BLANTERORBITv102

Bab 08

Minggu, 21 Juli 2024

 


Aku sama sekali belum bisa merasakan perasaan cinta dan hangatnya kasih sayang dari Anais. Bahkan meskipun Anais mampu menikmati tiap siksaanku sebelum bercinta dan mau terus melayaniku, aku masih tak merasakan apa-apa. Aku tak marah atau kesal lagi padanya, bagiku menyiksanya dan membuatnya merintih kesakitan sudah bisa membayar apa yang ia lakukan, meskipun akhirnya ia akan mendesah penuh nikmat bersamaku.

"Sudah satu tahun, apa masih belum ada rasa untukku? " tanya Anais sambil mengelus kepalaku yang tiduran di paha mulusnya.

"Entahlah... Bagaimana menurutmu ?" tanyaku lalu mematikan tv yang tengah memutar film biografi soal Picasso dengan banyak kebohongan itu.

"Tapi kau tau kan aku sangat mencintaimu? " tanyanya lalu membungkuk dan mencium keningku.

Aku hanya mengangguk lalu bangun, ku tatap Anais. Wajahnya, rambut panjangnya, bibirnya, tubuhnya semua sempurna. Ia sangat cantik, Anais melebihi semua mendiang istriku. Bahkan rasanya Anais lebih cocok menjadi wanita nomor satu di dunia, dari pada melakukan ajang kecantikan berulangkali tiap tahun. Cukup pasang Anais saja, itu lebih dari cukup.

"Kamu cantik... " pujiku lalu kembali diam dan menyalakan tv lagi.

Anais tampak tersipu-sipu dengan pujianku, bahkan ia tak bisa untuk tidak tersenyum karena pujianku. Ini pertama kalinya aku memuji anais.

"Tapi kamu belum punya rasakan? " tanyanya yang jelasku angguki.

Keceriaannya karena ku puji tadi sedikit memudar. Senyumnya perlahan menghilang dan matanya mulai berair.

"Maaf nyonya, ada tamu... " panggil salah satu pelayan di rumah pada Anais.

Anais langsung pergi menemui tamunya tanpa berkata apa-apa padaku. Tapi tak selang lama ia kembali dengan wajahnya yang panik dan sedikit pucat, ada kekhawatiran dalam matanya.

"Ada apa? " tanyaku yang jadi khawatir.

"Burhan meninggal... " jawabnya lalu menitihkan air matanya.

"Lalu kenapa? " tanyaku yang lega ternyata hanya itu yang membuatnya panik dan khawatir.

"Tapi dia anakmu... " ucapnya.

"Bukan, dia anak dari istriku. Anakku sudah mati saat masih bayi... " jelasku.

"Tapi kamu tetap kesana kan? " tanyanya sambil mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.

"Iya... Mungkin aku ke sana... " jawabku acuh tak acuh lalu kembali menonton tv.

"Tapi ada cucumu kan? "

"Kalo bukan anakku berarti bukan cucuku..."

"Ku mohon datanglah... Untukku... "

"Apa hubungannya denganmu? "

"Chevas... Ku mohon... " rengeknya lalu duduk bersimpuh di bawah sambil memeluk kakiku. "Apa kau tega melihat Andi sedih? Tania sedih? " bujuknya berusaha melunakkan hatiku.

Akhirnya aku mau menurutnya dengan berat hati. Anais tampak senang aku mau menurut permintaannya. Lihat saja bagaimana ia memilihkanku pakaian yang senada dengannya. Anais juga yang mengatur perjalanan kami dan barang bawaan kami yang tak seberapa.

"Anais, kamu punya keluarga? " tanyaku setelah lama diam dalam hening.

"Tidak, aku belum pernah hamil... Dulu suamiku ku minta untuk menikahi wanita lain agar memiliki anak... Ada dua wanita lain selain aku yang dinikahi... Tapi aku selalu menganggap mereka anakku juga... Tapi itu dulu... Sudah lama... " jawabnya lalu menatapku lembut.

