Aku sama sekali belum bisa merasakan perasaan cinta dan hangatnya kasih
sayang dari Anais. Bahkan meskipun Anais mampu menikmati tiap siksaanku sebelum
bercinta dan mau terus melayaniku, aku masih tak merasakan apa-apa. Aku tak
marah atau kesal lagi padanya, bagiku menyiksanya dan membuatnya merintih
kesakitan sudah bisa membayar apa yang ia lakukan, meskipun akhirnya ia akan
mendesah penuh nikmat bersamaku.
"Sudah satu
tahun, apa masih belum ada rasa untukku? " tanya Anais sambil mengelus
kepalaku yang tiduran di paha mulusnya.
"Entahlah...
Bagaimana menurutmu ?" tanyaku lalu mematikan tv yang tengah memutar film
biografi soal Picasso dengan banyak kebohongan itu.
"Tapi kau
tau kan aku sangat mencintaimu? " tanyanya lalu membungkuk dan mencium
keningku.
Aku hanya mengangguk
lalu bangun, ku tatap Anais. Wajahnya, rambut panjangnya, bibirnya, tubuhnya
semua sempurna. Ia sangat cantik, Anais melebihi semua mendiang istriku. Bahkan
rasanya Anais lebih cocok menjadi wanita nomor satu di dunia, dari pada
melakukan ajang kecantikan berulangkali tiap tahun. Cukup pasang Anais saja,
itu lebih dari cukup.
"Kamu
cantik... " pujiku lalu kembali diam dan menyalakan tv lagi.
Anais tampak
tersipu-sipu dengan pujianku, bahkan ia tak bisa untuk tidak tersenyum karena
pujianku. Ini pertama kalinya aku memuji anais.
"Tapi kamu
belum punya rasakan? " tanyanya yang jelasku angguki.
Keceriaannya
karena ku puji tadi sedikit memudar. Senyumnya perlahan menghilang dan matanya
mulai berair.
"Maaf
nyonya, ada tamu... " panggil salah satu pelayan di rumah pada Anais.
Anais langsung
pergi menemui tamunya tanpa berkata apa-apa padaku. Tapi tak selang lama ia
kembali dengan wajahnya yang panik dan sedikit pucat, ada kekhawatiran dalam
matanya.
"Ada apa?
" tanyaku yang jadi khawatir.
"Burhan
meninggal... " jawabnya lalu menitihkan air matanya.
"Lalu
kenapa? " tanyaku yang lega ternyata hanya itu yang membuatnya panik dan
khawatir.
"Tapi dia
anakmu... " ucapnya.
"Bukan, dia
anak dari istriku. Anakku sudah mati saat masih bayi... " jelasku.
"Tapi kamu
tetap kesana kan? " tanyanya sambil mengusap air matanya yang tak kunjung
berhenti mengalir.
"Iya...
Mungkin aku ke sana... " jawabku acuh tak acuh lalu kembali menonton tv.
"Tapi ada
cucumu kan? "
"Kalo bukan
anakku berarti bukan cucuku..."
"Ku mohon
datanglah... Untukku... "
"Apa
hubungannya denganmu? "
"Chevas...
Ku mohon... " rengeknya lalu duduk bersimpuh di bawah sambil memeluk
kakiku. "Apa kau tega melihat Andi sedih? Tania sedih? " bujuknya
berusaha melunakkan hatiku.
Akhirnya aku mau
menurutnya dengan berat hati. Anais tampak senang aku mau menurut
permintaannya. Lihat saja bagaimana ia memilihkanku pakaian yang senada
dengannya. Anais juga yang mengatur perjalanan kami dan barang bawaan kami yang
tak seberapa.
"Anais,
kamu punya keluarga? " tanyaku setelah lama diam dalam hening.
"Tidak, aku
belum pernah hamil... Dulu suamiku ku minta untuk menikahi wanita lain agar
memiliki anak... Ada dua wanita lain selain aku yang dinikahi... Tapi aku
selalu menganggap mereka anakku juga... Tapi itu dulu... Sudah lama... "
jawabnya lalu menatapku lembut.
