24. Topeng Ultramen
Aska dan
Aya duduk bersama di dalam troli dengan mobil di depannya. Kali ini Aska
mempersilahkan Aya yang menyetir duluan karena teringat soal rebutan
Ultramennya yang membuatnya berpisah dari Aya. Aska juga terus memperhatikan
Aya kadang menciuminya juga, kadang memaksa memeluknya hingga sama-sama jatuh.
Aska mudah gemas pada saudarinya yang lebih kalem darinya itu.
Rina tak
bisa berhenti mengabadikan momen Aya dan Aska yang begitu menggemaskan dan
terlihat saling menyayangi itu. Rina benar-benar kagum pada orang tua Aska dan
Aya yang berhasil mendidik anak-anaknya. Belum lagi ketika Aya dan Aska selalu
mau berbagi padahal Rina tak masalah jika harus membawa dua troli dengan
mobil-mobilannya selama belanja.
“Ultramen!”
seru Aska sambil menunjuk topeng ultramen yang tergantung di rak mainan.
Aya
langsung memegangi tangan Aska lalu menggeleng pelan.
“Nanapa?”
tanya Aska dengan alis berkerut pada Aya.
“Tadi kan
sudah bilang tidak boleh minta mainan,” ucap Aya mengingatkan Aska.
Aska
langsung murung. Rina dan suaminya tersenyum melihat Aya dan Aska yang begitu
mudah di atur lalu lanjut berjalan karena Aska tak merengek.
Beni
diam-diam mengambil topeng Ultramen yang Aska tunjuk tadi lalu membayarnya dan
buru-buru ke mobil untuk menyembunyikannya.
“Ma, Papa
mau ke toilet dulu ya,” ucap Rosyid yang tiba-tiba mencari alasan untuk pergi.
Rina
mengangguk lalu memilih nuget dan sosis bersama Aska dan Aya yang masih duduk
di troli.
Rosyid
buru-buru membeli topeng Ultramen lalu membayarnya di kasir dan berlari ke
mobil sambil menelfon Beni meminta kunci mobil. Tapi betapa terkejutnya ia
malah mendapati Beni sudah ada di mobil sambil membawa topeng ultramen yang
sama.
“Beni!”
“Papa!”
Tak lama
keduanya tertawa karena memiliki pemikiran yang sama.
***
Setelah
berbelanja sebelum solat Isya, keluarga Beni sudah sampai di rumah untuk solat
berjamaah. Aska dan Aya ternyata mau ikut solat juga. Meskipun keduanya hanya
ikut gerakannya saja. Tapi itu sudah cukup membuat keluarga Beni kagum.
Mengingat anak-anak tetangga Beni yang sulit di atur dan benar-benar nakal.
“Makan nih
ayam goreng,” ucap Rina menyuguhkan ayam goreng dan sedikit nasi untuk Aska dan
Aya.
Aska dan
Aya makan sendiri di lantai bawah, lesehan bersama Beni. Keduanya tampak
kesulitan dan banyak nasi yang berceceran, tapi keduanya berusaha menghabiskan
makan malamnya. Setelah itu Aya dan Aska cuci tangan dan sikat gigi di bantu
Rina. Aya sudah mengantuk dan minta di peluk Beni yang duduk menonton TV di
ruang tengah.
“Kakak! Aku
punya ini!” seru Aska menunjukkan dua dot yang sudah terisi susu. Tapi Aya
sudah terlelap.
Aska
cemberut lalu ikut memeluk Beni sambil minum susu dan terlelap begitu saja tak
berselang lama. Beni di bantu mamanya memindahkan Aska dan Aya ke kamar. Begitu
di tidurkan di tempat tidur, Aska langsung mendekat pada Aya dan menggenggam
tangannya lalu kembali terlelap.
“Sebenernya
orang tuanya kenapa? Anak baik gini sampe di titipin ke kita?” tanya Rina
begitu keluar dari kamar.
“Bapaknya
dia tu dulu rivalku, Ma. Nih,” Beni menunjukkan bekas jahitan di rahangnya.
“Bapaknya dua bocil itu yang nyambit,” ucap Beni.
Rina
langsung berkaca-kaca lalu mengelus luka di rahang putranya yang sudah lama
sembuh itu.
“Ibunya dua
bocah itu cewek yang dulu aku ceritain kalo pernah di KDRT terus dia nikah muda
itu. Nah itu orang tuanya Si Kembar. Nah kemarin itu si Arman ketauan
selingkuh, mungkin Sofia udah kecewa berat terus nyoba bunuh diri. Dia nyayat
pergelangan tangannya. Terus ini lagi koma,” jelas Beni.
Rina tak dapat
menahan airmatanya, begitu sedih dengan nasip Aska dan Aya.
