BLANTERORBITv102

Bab 09

Minggu, 21 Juli 2024

 


"Kamu benar-benar malaikat rupanya... " ucap Marco yang menyambutku dengan hangat.

Tangannya menggenggam tongkat bantu jalan, kepalanya di penuhi uban. Jalannya juga gemetar padahal usianya belum setua aku. Kulitnya juga keriput, matanya juga sudah memakai kacamata yang sangat tebal.

"Marco, kamu yang terlalu cepat tua... " jawabku lalu memeluknya. "Apa kau akan mengajakku gulat lagi? " tanyaku menggoda nya, mengingatkan masa muda kami.

Marco hanya tertawa lalu membawaku masuk ke rumahnya yang begitu hangat dan nyaman. Ada anak-anaknya dan cucu-cucunya yang terlihat sedang berkumpul di sana. Istrinya, Gracia. Juga terlihat sudah sangat rentan dan tua, bahkan sampai sudah memakai kursi roda begitu.

"Ini primadona kampusnya dulu ya? " tanyaku pada Gracia yang duduk di kursi roda sambil menonton tv.

Ia hanya diam tak menoleh padaku, sampai aku menyentuh bahunya. Ia tersenyum lalu menyalimiku dan kembali menatap tv yang memutar iklan itu.

"Dah pikun, dah banyak lupa... " jelas Marco lalu membawaku masuk ke ruangannya dengan sangat lambat. "Jangan di godain, istriku itu... " ucapnya padaku sambil tertawa.

Aku langsung tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja guyonan tua bangka ini.

"Ada apa? Paspor baru? " tanyanya paham dengan apa yang ku butuhkan.

"Ya, seperti biasa. Tolong di urus... " jawabku.

Marco hanya mengangguk lalu tersenyum. Ia terus menatapku setelah menulis apa yang ku butuhkan.

"Kamu apa gak bosen muda terus? " tanyanya padaku.

Aku hanya diam lalu menatapnya.

"Aku pengen muda lagi, tapi aku lebih pengen mati sama gracia. Hidup isinya gitu-gitu aja. Bosan... " ucapnya lagi lalu menghela nafas. "Apa kamu gak bosan? " tanyanya.

Aku hanya mengangguk sambil menghela nafas dan mengusap wajahku.

"Apa kamu bakal gini terus sampai nanti? " tanyanya penasaran.

Aku kembali mengangguk lalu menatapnya.

"Aku turut berduka dengan nasipmu... " ucapnya dengan wajahnya yang tampak sedih.

Senyum tersungging di bibirku. Belum ada manusia yang mengkasianiku. Baru ini ada yang begitu. Rata-rata dari mereka menganggap ini berkah. Muda, tampan, sehat, bugar, dan hidup selamanya. Bukankah itu impian semua orang? Inilah, mungkin kenapa kematian kadang di rindukan.

"Akan ku kabari setelah semuanya jadi... " ucap Marco.

Aku hanya mengangguk lalu undur diri.

●●●

Aku mulai menghabiskan hariku dengan identitas baruku di kota baru. Di rumah tipe 21 dengan tetangga yang hampir selalu mencari alasan untuk menemui ku. Baru enam bulan aku tinggal, tapi rasanya sudah sangat lama.

Tak ada yang menemaniku dan cukup menarik perhatianku di sini. Bahkan meskipun beberapa wanita muda itu datang dengan segala kepasrahannya dan kerelaannya untuk bercinta denganku. Itu tidak menarik bagiku. Aku bahkan sama sekali tidak bernafsu pada mereka. Anais masih jauh lebih dari mereka, tak ada duanya, tak tertandingi.

"Anais?" gumamku saat melihat majalah fashion tua yang sudah usang di tong sampah tetanggaku.

"Ken? " sapa ibu-ibu yang baru saja membuang majalah, koran dan tabloid di tong sampah.

"Boleh buat aku? " tanyaku padanya sambil menunjukkan majalah di tanganku.

"Ken kalo mau gak cuma majalah, tante buat kamu aja gapapa... Tante ikhlas... " ucapnya lalu sengaja membuka beberapa kancing bajunya.

"Tidak, ini saja... " jawabku tegas lalu sedikit menjaga jarak darinya.

"Itu kalo suka majalah kayak gitu tante ada banyak loh, serius... " ucapnya lagi.

"Ini sejak kapan? " tanyaku.

"Ini? Ini majalah punya mamaku, dah tua gak jaman lagi... " jawabnya.

Aku hanya diam lalu masuk ke rumahku tanpa bicara apa-apa lagi. Aku merindukan anais. Hanya itu saja. Mungkin.

"Ken, jalan-jalan yuk! " ajak Ani anak tetanggaku yang baru semester pertama kuliah sambil berteriak di depan rumahku.

"Jalan kemana? " tanyaku setelah keluar menemuinya.

"Ngopi? " tawarnya dengan wajah penuh harap.

"Aku ganti baju dulu... " jawabku lalu masuk untuk bersiap.

Ani terlihat sangat senang bahkan sampai melompat dan menahan jeritan bahagianya. Persis seperti Tania dulu. Tunggu! Sejak kapan aku memikirkan tania dan anais begini?!

●●●

Kami tak banyak bicara, lebih tepatnya aku yang diam saja. Sementara Ani terus saja mengoceh. Pesanan kami datang, arabica untukku dan latte untuk Ani.

Mataku terus menatap sekeliling. Sampai akhirnya memperhatikan seorang wanita paruh baya yang datang bersama anak gadisnya yang masih sma, dan putranya yang masih sd. Pikiranku kembali teringat pada Anais, Tania, dan Andi. Lagi-lagi begitu.

Apa mereka juga merindukanku? Apa mereka juga ingin kembali bersamaku lagi setelah apa yang ku lakukan waktu itu?

"Kalo kamu bikin salah kamu ngapain? " tanyaku pada Ani. Benar-benar pertanyaan bodoh.

"Ya minta maaf, terus janji gak ngulangin... " jawabnya sambil tersenyum.

"Nanti di maafin? Meskipun kamu salahnya besar banget? " tanyaku.

"Iya, kata mamaku. Orang marah itu paling pol tiga hari, mentok-mentok seminggu. Pasti dah bisa maaf in... " jawabnya dengan ceria.

"Ayo pulang! " ajakku lalu bangun.

Langkahku mendadak terhenti. Teringat ucapanku pada Anais waktu itu.

"Ken? Kamu gapapa? " tanya ani khawatir.

"Ini kunci rumahku, aku titip. Aku mau pergi. Kalo selama sebulan aku gak balik rumahnya buat kamu... " ucapku lalu buru-buru pergi.

Aku ingin kembali, aku mau pulang. Pulang ke rumahku yang benar. Bersama keluargaku, istriku, cucuku.

Aku hanya mengambil koperku, memasukkan beberapa bajuku, dan identitasku lalu pergi.

"Anais, Tania, Andi... Aku minta maaf... " gumamku pelan. 




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.