Akhirnya kami menikah secara agama dan negara secara diam-diam. Tanpa
pesta pernikahan sama sekali meskipun kami tetap memakai setelan ala pengantin
pada umumnya. Aku juga tidak mengundang keluargaku sama sekali. Toh untuk apa
repot-repot memberitahu mereka.
Aku juga tak
memperebutkan hartaku yang di kelola burhan. Toh ia tak akan memakai itu
selamanya kalaupun akan di wariskan juga tidak masalah.
"Chevas...
" panggil Anais membangunkan -ku.
"Apa
seperti itu caramu memanggil suamimu? Ku kira cupid itu romantis... "
jawabku lalu bangun.
"Apa aku
harus mulai memanggilmu sayang? Babe?
Daddy? Hubby? " tanyanya lalu tiduran di sampingku. "Ku kira kau
akan lebih dingin dan kasar padaku... " ucapnya lalu mengecup bibirku.
"Aku ingin
langsung membunuhmu awalnya... " jawabku lalu memunggunginya.
Anais langsung
merapatkan tubuhnya padaku dan memelukku dari belakang. Perlahan tangannya
mengelus dada dan perutku dengan lembut lalu mengecup bahu dan tengkukku dari
belakang.
"Tapi
menurutku tidak masalah, setidaknya aku tidak sendirian... " ucapku lalu
bangun dan memakai kimono yang tergeletak di lantai.
"Tapi kamu
masih gelap, ada apa? " tanya Anais sambil mengikutiku ke kamar mandi.
"Entahlah,
ku kira kau lebih tau..." jawabku lalu cuci muka dan sikat gigi.
Anais hanya
tersenyum lalu keluar dari kamar mandi. Aku kembali melanjutkan aktivitasku,
dari berenang sampai ngeteh.
"Hubby...
" panggilnya sambil membawakan pie apel.
Aku hanya diam
menatap pie apel yang di bawa Anais. Ini persis seperti buatan Caterina dulu, ini
mengingatkanku pada putraku Pitter yang selalu menunggu dan semangat menunggu
pie buatan Caterina matang. Bahkan ingatan soal Pitter yang menangis saat pie
miliknya jatuh dan terinjak kakak-kakaknya yang tengah bermain di taman kembali
teringat.
Aku tak pernah
merasa beruntung dan penuh cinta selain bersama Caterina. Aroma pie yang manis
dan menggugah, rasa lembut dan penuh cinta di tiap gigitan. Hanya Caterina yang
bisa membuatkannya untukku, menyenangkan dan membahagian untukku dan anakku.
"Caterina...
" gumamku sambil menatap pie yang di bawakan Anais.
"Apa?
" tanyanya memastikan ucapanku.
"Ini seperti
buatan Caterina... " jawabku lalu mulai memakan sesuap pie apel itu,
sempurna! Ini rasanya sangat mirip! Bukan mirip, ini sama! Sama persis!
Aku tak
melanjutkan makanku. Aku benar-benar teringat pada Caterina dan Pitter. Bahkan
Caterina masih mau membuatkan pie apel untuk Pitter saat ia tengah sakit keras.
Pie apel terakhirnya untuk ulang tahun Pitter. Putra bungsuku yang begitu
penurut dan penyayang.
"Ini
makanan kesukaan Pitter, dia bisa habiskan lebih dari jatahnya. Dia bisa makan
banyak sampai jatah semua orang di kurangi untuknya... " ucapku sambil
menatap Anais.
Anais hanya
tersenyum lembut lalu menggenggam tanganku.
"Caterina...
Dulu dia masih buat ini waktu sakit. Demi ulang tahun Pitter... " ucapku
melanjutkan ceritaku lalu mengusap wajahku dan berlari menceburkan diri kedalam
kolan lagi.
Anais hanya
menatapku lalu duduk di pinggir kolam. Air mataku benar-benar tak bisa berhenti
mengalir saat mengingat Caterina dan keluargaku dulu. Sesak sekali dadaku tiap
kali mengingatnya. Wanita itu benar-benar membuatku jungkir balik. Wanita itu
yang membuatku terus berkabung. Hanya dia yang membuatku terus begini.
