Bab 05
Akhirnya ku putuskan untuk kembali tinggal bersama Burhan dan
keluarganya lagi. Tak masalah aku jadi baby
sitter, menjaga andi cucuku. Setidaknya aku bisa melupakan Anais perlahan.
Ya, perlahan. Aku masih berharap ia kembali, sedikit berharap.
Persiapan
pernikahan Tania cukup repot. Tania yang paling repot. Apa lagi ia tau bila
calonnya tak setampan aku. Dasar bodoh, tentu sulit mencari tandinganku. Tapi
aku bersyukur Tania menikahi seorang abdi negara dan bukan pemilik distro itu.
Tania tentu
mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Tania bilang Galih datang lebih
dulu untuk melamarnya secara jantan dan tegas. Tanpa tarik ulur atau penundaan.
Jelas itu pria pilihan Burhan dan Yohana. Aku pun hanya bisa merestuinya saja.
Memang mau apa lagi. Toh dia hanya cucuku, pendapat ku tidak lebih penting dari
orang tuanya.
"Opa!
" pekik Andi yang langsung memeluk kakiku.
"Aduh
berat! " ucapku menanggapinya lalu menggendongnya membawanya
berjalan-jalan sambil bercerita padanya.
Tapi langkahku
terhenti saat mendengar perkelahian Burhan dan istrinya. Perlahan aku mundur
saat mulai mendengar suara tangisan dan tamparan. Tak hanya itu ada kata cerai
juga yang terlontar dari yohana. Apa yang salah sekarang.
"Opa,
kenapa? " tanya Andi penasaran.
"Ayo kita
jajan! " ajakku mengalihkan perhatiannya lalu buru-buru pergi bersama
Andi, Tania yang baru masuk rumah juga ikut kutarik pergi.
"Opa! Opa
kenapa? " tanya Tania yang ku tarik dan mau tak mau mengikutiku.
"Kita jajan
ice cream saja. Jangan di rumah
dulu... " jawabku lalu membawa masuk Tania dan Andi ke dalam mobil entah
milik siapa.
"Opa
kenapa? " tanya Tania yang duduk di belakang bersama Andi.
"Kita
jalan! Ke mall! " perintahku.
"Ehm..
Tania, ada apa? " tanya pria yang duduk di kursi kemudi.
"Buruan
jalan! " perintahku lagi.
Pria itu
akhirnya menjalankan mobilnya, ia masih bingung. Tania dan Andi juga bingung.
Hanya aku yang terlihat lega saat sudah sedikit jauh dari rumah.
"Opa
kenapa? Kenapa pengen ke mall
sekarang? " tanya Tania bingung.
"Pokoknya
kita pergi aja, makan ice cream, cake, yang enak-enak, yang
manis-manis... " jawabku.
"Oppa? Dia siapa ?" tanya pria itu
pada Tania dan langsung menginjak rem secara mendadak hingga kami semua
terantuk kedepan.
"Iya Opa,
dia bapaknya papaku... " jawab Tania.
"Hah?! Yang
bener? Kok kayak bocah gini? " tanyanya tak percaya lalu menyalimiku.
"S-sa-saya Galih... Letnan Galih... " sambungnya memperkenalkan diri
dengan gugup.
Aku hanya
mengangguk menanggapinya. Suasana makin canggung dan tegang. Tapi sudahlah yang
penting kami tetap sampai di mall.
"Kamu pulang
saja, aku mau bicara sama Tania... " ucapku mengusirnya begitu sampai di mall.
Tania juga ikut
mengangguk menyetujui usiranku pada calon suaminya. Galih juga tampak begitu
patuh, meskipun ia ingin memaksa ikut atau paling tidak menunggu di mobil saja.
"Opa
kenapa? " tanya tania sambil memakan salat buahnya sementara Andi sudah
belepotan makan gelato.
"Orang
tuamu..."
"Ah itu,
sejak opa gak di rumah emang dah gak akur. Dah biasa liat pada berantem
akhir-akhir ini..." potong Tania paham kemana arah pembicaraanku.
"Kenapa?
" tanyaku penasaran.
