa kali lalu kembali masuk dan duduk menunggu di sofa ruang tamu dengan cemas tiap malam. Meskipun ketika pagi ia akan menghadapi mual dan pusing yang tak tertahankan, Avena tetap melakukan hal yang sama selama beberapa waktu. Sampai ia menyadari jika kondisinya bukan sebatas mual karena perjalanan tapi karena ada kehidupan baru di dalam tubuhnya.

“Nona…” panggil Margot pelan sembari memberikan semangkuk sup ikan salmon untuk Avena yang sedang menanti Evander pulang. “Belum hari ini,” ucap Margot lembut memberitau Avena jika Evander masih belum pulang malam ini.

Avena tersenyum sambil mengangguk. “A-aku…em…” Avena menghela nafas. “Setelah ini aku akan masuk, aku sangat merindukan suamiku…” jawabnya yang tak lagi kuat untuk menutupi perasaannya setelah tau jika Evander hampir pergi lebih dari sebulan.

Margot terdiam sembari memandangi Avena yang sangat rapuh dan seperti anak kecil yang di tinggal orang tuanya sendirian di rumah selama menunggu Evander pulang.

“Aku mengerti perasaanmu, tapi ini tidak baik untuk kesehatanmu jika terus tidur di sofa,” ucap Margot mengingatkan.

Avena mengangguk lalu mulai menikmati supnya sembari mengelus perutnya yang masih datar di awal kehamilannya. Setelah menikmati supnya Avena masuk ke kamarnya. Avena yang semula tiduran di tempatnya kembali teringat pada Evander. Khawatir jika sewaktu-waktu suaminya datang dan ia tak bisa menyambutnya.

Jadi diam-diam Avena kembali ke ruang tamu sembari membawa kertas dan pena. Dia akan beralibi jika sedang menulis surat saat Margot memarahinya atau memintanya kembali ke kamar nanti. Avena mengambil kertas suratnya juga sebuah amplop ke ruang tamu kembali. Avena bingung ingin menulis surat pada siapa, ia sudah mengirim surat meminta untuk dikirimkan bibit tanaman herbal dan sudah sampai minggu lalu. Sekarang ia jadi bingung harus menulis untuk siapa.

“Ah! Untuk Evander saja!” serunya pelan begitu mendapat ide cemerlangnya.

Maka sejak malam itu setiap malam Avena akan menulis surat untuk Evander. Karena semua surat yang di tujukan pada suaminya akan di antar ke rumah. Avena memutuskan untuk meletakkan suratnya ke laci dikamar suaminya. Avena berpura-pura jika laci yang ada di sebelah tempat tidur Evander sebagai kotak pos yang akan mengantar surat-suratnya pada Evander.

Satu dua hari lama kelamaan Avena melakukannya hampir setiap hari hingga lacinya sulit di tutup atau di buka kembali. Avena ingin meletakkan suratnya diruang kerja Evander, tapi dulu ia dilarang masuk kesana. Jadi ia terpaksa puas hanya dengan meletakkan suratnya di dalam laci.

Hingga hari dimana Evander pulang. Tanpa luka, tanpa pertumpahan darah. Hanya diplomasi sederhana dan kesepakatan yang didapat dengan mutlak dan mudah. Evander juga mengirim Rhory ke Astoria untuk mengobati mata juga tulangnya sesuai dengan perintah Raja Hannes yang enggan bernegosiasi dengan putranya yang keras kepala itu.

Evander terlihat tak bisa menahan senyumnya begitu ia memasuki kerajaannya. “Avena pasti senang,” ucap Evander setelah mendapat telegram jika istrinya hamil dan memutuskan untuk mengajak Debie, pelayan pribadinya ikut serta ke kerajaan Wilder.

“Avena, aku pulang!” seru Evander begitu masuk ke rumahnya.

Avena yang tengah menikmati sarapannya langsung berlari ke pelukan Evander dengan begitu ceria. “Evander! Tuanku!” seru Avena dengan penuh haru memeluk Evander yang pulang dengan selamat.

 

11
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share