Anais masih
duduk di pinggir kolam saat aku kembali ke permukaan. Ia langsung menceburkan
diri dan memelukku.
"Aku tau
kenapa kamu begini... " ucapnya.
Aku langsung
menariknya kembali menyelam dan mencium bibirnya lalu kembali menariknya ke
permukaan. Tangannya masih menangkup wajahku sembari tersenyum menatapku.
"Tidak
apa-apa kamu perlu waktu... " ucapnya lalu kami kembali saling berciuman
dan bercumbu di tengah kolam.
●●●
Anais masih memelukku dalam tidurnya setelah lelah bercinta. Tidurnya
kali ini terlihat lebih tenang dan nyaman, sampai aku tak berani
membangunkannya. Selama hampir enam bulan tinggal dan tidur bersamanya, baru
kali ini aku melihatnya tidur dengan sangat nyenyak begini. Bahkan sampai
mendengkur.
Luka di
punggungnya, dan luka di punggungku. Benar-benar menegaskan kalau kami mahluk
buangan yang sangat rendah. Bahkan meskipun aku sudah menutupinya dengan tato,
tetap saja bekas luka itu akan lebih menonjol dari tatonya.
"Chevas...
" panggilnya padaku dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Maafkan
aku... " ucapnya.
Setiap ia
membuka mata, itu lah yang selalu di ucapkannya dalam kondisi apapun mungkin ia
akan mengucapkannya padaku bila aku tak memintanya diam.
"Akan sulit
bagiku untuk menggantikan Caterina. Sangat sulit, mungkin ada cupid bodoh lain
yang menancapkan panahnya terlalu dalam padaku... " ucapku lalu duduk
bersandar di tempat tidur.
"Umm, ku
kira kau bisa lebih rasional dari itu..." ucap Anais menanggapiku lalu
duduk sambil bersandar di bahuku.
Aku hanya
melirik nya lalu kembali menatap lukisan klasik yang di pajang anais.
"Maaf, tapi
kamu begitu sangar. Aku ingat kamu dengan jelas. Sayap kokohmu, rambut silvermu
yang berkilauan, tubuhmu yang sangat gagah, belum lagi kau selalu membawa
rantai dan apalah itu. Itu sangat keren. Kamu lebih dari sekedar tampan...
" ucapnya sambil menatapku dengan pandangan kagumnya lalu mengelus pipi,
leher, sampai dada dan perutku. "Kamu di pahat dengan sempurna... Kamu
selalu terlihat menawan..." sambungnya lalu memberikan kiss mark di dadaku.
"Jangan
membuatku mengingat yang sudah-sudah... "
"Dulu aku
selalu memperhatikanmu, sejak awal aku di ciptakan sampai aku menjalankan tugas
awalku... "
Anais terus menceritakan
bagaimana ia mengamatiku sampai ia merusak semuanya lalu kembali meminta maaf.
Terus meminta maaf sampai akhirnya aku mencambuk tubuh putih mulus nya lalu
kembali bercinta lagi.
"Tidurlah...
" ucapku lalu mengecup keningnya.
"Aku minta
maaf... "
"Jangan di
bahas lagi... "
"Aku cinta
kamu, lebih dari aku cinta diriku sendiri... "
Aku hanya
mengangguk lalu mencium keningnya, sebelum ia terlelap sambil memelukku.
●●●
Menjelang sore hari. Aku pergi dari rumah sendiri. Anais sengajaku
tinggal. Aku ingin pergi ke makam istriku caterina, aku membawakan bunga dengan
banyak warna. Aku juga membawakan pie apel untuk Pintter. Pitter putraku yang
meninggal karena ledakan bom bersama ke lima kakaknya yang tak sanggup
berlindung.
"Aku merindukan kalian... Bagiku hanya kalian keluargaku! " ucapku sedikit berteriak.
0 comments