22. Strategi
Aska
menghela nafasnya, ia benar-benar menyesal sudah bertengkar dengan Kakaknya. Aska
menyesal sudah tidak mau gantian menjadi Ultramen tadi. Aska menyesal selalu
meminta Aya untuk berperan sebagai monster. Aska jadi kesepian sekarang.
“Kenapa
sedih, Bro?” ranya Cecil pada keponakannya itu.
Aska hanya
menghela nafas lalu berguling memunggungi Cecil. Aska merindukan Aya, Aska
merindukan Aya yang biasanya akan selalu bersamanya setiap saat. Aska menyesal
ia tidak bisa menjadi Abang yang baik untuk Aya.
“Halusnya kalo
Bunda bilang suluh bagantian, aku nulut,” sesal Aska pada Cecil yang hendak
pergi ke rumah temannya untuk belajar kelompok.
Cecil tidak
paham apa yang di alami Aska dan kenapa ia sampai berpisah begini. Tapi yang
jelas pasti Aska sudah sangat nakal sampai ia di pisah dari kembarannya begini.
“Makannya
kamu jangan nakal, kalo di kasih tau nurut. Kan jadi gak bisa bareng sama Aya,”
ucap Cecil menasehati Aska lalu duduk di sampingnya sambil memeluk keponakannya
itu.
Aska
menangis sambil memeluk Cecil. “Aku kangen Kakak!” tangis Aska sambil memeluk
Cecil.
Cecil
mengelus punggung Aska sampai Aska berhenti menangis. “Nanti ya tunggu ada Akung
dulu ya, nanti bilang oke,” ucap Cecil menenangkan Aska.
Aska
mengangguk sambil menyeka airmata dan ingusnya sendiri. Cecil berlari keluar
meminta anak buah Papanya untuk mengawasi Aska terlebih dahulu sebelum ia pergi
kelompok. Sampai Papanya nanti pulang. Sementara Samud sendiri sedang menemani
Arman dan Sofia di rumah sakit tanpa sempat memberitahu Cecil atau anak buahnya
yang lain.
“Kakak
Cecil mau kamana?” tanya Aska yang berlari mengejar Cecil sampai di depan
gerbang.
“Mau
belajar, Aska di rumah!” teriak Cecil sambil menggoes sepedanya.
Aska
langsung cemberut sedih dan murung lagi. Aska berjongkok di depan gerbang
menunggu Cecil, Akung, atau Kakaknya datang. Aska benar-benar sedih dan
kesepian, tak berselang lama Aska menangis lagi sambil memegangi pagar yang
membuat para preman anak buah Samud panik dan kaget karena merasa tidak
melakukan kesalahan apapun yang membuat Aska menangis.
“Abang kenapa
nangis? Aduh! Jangan nangis lah Bang, dikira penculik nanti Bang!”
Tapi Aska
tetap menangis.
***
Aya menatap
Rina, Mamanya Beni, sambil bersembunyi di balik sofa. Rina menghela nafas tak
menyangka si bungsu yang tengah menjomblo ini bisa pulang membawa balita
berusia 2 tahun ke rumah. Beni memang tak meminta persetujuan dari mamanya
sebelumnya soal keputusannya membawa Aya atau membantu Sofia. Tapi tadi Beni
sempat mengatakan jika Aya adalah anak dari temannya, hanya sebatas itu dan
belum ada pembicaraan lagi.
“Adek
namanya siapa?” tanya Rina mulai mendekati Aya.
“Kakak Aya…”
jawab Aya malu-malu.
Rina
tersenyum mendengar jawaban Aya yang mengklaim dirinya seorang Kakak. “Lucunya
Kakak Aya,” ucap Rina lalu duduk di sofa tempat Aya bersembunyi. “Eh cantiknya jaket
Kakak Aya!” puji Rina begitu sadar jaket yang Aya gunakan adalah jaket yang di
beli Beni beberapa waktu lalu.
Aya
langsung keluar dari persembunyiannya dan menunjukkan jaketnya dengan bangga. “Iya,
ini yang kasih Om Bani sasayanganku!” jawab Aya yang membuat Rina tertawa kecil
mendengar jawaban Aya yang terdengar menggemaskan.
Aya berlari
mengambil helemnya lalu memakainya sendiri. “Nah bagini, jadi cantik dan aman
sakali!” Aya memperagakan setelan helem dan jaket pemberian Beni padanya.
“Pintarnya
Kakak Aya!” seru Rina heboh karena baru kali ini melihat balita secerdas Aya.
***
Beni akhirnya
sampai ke rumah sakit begitu mendapat kabar dari Adi yang di minta untuk
menutup pintu rumah Arman. Arman menangis di ruang tunggu bersama Papanya. Beni
sudah deg-degan dan khawatir jika Sofia bunuh diri atau ada hal buruk lain yang
menimpanya hingga Arman sehisteris ini.
“Aya di
rumah sama Mamaku, Man,” ucap Beni memulai pembicaraan lalu duduk disamping
Arman.
“Sofia mau
bunuh diri Ben,” ucap Arman lalu menyeka airmatanya sembari mencoba menguatkan
hatinya.
“Hah?! Astaghfirullah!”
Bahkan Beni yang jarang istighfar sampai nyebut karena kejadian ini.
“Waktu aku sampai
rumah, pergelangan tangannya udah sobek…” Arman kembali menangis. Ia benar-benar
menyesali segala perbuatannya hingga mendorong Sofia jadi sejauh ini.
Beni terdiam
lalu bangun melihat Sofia yang sudah di infus dengan tangan yang di perban,
lengkap dengan alat pengukur detak jantungnya juga di ruang ICU. Beni langsung
mengusap airmatanya melihat Sofia yang terbaring tak sadarkan diri sendirian didalam
ruang ICU.
Arman masih
menangis dan tak kunjung bisa menenangkan dirinya yang di liputi kecemasan. Beni
kembali melihat Arman. Tak ada orang yang lebih Beni benci di muka bumi ini
selain Arman saat ini. Melihat Arman yang menangis malah membuat Beni semakin
kesal dan ingin menghantam kepalanya sampai hancur.
Bahkan
ketika banyak orang menaruh simpati pada Arman yang di anggap sebagai pria yang
setia dan idaman. Beni tetap memandangnya rendah dan merasa jika Arman tak
berhak atas Sofia maupun anak-anaknya.
“Setia…huh…setia
darimananya?!” sinis Beni lalu pergi kerumah orang tua Arman untuk mengambil
Aska dari sana agar ia bisa lebih mudah merebut hati Sofia.
Beni
menginginkan Sofia dan anak-anaknya. Terlepas dari hubungannya dengan Arman,
Beni tak peduli. Ia tetap menginginkan Sofia, meskipun itu artinya ia harus
menghalalkan segala cara.
“Abang!”
panggil Beni dengan ceria begitu masuk gerbang rumah Samud.
“Eh Bang
Beni,” sapa anak buah Samud.
“Bang, mau
jemput Aska. Kebetulan Aya juga di rumahku,” ucap Beni pada anak buah samud
yang langsung membawakan tas dan perlengkapan Aska karena sudah kelewat lelah
menjaganya yang terus saja menangis.
“Om Bani
mau ajak aku kemana?” tanya Aska yang pasrah ketika di pakaikan helem.
“Mau pulang
ke rumah Om Beni lah, Kakak Aya kan disana juga!” jawab Beni yang langsung
membuat Aska tersenyum sumringah.
Ambil hati
anaknya lalu kuasai ibunya, batin Beni yang sudah menyusun strategi. [Next]