Bab 04
Hampir seminggu aku tak keluar rumah sejak pertemuanku dengan Anais.
Gadis cantik itu membuatku sedikit terkejut. Aku terus memikirkan banyak hal
tentangnya. Tapi bila ia berniat buruk padaku, kenapa tidak dari awal ia
lakukan? Kenapa ia hanya menjadi tamu dan mempermainkanku saja?
"Bapak, ada
tamu..." ucap tukang kebun di rumahku yang datang dengan tergopoh-gopoh ke
ruangan ku.
"Siapa?
" tanyaku lalu bangun dan berjalan keluar.
"Anais
katanya... "
Seketika langkahku
langsung terhenti mendengar nama Anais di sebut. Ku lihat gadis itu baru saja
duduk di sofa ruang tamuku dan kembali berdiri karena kemunculanku. Ia
tersenyum, hanya seulas senyum lembut yang terpatri di wajahnya.
"Selamat
pagi... " sapanya dengan ramah.
"Ada perlu
apa? " tanyaku tanpa berbasa-basi.
"Aku minta
maaf... " jawabnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Sudah di
maafkan! Pergilah!" ucapku saya kaligus mengusirnya lalu memunggunginya
dan melangkah masuk lagi, tapi belum jauh aku melangkah.
"Chevas
tunggu... " panggilnya menahanku.
Sudah lama
sekali aku tidak di panggil Chevas. Bagaimana bisa ia tau namaku.
"Oke apa
maumu?! " ucapku menantangnya dan kembali ke ruang tamu.
"Aku minta
maaf... Aku yang sudah mengacaukan semua... " ucapnya lalu berlutut
meminta maaf padaku.
"Apa
maksudmu? " tanyaku yang makin kebingungan.
"Aku cupid
yang sudah mengacaukan tugasmu. Aku yang menancapkan panah itu pada Diana
sebelum ia di perkosa waktu itu. Aku juga yang sudah menancapkan panahku tanpa
sengaja pada beberapa helai rambutmu. Aku alasan kenapa kau berfikir menjadi
manusia adalah hal yang baik. Aku minta maaf... " ucapnya sambil
berlinangan air mata.
Aku hanya diam,
tak habis fikir dengan apa yang sudah di lakukan wanita sinting ini padaku.
Entah itu nyata atau tidak. Aku bingung dan tak percaya.
Aku langsung
terduduk. Tak hanya kakiku, tapi juga tubuhku langsung gemetaran. Aku tak
menyangka akan bertemu cupid sialan itu sekarang. Jika boleh jujur aku percaya
padanya. Tapi di sisi lain aku tak percaya dengan panah yang mengenaiku. Aku
tak melihatnya, aku tak merasakan apa-apa. Bagaimana bisa?
"Aku minta
maaf. Aku mengira akan memperbaiki hidup mereka dengan cinta dan kehangatan
kasih sayang. Ternyata aku salah. Aku tak bisa melawan takdir... " ucapnya
masih meminta maaf dan menjelaskan padaku.
Aku bersumpah.
Mungkin bila ia bukan wanita, aku pasti sudah merobek mulut cerewet nya itu
sekarang.
"Lalu mau
apa kamu kalau aku memaafkanmu ? Toh selama ini kamu terus sembunyi. Mau apa
sekarang? " tanyaku tanpa menatapnya.
"Aku ingin
kembali, aku hanya bisa kembali dengan maafmu... " ucapnya yang sungguh
sangat egois.
"Ku maafkan...
Pergilah... "
"Tapi aku
juga perlu cinta sejati dari jiwa yang murni... "
"Jiwaku
hitam, dingin dan suram. Ku maafkan, pergilah! "
"Dan aku
perlu menebusnya sekarang dan membawamu kembali bersama-sama... "
Aku hanya
menatapnya lalu menampar nya dengan cukup kuat. Anais hanya diam, tersungkur
sambil memegangi pipinya tanpa membalas ku. Aku hanya menatapnya sinis lalu
masuk dan di sudahi dengan suara bantingan pintu yang cukup keras.
Jelas aku mau
kembali ke kodratku lagi. Menjalankan tugasku sesuai bagaimana aku di ciptakan
dulu. Tapi bagaimana aku bisa percaya pada cupid ceroboh ini. Ia yang sudah
menyeretku sampai sejauh ini karena kesalahan kecilnya yang nekat untuk
bereksperimen saat bertugas.
●●●
Dua hari aku tak membuka pintu kamarku dan itu rasanya masih tak cukup
untuk meredam marah, sedih dan kekecewaanku pada Anais. Apalagi saat aku
mendapati Anais masih di rumah dan berdiri di depan pintu kamarku.
"Kalau kau
mau kembali. Aku siap membunuhmu.... " ucapku dingin lalu menyeretnya
keluar.
"Ku mohon!
Chevas... Ijinkan aku memperbaikinya.... Berikan aku kesempatan... Ku mohon...
" ucapnya memohon-mohon padaku sambil mengikuti langkah kakiku yang
menyeretnya.
"Kesempatan
apa lagi? " tanyaku lalu menghempaskannya di luar.
"Biarkan
aku memurnikan jiwamu lalu kita pergi bersama.... " jawabnya penuh percaya
diri.
"Cih! " aku hanya berdecih tak
percaya dengan apa yang akan ia lakukan. Tentu saja itu tak akan berhasil, aku
memang merenehkannya. Karena cupid adalah peri dan mahluk yang paling konyol
dan hanya menjadi lelucon di antara kami.
"Beri aku
waktu, bila aku sama sekali tak bisa memurnikanmu. Maka bunuh saja aku... Aku
ikhlas dan rela... " ucapnya memaksaku.
"Berapa
lama? " tanyaku mempertimbangkan.
"Seusia
anakmu, Burhan... " jawabnya.
"Pergilah..
" usirku yang kesekian kali lalu masuk ke rumahku.
●●●
Jujur, aku memang marah padanya. Tapi aku juga tak 100% menyalahkannya
atas apa yangku alami saat ini. Aku memang ingin kembali, dunia ini memang
menyenangkan. Dimana teknologi dan ilmu yang begitu pesat berkembang. Tapi aku
juga sudah lelah terus di tinggalkan semua orang. Hidup sendirian begini.
"Anais...
" gumamku sambil menghela nafas dan menenggelamkan diriku dalam bathtub.
Apa aku perlu
membalas dendam? Tapi bukankah itu salah dan tidak sesuai dengan apa yang
seharusnya. Aku pernah berbuat salah. Aku tak akan mengulanginya lagi. Tapi aku
juga kesal karena ulahnya waktu itu. