21. Menginap
Sofia juga memilih
untuk menidamkan Arman dan mengabaikannya. Bahkan hampir setiap malam juga
Sofia enggan tidur bersama Arman lagi. Entah ia yang akan pindah tidur di luar
atau ia yang sulit tidur karena terlalu banyak pikiran.
Arman juga
jelas mencoba menjelaskan semuanya berulang kali pada Sofia. Sudah beribu-ribu
kata maaf juga Arman ucapkan. Tapi Sofia sama sekali tak meresponnya sama
sekali. Bahkan saat Arman menggaulinya juga, Sofia sama sekali tak bereaksi dan
tetap mengabaikannya. Respon ini jelas terasa seperti mimpi buruk bagi Arman.
Tapi Arman juga
tak bisa memaksa Sofia dan perasaannya. Arman sadar ia sudah kelewatan kurang
ajar dan jahat. Arman juga mencoba memberi ruang untuk Sofia menenangkan
dirinya. Tapi hampir setiap malam ia mendengar istrinya menangis terisak ketika
solat dan menyadari jika istrinya semakin hari semakin kurus dengan
kesehatannya yang mulai terganggu pula, Arman jadi sangat khawatir.
“Sayang, aku
ambil toga dulu ya. Besok aku wisuda, kamu inget kan?” tanya Arman yang sama
sekali tak di respon oleh Sofia.
Sofia masih
sedih dan merasa kecewa dengan segala yang Arman lakukan. Segala kejanggalan
yang ia lihat selama ini ternyata adalah pertanda. Namun ia kurang peka dan
berani untuk memahami segala tanda-tanda itu. Sofia kembali menangis dalam diam
lalu ia bangun untuk menghubungi Adi setelah Arman pergi.
Sofia
mengepak barang-barang Aska lalu meletakkannya dalam sebuah ransel. Begitu pula
barang-barang milik Aya. Aska dan Aya hanya memandangi Sofia dengan heran namun
mereka tidak banyak tanya dan asik bermain sampai akhirnya mereka bertengkar
karena berebut ingin menjadi Ultramen.
Sofia
menghela nafasnya, akan sulit menitipkan Aska dan Aya jika keduanya sering
bertengkar. Jadi Sofia kembali memutar otak. Begitu Adi datang ia memberikan
tas milik Aska lalu memeluk Aska sebelum memintanya naik ke motor Adi.
“Abang jaga
diri ya, Bunda ada urusan. Bunda sayang Abang,” ucap Sofia lembut sembari
menciumi Aska.
“Anter ke
rumah Bapak kan?” tanya Adi memastikan tujuannya hanya ke rumah orang tua Arman
saja.
Sofia
mengangguk sambil tersenyum, lalu Sofia menghubungi Beni. Ia sudah benar-benar
kalut sampai bingung harus meminta pertolongan pada siapa lagi. Tak berapa lama
Beni datang, dengan motor maticnya yang biasa ia gunakan untuk beli galon.
“Kakak
cantik, Kakak ikut ke rumah Om Beni dulu ya. Kakak jangan nakal ya, jadi anak
baik ya Sayang,” ucap Sofia yang langsung memberikan tas milik Aya sebelum
menaikkan Aya keatas motor Beni.
“Bunda…”
lirih Aya yang ingin menemani Bundanya.
“Bunda ada
urusan dulu sebentar ya,” lirih Sofia sambil mencium pipi Aya dengan lembut.
“Sof, kamu
gapapa kan?” tanya Beni yang sudah berfirasat buruk melihat permintaan Sofia
yang aneh ini.
Sofia
mengangguk lemas lalu menutup gerbang tanpa menguncinya. Aya melambaikan
tangannya lalu pergi bersama Beni. Airmata Sofia sudah mulai tak bisa di tahan.
Sofia kembali masuk kedalam rumah. Ia melanjutkan tulisannya diatas kertas
untuk anak-anaknya.
***
Beni benar-benar
merasa janggal dan curiga. Ia sempat menelfon Adi, tapi Adi juga merasa ada
yang janggal karena diminta mengantar Aska ke rumah orang tua Arman. Beni
langsung merasakan firasat buruk.
“Ma titip
Aya sebentar,” ucap Beni pada Mamanya sambil terus berusaha menelfon Arman
berkali-kali sampai akhirnya diangkat.
“Oi kenapa?”
tanya Arman santai seperti biasa.
“Aya di
titipin kerumahku, Aska tiba-tiba di anter kerumah orang tuamu. Kamu sama Sofia
kenapa?” Beni langsung to the poin.
“Hah?! Kenapa?”
tanya Arman kaget mendengar ucapan Beni.
“Ga tau!
Sofia keliatan kacau. Aku khawatir, dia kayaknya sendirian di rumah…”
Arman
langsung mematikan sambungan telfonnya dan langsung berlari menuju mobilnya dan
langsung tancap gas pulang tanpa peduli soal pengumuman di kampusnya terkait
pelaksanaan wisudanya besok. Arman benar-benar berusaha secepat yang ia bisa untuk
sampai ke rumahnya.
“Aku gak
tau harus gimana kalo kamu mengkhianati aku…” Arman semakin panik begitu teringat ucapan
Sofia dulu.
“Ku mohon,
jangan ada hal buruk!” ucap Arman merapal doanya seiring firasat buruk yang
semakin menyelimutinya.
Sepi. Rumahnya
benar-benar sepi. Tak ada kegiatan memasak atau keributan dari anak-anak atau
bahkan suara musik dari TV. Benar-benar sunyi dan hening. Pintu depan terbuka,
gerbang tidak di kunci, perasaan Arman semakin buruk. Ia langsung berlari
masuk. Betapa terkejutnya Arman melihat pergelangan tangan Sofia yang sudah tersayat
pisau dapur dan kondisinya yang begitu lemah seiring dengan darah yang terus
mengalir keluar.
“Sofia!”
teriak Arman histeris dan langsung mengambil kain untuk menali pergelangan
tangan Sofia menahan agar darahnya berhenti mengalir. “Sayang! Maaf! Maaf! Jangan
gini, jangan bunuh diri.” Tangis Arman penuh rasa penyesalan sambil menelfon ambulance.
“Kamu
kelihatan bahagia sama Ica, aku pengen kamu bahagia…” lirih Sofia sebelum
kehilangan kesadarannya bertepatan dengan ambulance yang datang menjemputnya.
Arman
menggelengkan kepalanya dengan cepat. Sungguh bukan ini yang ia mau. Ia tak mau
Sofia pergi, ia tak bisa hidup tanpa Sofia. Ia sungguh hanya butuh hiburan
tidak lebih.
“Enggak Sayang,
aku mau sama kamu. Aku janji gak ngulangi lagi,” tangis Arman meminta maaf
namun Sofia masih juga belum sadar. [Next]