"Anakmu pasti sudah mati kan? "

"Sudah, cucuku juga. Terakhir aku tinggal bersama cucu perempuanku... Tapi ku rasa ia terlalu ku manjakan dengan fasilitas... Ia meninggal karena overdosis... "

"Keluaga yang lain? "

"Kamu. Bagiku tidak penting lagi... Selama ada kamu yang terus hidup dengan baik dan bahagia, aku tak peduli meskipun hidup sebatang kara... "

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Anais sangat romantis, tapi itu wajar dan harus! Apa lagi ia seorang peri cinta, ini mungkin adalah makanan sehari-harinya. Aku tak boleh terlalu cepat jatuh hati padanya.

Anais yang menyiapkan semuanya, mulai pakaian kami sampai beberapa bunga untuk pemakaman burhan. Beberapa kali anais menyeka air matanya, heran sekali. Kenapa jadi dia yang menangis. Padahal harusnya aku yang menangis.

Sesampainya di sana, sudah begitu ramai. Semua memberi jalan untukku dan Anais. Tania dan Andi langsung memelukku erat sambil menangis. Yohana terlihat tenang dan tak banyak ekspresi di wajahnya, entahlah bukan urusanku.

Tania dan Andi terus bersamaku sampai pemakaman selesai. Anais juga terus berusaha menguatkan hati Tania dan Andi, terutama Andi yang terus saja menangis dan tidak terima melihat ayahnya di kubur.

"Ayo pulang... " ajakku pada Anais yang baru saja menyajikan teh manis hangat.

"Loh, opa mau kemana? Kan opa baru pulang... " ucap Tania.

"Opa di sini saja... " ucap Andi lalu sambil menggenggam kelingkingku.

"Sayang, ini kan keluargamu... Jangan terburu-buru ya... " bujuk Anais sambil menggiringku agar duduk sembari mengelus bahuku.

"Ini bukan keluargaku. Tania, Andi, kita bukan keluarga lagi... Papamu bukan anakku, ini sesuai permintaan omamu buat jagain ayahmu sampai akhir hayat. Ini sudah selesai... Kita bukan keluarga lagi... " jelasku pada Tania dan Andi.

Tania hanya bisa menggeleng lalu menangis histeris, sementara andi terlihat bingung dan tidak paham dengan apa yangku ucapkan. Tapi tak selang lama Andi ikut menangis karena melihat kakaknya menangis.

Plak! Sebuah tamparan di layangkan Anais ke pipiku untuk pertama kalinya. "Chevas! Chevas! Apa-apaan kamu! " kesalnya dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

Aku hanya diam, entah apa yang ia katakan. Bagiku tak penting lagi. Anais berkali-kali berusaha menahan ku, tapi aku hanya memberinya dua pilihan. "Ikutlah denganku, atau pergilah... "

Entah Anais yang terlalu naif atau apa, akhirnya ia memilih tetap tinggal bersama Andi dan Tania. Sementara aku pergi sendiri. Jangankan aku, Yohana saja juga meninggalkan anak-anaknya begitu saja. Bukankah aku sudah cukup baik? Bahkan aku mau menjaga pria goblok itu hanya karena janjiku pada Yanti.

Dengan langkah pasti dan penuh rasa yakin. Aku pergi meninggalkan Anais dan semua hal yang menyangkut mendiang istriku. Tak masalah aku akan hidup abadi sebatang kara, ini gila, ini bodoh. Aku membuang satu-satunya manusia yang bisa menemaniku dalam ke abadian ini.

Tapi sudahlah, bukankah ini jalan ku? Bukankah memang seperti ini aku biasanya? Ini bagus! Ya ini yang terbaik.

Dalam kegelapan dan derasnya butiran air yang berjatuhan dari langit, aku melangkah pergi. Mencari tempat baru, hidup baru, memulainya dari awal lagi. Burhan, yohana, dan anais serta kehidupanku di sana sudah terlalu kacau dan menjijikkan. Aku hanya butuh tempat baru dan semua akan kembali normal.

Hujan, yang menutupi jejakku kali ini. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.