“Mereka tau
masalah orang tuanya?” tanya Rina memastikan.
Beni
menggeleng dengan ragu. “Harusnya gak tau, tapi waktu ketauan kemarin itu
kepergok gara-gara si Aya pinjem hp Arman. Terus ada chating dari
selingkuhannya.”
“Astaghfirullah!”
pekik Rina lalu mengelus dadanya. “Kasihan banget, terus kondisinya si Sofia
itu gimana?” tanya Rina khawatir.
“Masih
belum sadar. Orang waktu Beni jemput Aya aja dia udah kurus banget, pucet,
kayaknya emang udah ada sakit sebelumnya. Sofia itu baik banget Ma, penyayang,
sabar, pinter masak. Aku gak baik ke Arman, aku cuma baik ke Sofia. Dulu sempet
mau tawuran sama Arman, dia juga yang ngehentiin.”
“Pantes
sih, anaknya juga jadi baik gini. Sofia itu pasti yang pinter ngurus keluarga!”
Beni
tersenyum lalu mengangguk. “Besok aku mau ke rumah sakit ngecek kondisinya
Sofia,” ucap Beni lalu masuk ke kamarnya untuk mengerjakan tugasnya sebelum
tidur.
***
Suara pintu
kamar Beni terbuka tiba-tiba. Beni mengerutkan keningnya karena kebetulan ia
belum benar-benar terlelap. Beni sudah ingin marah jika Mamanya yang masuk
untuk mengganggu tidurnya atau pembantunya yang tiba-tiba masuk kamarnya untuk
mencari perkakas seperti gunting kuku atau semacamnya.
“Om Bani…”
suara Aya terdengar sambil menggoyang-goyangkan bahu Beni.
“Adek!”
seru Beni kaget karena Aya mencarinya di tengah malam yang sudah begitu gelap.
Beni menyalakan lampu kamarnya agar ia yakin jika itu benar-benar Aya dan bukan
penampakan. “Kenapa Sayang?” tanya Beni lalu menaikkan Aya ke tempat tidurnya.
“Kakak
sedih,” jawab Aya pelan sementara Beni kembali mematikan lampunya dan tiduran
di samping Aya.
“Sedih
kenapa Cantik?” tanya Beni lembut sambil menatap Aya yang tidur di sampingnya.
“Halusnya
aku tidak beminjam HP Yayah, Bunda pasti basedih kalena Kakak,” ucap Aya
mencurahkan isi hatinya pada Beni. Airmatanya sudah mengalir lalu mulai
terisak. “Kakak menyesal!” tangis Aya.
Beni
langsung memeluk Aya dan mengelus punggungnya. Sepertinya dugaan Beni salah.
Mungkin Aya memang tidak tau masalah yang sebenarnya, itu bagus. Tapi sayangnya
itu juga menimbulkan masalah baru, karena Aya malah menyalahkan dirinya sendiri
karena ia menjadi penyebab perselingkuhan ini terbongkar.
“Tidak Adek
tidak salah, memang Ayah berbohong. Terus kebetulan HP Ayah di pinjam Adek.
Jadi Bunda lihat semuanya, jadi sedih. Tapi itu bukan salah Adek,” hibur Beni
coba menjelaskan sebaik yang ia bisa.
Aya
mengangguk. “Tapi hati Kakak tetap basedih,” jawab Aya sambil berusaha
menghentikan tangisnya.
Beni
mengangguk lalu mengecup kening Aya. Ia benar-benar marah dan ingin merebut
Sofia sekarang. “Kenapa Adek bilang gitu?” tanya Beni lembut.
“Kan Yayah
bilang, kalena Kakak binjam hp Bunda jadi basedih,” jawab Aya.
Beni
mengerutkan keningnya lalu teringat akan omelan Arman dulu. “Tidak, Ayah bilang
gitu karena sedang marah…”
“Malah
sasama Kakak?” sela Aya yang membuat Beni tak dapat bicara lagi.
“Oh iya
tadi Om Beni beli sesuatu!” seru Beni mengalihkan pembicaraan lalu menggendong
Aya ke garasi mobilnya. “Ini!” seru Beni menunjukkan topeng Ultramen yang tadi
di tunjuk Aska.
“Ultramen!”
seru Aya senang.
“Besok main
sama Abang pakek ini gantian ya,” ucap Beni yang langsung di angguki Aya.
“Terimakasih
Om Bani, Kakak menyayangi Om Bani!”
Beni mengangguk
sambil memeluk Aya. “Iya Kak, Om Beni juga sayang Kakak,” ucap Beni lembut lalu
membawa Aya kembali ke kamar tamu dan tidur bersama Aya dan Aska. [Next]