"Ga tau,
tapi papa sama mama cuma bilang. Tiap hubungan pasti mengalami titik jenuh,
normal. Gapapa... " jawab Tania murung. "Tapi aku liat opa sama oma
baik-baik saja. Aku gak pernah liat opa berantem sama oma. Opa juga gak
ninggalin oma yang dah tua. Padahal opa cakep gini... " sambung Tania lalu
menghela nafas dengan berat.
"Kata
siapa? Opa pernah marahan sama omamu, mungkin kamu aja yang gak tau. Mungkin
orang tuamu gak maksud gitu, semua bakal baik-baik saja. Em... Kadang kita
perlu memaafkan keadaan dan menerimanya karena takdirnya sudah begitu... "
ucapku menyemangati Tania.
Tania hanya
tersenyum lalu melanjutkan makannya. Sementara aku membersihkan wajah andi yang
belepotan dengan ice cream.
"Opa
berantem sama oma kenapa? " tanya tania.
"Em, waktu
itu ngobrol sama istri tetangga sebelah. Omamu cemburu, opa di suruh tidur di
luar... " jawabku sambil mengingat masalaluku.
"Opa kenapa
gak pernah ke keraton lagi? " tanyanya lagi.
"Yang
bangsawan kan omamu, opa ini kan bukan bangsawan. Jadi gak ada kewajiban
apa-apa buat ke sana... "
"Opa pernah
marah banget? Sampai gak bisa maafin orang itu? "
"Pernah,
opa masih marah sebenarnya. Tapi sudahlah. Semua sudah terlanjur ini. Semuanya
takdir, gak masalah... "
Aku benar-benar
merasa menjadi setan dan seorang yang munafik sekarang. Apa yang ku ucapkan
pada cucuku soal memaafkan dan menerima taksir hanya teori. Bahkan aku tak
pernah mempraktekkannya sama sekali.
"Kenapa
kamu mau nikah? " tanyaku memulai mengalihkan pembicaraan setelah lama
diam dan sebelum Tania menanyakan sesuatu yang membuatku makin merasa munafik.
"Gapapa,
aku mau kepastian itu saja. Aku gak mungkin hidup pacaran terus. Aku perlu
punya suami, punya anak juga..." jawabnya lalu memakan suapan terakhir
salatnya.
Aku hanya tersenyum,
ternyata prinsip itu masih sama tiap tahun. Tiap generasi, ini masih sama.
Semua menjadikan pernikahan hanya untuk pemuas dan keturunan saja. Memang benar
cinta hanya nafsu yang di ikat dengan komitmen.
●●●
Yohana tak ada di rumah begitu kami sampai. Burhan juga hanya diam di
ruang kerjanya yang berantakan. Tania hanya bisa menahan tangisnya dan membawa
adiknya pergi lagi.
"Adek di
jaga dulu ya... " ucapku pada Tania sebelum ia pergi.
Tania hanya
mengangguk pelan, ia tak bicara apapun. Mungkin bila ia bicara pertahanannya
akan jebol dan menangis sejadi-jadinya.
Bugh! Burhan langsung memukulku
kuat-kuat. Tanpa celah ia langsung menarik kerah bajuku dan mencekikku.
"Bapak mati
saja! Gara-gara bapak! Gara-gara bapak Yohana pergi! " makinya lalu
menghempaskan tubuhku.
Bocah ini sudah
gila, dia yang tak bisa mempertahankan rumah tangganya. Aku yang di salahkan.
Pantas ia di tinggalkan.
"Bapak
kenapa goda istriku? " tanyanya sambil menangis frustasi.
Aku langsung
mencekiknya lalu membanting tubuhnya, begitu terus sampai akhirnya aku menyeret
Burhan ke kolam renang dan menceburkannya.
"Ulangi
lagi kata-katamu! " tantangku padanya lalu melangkahkan kakiku di atas air
mendekatinya yang terlempar ke tengah. "Kamu bisa bilang kayak gitu
dasarnya dari mana? " tanyaku lalu masuk ke air menenggelamkannya sampai
ia tak sadarkan diri.
●●●
Keesokan paginya Burhan bangun dengan kondisinya yang demam. Yohana juga kembali pulang dan mengurusnya. Aku tak menyalahkan Yohana bila ia lebih menyukaiku dari pada Burhan. Tapi apa yang ia lakukan jelas sangat salah dan menyalahi aturan. Burhan juga langsung meminta maaf padaku bahkan sampai bersujud di kakiku. Dasar anak bodoh.