"Anakmu
pasti sudah mati kan? "
"Sudah,
cucuku juga. Terakhir aku tinggal bersama cucu perempuanku... Tapi ku rasa ia
terlalu ku manjakan dengan fasilitas... Ia meninggal karena overdosis... "
"Keluaga
yang lain? "
"Kamu.
Bagiku tidak penting lagi... Selama ada kamu yang terus hidup dengan baik dan
bahagia, aku tak peduli meskipun hidup sebatang kara... "
Aku hanya
tersenyum mendengarnya. Anais sangat romantis, tapi itu wajar dan harus! Apa
lagi ia seorang peri cinta, ini mungkin adalah makanan sehari-harinya. Aku tak
boleh terlalu cepat jatuh hati padanya.
Anais yang
menyiapkan semuanya, mulai pakaian kami sampai beberapa bunga untuk pemakaman
burhan. Beberapa kali anais menyeka air matanya, heran sekali. Kenapa jadi dia
yang menangis. Padahal harusnya aku yang menangis.
Sesampainya di
sana, sudah begitu ramai. Semua memberi jalan untukku dan Anais. Tania dan Andi
langsung memelukku erat sambil menangis. Yohana terlihat tenang dan tak banyak
ekspresi di wajahnya, entahlah bukan urusanku.
Tania dan Andi
terus bersamaku sampai pemakaman selesai. Anais juga terus berusaha menguatkan
hati Tania dan Andi, terutama Andi yang terus saja menangis dan tidak terima
melihat ayahnya di kubur.
"Ayo
pulang... " ajakku pada Anais yang baru saja menyajikan teh manis hangat.
"Loh, opa
mau kemana? Kan opa baru pulang... " ucap Tania.
"Opa di
sini saja... " ucap Andi lalu sambil menggenggam kelingkingku.
"Sayang,
ini kan keluargamu... Jangan terburu-buru ya... " bujuk Anais sambil
menggiringku agar duduk sembari mengelus bahuku.
"Ini bukan
keluargaku. Tania, Andi, kita bukan keluarga lagi... Papamu bukan anakku, ini
sesuai permintaan omamu buat jagain ayahmu sampai akhir hayat. Ini sudah
selesai... Kita bukan keluarga lagi... " jelasku pada Tania dan Andi.
Tania hanya bisa
menggeleng lalu menangis histeris, sementara andi terlihat bingung dan tidak
paham dengan apa yangku ucapkan. Tapi tak selang lama Andi ikut menangis karena
melihat kakaknya menangis.
Plak! Sebuah tamparan di
layangkan Anais ke pipiku untuk pertama kalinya. "Chevas! Chevas!
Apa-apaan kamu! " kesalnya dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
Aku hanya diam,
entah apa yang ia katakan. Bagiku tak penting lagi. Anais berkali-kali berusaha
menahan ku, tapi aku hanya memberinya dua pilihan. "Ikutlah denganku, atau
pergilah... "
Entah Anais yang
terlalu naif atau apa, akhirnya ia memilih tetap tinggal bersama Andi dan Tania.
Sementara aku pergi sendiri. Jangankan aku, Yohana saja juga meninggalkan
anak-anaknya begitu saja. Bukankah aku sudah cukup baik? Bahkan aku mau menjaga
pria goblok itu hanya karena janjiku pada Yanti.
Dengan langkah
pasti dan penuh rasa yakin. Aku pergi meninggalkan Anais dan semua hal yang
menyangkut mendiang istriku. Tak masalah aku akan hidup abadi sebatang kara,
ini gila, ini bodoh. Aku membuang satu-satunya manusia yang bisa menemaniku
dalam ke abadian ini.
Tapi sudahlah,
bukankah ini jalan ku? Bukankah memang seperti ini aku biasanya? Ini bagus! Ya
ini yang terbaik.
Dalam kegelapan
dan derasnya butiran air yang berjatuhan dari langit, aku melangkah pergi.
Mencari tempat baru, hidup baru, memulainya dari awal lagi. Burhan, yohana, dan
anais serta kehidupanku di sana sudah terlalu kacau dan menjijikkan. Aku hanya
butuh tempat baru dan semua akan kembali normal.
Hujan, yang
menutupi jejakku kali ini. [Next]
0 comments