"Kenapa datang lagi? Ada masalah apa? " tanya Marco begitu melihatku yang datang lagi ke rumahnya.
"Ini, ku
kembalikan... Aku mau tidak membutuhkan itu lagi... " jawabku lalu
memberikan kartu identitas ku padanya.
"Ada apa?
" tanyanya penasaran sambil menerima identitas palsuku itu.
"Aku akan
kembali ke keluargaku, cucuku, dan menghabiskan waktu bersama istriku... "
jawabku sambil tersenyum sumringah.
Marco ikut
tersenyum mendengar jawabanku. Tangannya terulur lalu menggenggam tanganku.
"Aku ikut
senang... " ucapnya tulus. "Ini , ini kartu nama anakku... Thomas...
Kalau kamu butuh bantuan orang seperti ku temui dia... " sambungnya lalu
memberikan sebuah kartu nama untukku.
Aku hanya
mengangguk lalu meletakkannya di meja.
"Aku
pulang... " pamitku lalu pergi tanpa membawa kartu nama itu.
●●●
Aku terus
membayangkan sambutan hangat dari keluargaku, atau omelan dari mereka. Itu
makin membuatku tak sabar ingin bertemu. Ingin kembali. Tak masalah bila mereka
akan mencaciku atau marah-marah dulu, yang jelas aku akan tetap disana. Bersama
mereka lagi.
Rasanya aku belum
pernah seberdebar ini sebelumnya. Tidak pada siapapun, bahkan Caterina sekalipun. Perasaan ini...
Tapi begitu sampai
di rumahku, rumahku sudah sangat tak terurus, ilalang tumbuh tinggi dan liar,
bahkan ada biawak masuk ke dalam rumah juga. Penuh debu, benar-benar kacau.
Tak mau repot
mengurus rumah, aku beralih ke rumah Burhan dulu.
Kondisinya kosong. Meskipun tak sekotor dan semengenaskan rumahku. Tapi tetap
saja rumah itu kosong tak berpenghuni.
Tak putus asa, aku
pergi ke rumah Anais. Tak ada
hasil apa-apa yang kudapat. Semua pergi. Kemana mereka?
Pikiranku mulai
kacau dan panik. Aku tak bisa menemukan mereka. Bahkan para pegawai Anais pun tak tau ia pergi kemana.
Mau tak mau, aku
kembali ke rumahku yang kacau itu. Mencari beberapa orang untuk membantuku
mengurus rumah itu. Sampai akhirnya layak huni lagi.
Sendirian...
Hanya mengerjakan
aktivitas membosankan di rumah, mungkin sesekali keluar. Untuk cukur atau
membeli bunga tiap minggunya. Berharap Anais dan yang lain
cepat kembali. Aku merindukannya dan yang lain juga.
Aku bahkan sudah
mulai bosan melihat foto dan apalah yang biasaku lakukan. Sampai akhirnya aku
teringat soal catatan Tania untukku
beberapa waktu lalu. Aku buru-buru mencarinya. Setelah menemukan catatan itu
aku buru-buru menyalakan pergi ke kota.
Aku tak tahu merek
seperti apa yang bagus untukku. Aku hanya datang, memberikan uangku, dan
menunggu sampai SPG itu selesai mengurus ponsel baruku. Aku sempat di ajari
sedikit cara menggunakannya. Aku hanya perlu mengunggah sebuah foto dan semoga
tania melihatnya.
●●●
Aku terus menunggu
dengan optimis sampai akhirnya ada pesan masuk ke ponselku. Dengan terburu-buru
aku membukanya, berharap Tania atau Anais yang
menghubungiku. Entahlah apa aku yang terlalu semangat atau bagaimana. Tapi ini
sungguh memuakkan, kiriman pesan dari operator seluler?! Oh ayolah, yang benar
saja ! Bukan ini yang ku tunggu!
Dengan rasa kesal
aku membuang ponselku ke dalam kolam dengan kesal. Semua usah sudahku lakukan.
Bahkan aku sampai menunggu begitu lama. Apa Anais setega ini padaku?
Aku hanya diam,
dan masih menunggu. Sesekali aku duduk di teras, barang kali ada Anais atau Tania yang datang. Cih... Harapan macam apa itu. Bodoh dan
konyol sekali aku ini.
"Ken...
" sapa seorang pria yang datang dengan setelan rapi dan rambut yang
mengkilap.
"Hai...
" sapaku.
"Inget aku?
Aku Tomy dari kelas psikiater, kita
dulu satu tim waktu OSPEK... " ucapnya mengingatkanku.
"Oh iya...
Ada apa? Bagaimana kabarmu? " tanyaku dengan ramah.
"Kabarku
baik. Ah iya, aku sekarang bekerja jadi psikiater. Aku lihat postinganmu... Ku
rasa kamu kesepian... Selain itu aku juga tinggal dekat sini... " ucapnya
mulai bercerita.
Banyak hal yang ia
ceritakan, ini dan itu. Mulai dari keluarganya, calon istrinya, pekerjaan
sampai para client-nya. Aku hanya diam mendengarkannya. Sampai akhirnya
ia menawarkan pekerjaan pada ku, hanya sebagai pendengar di klinik nya. Menjadi psikiater.
Itu tawaran yang
menarik, cukup ada kegiatan sampai aku menemukan anais lagi atu menemukan
penggantinya. Ku terima tawarannya lalu magang sebulan di klinik nya.
Berkali-kali ia
memujiku dan kerjaku yang bahkan hampir menaikkan jumlah pelanggan berkali
lipat tiap minggunya. Tomy jelas senang, tapi aku merasa muak. Begitu banyak
orang yang sakit jiwa nya disini, bagaimana aku bisa senang.
●●●
Hampir setahun aku
bekerja sembari menunggu. Bahkan Galih suami Tania pun juga tak nampak. Bahkan
meskipun aku mencarinya ke tempat ia dinas. Kemana mereka sebenarnya.
Dengan perasaan
kesal, sedih, lelah dan ya... Bosan. Aku kembali ke rumah. Tapi ada yang beda
kali ini. Ada sebuah mobil terparkir di pekarangan rumahku. Lampu-lampu menyala
dan harum masakan tercium.
"Opaa! "
suara yang begitu kurindukan terdengar.
Andi dan Tania
menyambutku dengan haru bahkan sampai menangis memelukku. Aku membalas
pelukannya dengan sangat erat, Anais hanya menatapku setelah menyajikan
masakannya di meja makan. Galih juga hanya tersenyum menatap kebersamaan kami.
"Miss me? " tanya Anais lalu
melangkah memelukku erat.
Keluargaku
kembali. Ini yang terbaik.
Terimakasih...
0 comments