"Kamu benar-benar
malaikat rupanya... " ucap Marco yang menyambutku dengan hangat.
Tangannya
menggenggam tongkat bantu jalan, kepalanya di penuhi uban. Jalannya juga
gemetar padahal usianya belum setua aku. Kulitnya juga keriput, matanya juga
sudah memakai kacamata yang sangat tebal.
"Marco,
kamu yang terlalu cepat tua... " jawabku lalu memeluknya. "Apa kau
akan mengajakku gulat lagi? " tanyaku menggoda nya, mengingatkan masa muda
kami.
Marco hanya
tertawa lalu membawaku masuk ke rumahnya yang begitu hangat dan nyaman. Ada
anak-anaknya dan cucu-cucunya yang terlihat sedang berkumpul di sana. Istrinya,
Gracia. Juga terlihat sudah sangat rentan dan tua, bahkan sampai sudah memakai
kursi roda begitu.
"Ini
primadona kampusnya dulu ya? " tanyaku pada Gracia yang duduk di kursi
roda sambil menonton tv.
Ia hanya diam
tak menoleh padaku, sampai aku menyentuh bahunya. Ia tersenyum lalu menyalimiku
dan kembali menatap tv yang memutar iklan itu.
"Dah pikun,
dah banyak lupa... " jelas Marco lalu membawaku masuk ke ruangannya dengan
sangat lambat. "Jangan di godain, istriku itu... " ucapnya padaku
sambil tertawa.
Aku langsung
tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja guyonan tua bangka ini.
"Ada apa?
Paspor baru? " tanyanya paham dengan apa yang ku butuhkan.
"Ya,
seperti biasa. Tolong di urus... " jawabku.
Marco hanya
mengangguk lalu tersenyum. Ia terus menatapku setelah menulis apa yang ku
butuhkan.
"Kamu apa
gak bosen muda terus? " tanyanya padaku.
Aku hanya diam
lalu menatapnya.
"Aku pengen
muda lagi, tapi aku lebih pengen mati sama gracia. Hidup isinya gitu-gitu aja.
Bosan... " ucapnya lagi lalu menghela nafas. "Apa kamu gak bosan?
" tanyanya.
Aku hanya
mengangguk sambil menghela nafas dan mengusap wajahku.
"Apa kamu
bakal gini terus sampai nanti? " tanyanya penasaran.
Aku kembali
mengangguk lalu menatapnya.
"Aku turut
berduka dengan nasipmu... " ucapnya dengan wajahnya yang tampak sedih.
Senyum
tersungging di bibirku. Belum ada manusia yang mengkasianiku. Baru ini ada yang
begitu. Rata-rata dari mereka menganggap ini berkah. Muda, tampan, sehat, bugar,
dan hidup selamanya. Bukankah itu impian semua orang? Inilah, mungkin kenapa
kematian kadang di rindukan.
"Akan ku
kabari setelah semuanya jadi... " ucap Marco.
Aku hanya
mengangguk lalu undur diri.
●●●
Aku mulai menghabiskan hariku dengan identitas baruku di kota baru. Di
rumah tipe 21 dengan tetangga yang hampir selalu mencari alasan untuk menemui
ku. Baru enam bulan aku tinggal, tapi rasanya sudah sangat lama.
Tak ada yang
menemaniku dan cukup menarik perhatianku di sini. Bahkan meskipun beberapa
wanita muda itu datang dengan segala kepasrahannya dan kerelaannya untuk
bercinta denganku. Itu tidak menarik bagiku. Aku bahkan sama sekali tidak
bernafsu pada mereka. Anais masih jauh lebih dari mereka, tak ada duanya, tak
tertandingi.
"Anais?"
gumamku saat melihat majalah fashion tua yang sudah usang di tong sampah
tetanggaku.
"Ken?
" sapa ibu-ibu yang baru saja membuang majalah, koran dan tabloid di tong
sampah.
"Boleh buat
aku? " tanyaku padanya sambil menunjukkan majalah di tanganku.
"Ken kalo mau
gak cuma majalah, tante buat kamu aja gapapa... Tante ikhlas... " ucapnya
lalu sengaja membuka beberapa kancing bajunya.
"Tidak, ini
saja... " jawabku tegas lalu sedikit menjaga jarak darinya.
"Itu kalo
suka majalah kayak gitu tante ada banyak loh, serius... " ucapnya lagi.
"Ini sejak
kapan? " tanyaku.
"Ini? Ini
majalah punya mamaku, dah tua gak jaman lagi... " jawabnya.
Aku hanya diam
lalu masuk ke rumahku tanpa bicara apa-apa lagi. Aku merindukan anais. Hanya
itu saja. Mungkin.
"Ken,
jalan-jalan yuk! " ajak Ani anak tetanggaku yang baru semester pertama
kuliah sambil berteriak di depan rumahku.
"Jalan
kemana? " tanyaku setelah keluar menemuinya.
"Ngopi?
" tawarnya dengan wajah penuh harap.
"Aku ganti
baju dulu... " jawabku lalu masuk untuk bersiap.
Ani terlihat
sangat senang bahkan sampai melompat dan menahan jeritan bahagianya. Persis
seperti Tania dulu. Tunggu! Sejak kapan aku memikirkan tania dan anais begini?!
●●●
Kami tak banyak bicara, lebih tepatnya aku yang diam saja. Sementara Ani
terus saja mengoceh. Pesanan kami datang, arabica
untukku dan latte untuk Ani.
Mataku terus
menatap sekeliling. Sampai akhirnya memperhatikan seorang wanita paruh baya
yang datang bersama anak gadisnya yang masih sma, dan putranya yang masih sd. Pikiranku
kembali teringat pada Anais, Tania, dan Andi. Lagi-lagi begitu.
Apa mereka juga
merindukanku? Apa mereka juga ingin kembali bersamaku lagi setelah apa yang ku
lakukan waktu itu?
"Kalo kamu
bikin salah kamu ngapain? " tanyaku pada Ani. Benar-benar pertanyaan
bodoh.
"Ya minta
maaf, terus janji gak ngulangin... " jawabnya sambil tersenyum.
"Nanti di
maafin? Meskipun kamu salahnya besar banget? " tanyaku.
"Iya, kata
mamaku. Orang marah itu paling pol tiga hari, mentok-mentok seminggu. Pasti dah
bisa maaf in... " jawabnya dengan ceria.
"Ayo
pulang! " ajakku lalu bangun.
Langkahku mendadak
terhenti. Teringat ucapanku pada Anais waktu itu.
"Ken? Kamu
gapapa? " tanya ani khawatir.
"Ini kunci
rumahku, aku titip. Aku mau pergi. Kalo selama sebulan aku gak balik rumahnya
buat kamu... " ucapku lalu buru-buru pergi.
Aku ingin
kembali, aku mau pulang. Pulang ke rumahku yang benar. Bersama keluargaku,
istriku, cucuku.
Aku hanya
mengambil koperku, memasukkan beberapa bajuku, dan identitasku lalu pergi.
"Anais, Tania, Andi... Aku minta maaf... " gumamku pelan.
0 comments