BLANTERORBITv102

Bab 07

Minggu, 21 Juli 2024

 


Akhirnya kami menikah secara agama dan negara secara diam-diam. Tanpa pesta pernikahan sama sekali meskipun kami tetap memakai setelan ala pengantin pada umumnya. Aku juga tidak mengundang keluargaku sama sekali. Toh untuk apa repot-repot memberitahu mereka.

Aku juga tak memperebutkan hartaku yang di kelola burhan. Toh ia tak akan memakai itu selamanya kalaupun akan di wariskan juga tidak masalah.

"Chevas... " panggil Anais membangunkan -ku.

"Apa seperti itu caramu memanggil suamimu? Ku kira cupid itu romantis... " jawabku lalu bangun.

"Apa aku harus mulai memanggilmu sayang? Babe? Daddy? Hubby? " tanyanya lalu tiduran di sampingku. "Ku kira kau akan lebih dingin dan kasar padaku... " ucapnya lalu mengecup bibirku.

"Aku ingin langsung membunuhmu awalnya... " jawabku lalu memunggunginya.

Anais langsung merapatkan tubuhnya padaku dan memelukku dari belakang. Perlahan tangannya mengelus dada dan perutku dengan lembut lalu mengecup bahu dan tengkukku dari belakang.

"Tapi menurutku tidak masalah, setidaknya aku tidak sendirian... " ucapku lalu bangun dan memakai kimono yang tergeletak di lantai.

"Tapi kamu masih gelap, ada apa? " tanya Anais sambil mengikutiku ke kamar mandi.

"Entahlah, ku kira kau lebih tau..." jawabku lalu cuci muka dan sikat gigi.

Anais hanya tersenyum lalu keluar dari kamar mandi. Aku kembali melanjutkan aktivitasku, dari berenang sampai ngeteh.

"Hubby... " panggilnya sambil membawakan pie apel.

Aku hanya diam menatap pie apel yang di bawa Anais. Ini persis seperti buatan Caterina dulu, ini mengingatkanku pada putraku Pitter yang selalu menunggu dan semangat menunggu pie buatan Caterina matang. Bahkan ingatan soal Pitter yang menangis saat pie miliknya jatuh dan terinjak kakak-kakaknya yang tengah bermain di taman kembali teringat.

Aku tak pernah merasa beruntung dan penuh cinta selain bersama Caterina. Aroma pie yang manis dan menggugah, rasa lembut dan penuh cinta di tiap gigitan. Hanya Caterina yang bisa membuatkannya untukku, menyenangkan dan membahagian untukku dan anakku.

"Caterina... " gumamku sambil menatap pie yang di bawakan Anais.

"Apa? " tanyanya memastikan ucapanku.

"Ini seperti buatan Caterina... " jawabku lalu mulai memakan sesuap pie apel itu, sempurna! Ini rasanya sangat mirip! Bukan mirip, ini sama! Sama persis!

Aku tak melanjutkan makanku. Aku benar-benar teringat pada Caterina dan Pitter. Bahkan Caterina masih mau membuatkan pie apel untuk Pitter saat ia tengah sakit keras. Pie apel terakhirnya untuk ulang tahun Pitter. Putra bungsuku yang begitu penurut dan penyayang.

"Ini makanan kesukaan Pitter, dia bisa habiskan lebih dari jatahnya. Dia bisa makan banyak sampai jatah semua orang di kurangi untuknya... " ucapku sambil menatap Anais.

Anais hanya tersenyum lembut lalu menggenggam tanganku.

"Caterina... Dulu dia masih buat ini waktu sakit. Demi ulang tahun Pitter... " ucapku melanjutkan ceritaku lalu mengusap wajahku dan berlari menceburkan diri kedalam kolan lagi.

