Nasehatku pada Tania waktu itu malah terus terngiang di pikiranku. Aku
memang perlu lebih banyak berbesar hati dan berlapang dada untuk memaafkan dan
menerima takdir. Mungkin Anais benar-benar akan membantuku dan membawaku
kembali. Tak masalah bila ia salah atau tak mampu. Setidaknya aku tidak sendiri
abadi di sini, setidaknya aku punya teman yang senasib denganku.
Pernikahan Tania
berjalan lancar, mulai dari pengesahan di mata agama dan negara. Sampai
akhirnya merayakan pesta pernikahannya. Tania teihat bahagia bisa bersanding
dengan Galih. Yohana dan Burhan juga terlihat akur di depan para tamu dan
keluarga besannya, meskipun sebenarnya mereka tengah menyiapkan diri untuk
bercerai bulan depan.
"Chevas...
" panggil seorang wanita yang susah jelas siapa, karena hanya dia yang
memanggilku dengan nama itu. "Maafkan aku... "
"Tebuslah
sesuai penawaranmu itu... " potongku sebelum ia menangis dan mengundang
perhatian.
"Benarkah!
" pekiknya senang dan tampak berbinar-binar.
"Iya, tapi
tolong jangan membuat kesalahan lagi... " ucapku.
Anais langsung
mengangguk dan memelukku erat seraya mengecup bibirku. Tentu saja apa yang ia
lakukan sangat mengundang perhatian. Bahkan sialnya aku menyukai gayanya yang
sepontan ini, tidak benar-benar suka. Hanya sedikit suka.
"Aku janji,
aku janji kali ini tidak akan berbuat kesalahan lagi... Trimakasih... "
ucapnya yang masih memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca karena terharu.
"Iya, sudah
berhentilah memancing keributan! " bisikku padanya lalu pergi menemui
burhan.
"Chevas!
Ini hari terbaikku! " ucapnya sambil memelukku dari belakang dengan sangat
erat.
Aku hanya menyingkirkan
tangannya yang menlingkar erat memeluk pinggangku, lalu menariknya agar berdiri
di sampingku.
"Ini
Anais... " ucapku mengenalkan Anais pada Burhan.
"Hai!
" ucap Anais dengan ramah dan masih sumringah.
"Ceweknya
bapak ya? " tanya Burhan sambil tersenyum jahil.
Aku hanya diam
lalu menatap Anais, begitu pula dengan Anais yang langsung menatapku.
"Iya."
"Bukan."
Jawab kami
bersamaan. Aku dan anais kembali saling tatap.
"Bukan.
"
"Iya.
"
Ucap kami yang
kembali kompak lalu kembali saling tatap. Burhan langsung tertawa melihat hal
konyol barusan. Tentu saja, aku bahkan belum memikirkan sampai sejauh itu.
Bodohnya aku.
"Bapak gak
usah malu-malu gitu dong. Buruan di ajak wakarapet...
" ucap Burhan menggodaku.
"Wakarapet?
" tanya Anais bingung.
"Nikah,"
jawab Burhan sambil tersenyum. Tapi tak selang lama teman bisnisnya datang,
tentu saja Burhan langsung menyudahi acara basa-basi kami dan memilih mengobrol
dengan temannya.
"Ayo
bicarakan semuanya besok... " ajakku pada Anais.
"Umm! Ya!
Besok aku akan menemuimu! " jawabnya semangat.
Aku hanya
mengangguk lalu mengibaskan tangan, mengusirnya. Tapi bukan pergi ia malah
menggenggam tanganku dan mencium punggung tanganku.
"Terimakasih...
" ucapnya sebelum pergi.
Ya, ku rasa akan
mulai banyak masalah sekarang.
●●●
Sejak pertemuanku dengan Anais di pernikahan Tania. Aku mulai sering
bertemu dengannya. Bahkan Anais hampir tiap hari datang membawakanku makanan
atau cemilan. Kadang aku heran bagaimana bisa ia dapat semua data tentangku
sampai detail begini.
"Aku sudah
sarapan... " ucapku begitu Anais masuk ke dalam rumah.
"Cemilan
sehat? " ucapnya menawariku.
"Untuk apa?
" tanyaku lalu masuk ke kamar dan berkemas.
"Mau
kemana? " tanyanya sambil mengikutiku.
"Pulang,
inikan rumah anakku. Harusnya kamu tau. Apa hasilmu menguntit kurang lengkap?
" jawabku sekaligus menyindirnya.
"Aku tidak
menguntitmu. Aku selalu menjadi teman baik istri-istrimu. Makannya aku tau
banyak soal kamu... " jawabnya lalu membantuku berkemas.
"Apa
pekerjaanmu? " tanyaku sambil memilih barang yang akanku bawa.
"Em, aku
punya bisnis fashion... Tiap tahun aku jadi legenda. Kau tau A+ itu milikku dan
suamiku dulu. Aku selalu mengembangkan rumor kalau bisnis di pegang anaknya...
Begitu seterusnya... " jawabnya sambil menatapku.
Aku hanya
mengangguk lalu menutup koperku dan membawanya keluar.
"Chevas...
" panggilnya sambil mengikutiku. "Apa aku boleh tinggal di rumahmu?
" tanyanya sambil berjalan mengikutiku.
"Tidak...
" jawabku singkat lalu memasukkan barang-barangku ke bagasi mobilku.
"Lalu kapan
kita akan mulai ?" tanyanya terus mengikutiku dan mengusikku.
Masih banyak
lagi pertanyaannya, bukan banyak. Sebenarnya ia hanya mengulang-ulang
pertanyaannya. Sampai akhirnya aku di buat pusing sendiri dengan kelakuannya.
Oke akan ku berikan apa yang dia mau.
"Anais...
" panggil ku lalu menghela nafas. Ia langsung menatapku dengan senyum
manis di bibirnya. Tanpa memberinya kesempatan menjawab panggilanku, aku
langsung mencium bibirnya. "Ayo menikah, tolong siapkan semuanya... "
ucapku setelah memcium bibir indahnya.
Anais langsung
mengangguk dengan canggung. Mulutnya yang dari tadi cerewet langsung diam.
Perlahan tangannya naik dengan jemari yang menyentuh bibirnya.
"Pulanglah...
Siapkan semuanya... " ucapku lagi lalu mengantarnya keluar.
Anais hanya mengangguk lalu masuk ke dalam mobilnya. Wajahnya yang bersemu tak kunjung hilang. Ia cantik sekali, apa lagi saat diam begitu.
0 comments