Anais hanya menatapku lalu duduk di pinggir kolam. Air mataku benar-benar tak bisa berhenti mengalir saat mengingat Caterina dan keluargaku dulu. Sesak sekali dadaku tiap kali mengingatnya. Wanita itu benar-benar membuatku jungkir balik. Wanita itu yang membuatku terus berkabung. Hanya dia yang membuatku terus begini.

Anais masih duduk di pinggir kolam saat aku kembali ke permukaan. Ia langsung menceburkan diri dan memelukku.

"Aku tau kenapa kamu begini... " ucapnya.

Aku langsung menariknya kembali menyelam dan mencium bibirnya lalu kembali menariknya ke permukaan. Tangannya masih menangkup wajahku sembari tersenyum menatapku.

"Tidak apa-apa kamu perlu waktu... " ucapnya lalu kami kembali saling berciuman dan bercumbu di tengah kolam.

●●●

Anais masih memelukku dalam tidurnya setelah lelah bercinta. Tidurnya kali ini terlihat lebih tenang dan nyaman, sampai aku tak berani membangunkannya. Selama hampir enam bulan tinggal dan tidur bersamanya, baru kali ini aku melihatnya tidur dengan sangat nyenyak begini. Bahkan sampai mendengkur.

Luka di punggungnya, dan luka di punggungku. Benar-benar menegaskan kalau kami mahluk buangan yang sangat rendah. Bahkan meskipun aku sudah menutupinya dengan tato, tetap saja bekas luka itu akan lebih menonjol dari tatonya.

"Chevas... " panggilnya padaku dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Maafkan aku... " ucapnya.

Setiap ia membuka mata, itu lah yang selalu di ucapkannya dalam kondisi apapun mungkin ia akan mengucapkannya padaku bila aku tak memintanya diam.

"Akan sulit bagiku untuk menggantikan Caterina. Sangat sulit, mungkin ada cupid bodoh lain yang menancapkan panahnya terlalu dalam padaku... " ucapku lalu duduk bersandar di tempat tidur.

"Umm, ku kira kau bisa lebih rasional dari itu..." ucap Anais menanggapiku lalu duduk sambil bersandar di bahuku.

Aku hanya melirik nya lalu kembali menatap lukisan klasik yang di pajang anais.

"Maaf, tapi kamu begitu sangar. Aku ingat kamu dengan jelas. Sayap kokohmu, rambut silvermu yang berkilauan, tubuhmu yang sangat gagah, belum lagi kau selalu membawa rantai dan apalah itu. Itu sangat keren. Kamu lebih dari sekedar tampan... " ucapnya sambil menatapku dengan pandangan kagumnya lalu mengelus pipi, leher, sampai dada dan perutku. "Kamu di pahat dengan sempurna... Kamu selalu terlihat menawan..." sambungnya lalu memberikan kiss mark di dadaku.

"Jangan membuatku mengingat yang sudah-sudah... "

"Dulu aku selalu memperhatikanmu, sejak awal aku di ciptakan sampai aku menjalankan tugas awalku... "

Anais terus menceritakan bagaimana ia mengamatiku sampai ia merusak semuanya lalu kembali meminta maaf. Terus meminta maaf sampai akhirnya aku mencambuk tubuh putih mulus nya lalu kembali bercinta lagi.

"Tidurlah... " ucapku lalu mengecup keningnya.

"Aku minta maaf... "

"Jangan di bahas lagi... "

"Aku cinta kamu, lebih dari aku cinta diriku sendiri... "

Aku hanya mengangguk lalu mencium keningnya, sebelum ia terlelap sambil memelukku.

●●●

Menjelang sore hari. Aku pergi dari rumah sendiri. Anais sengajaku tinggal. Aku ingin pergi ke makam istriku caterina, aku membawakan bunga dengan banyak warna. Aku juga membawakan pie apel untuk Pintter. Pitter putraku yang meninggal karena ledakan bom bersama ke lima kakaknya yang tak sanggup berlindung.

"Aku merindukan kalian... Bagiku hanya kalian keluargaku! " ucapku sedikit berteriak. 




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.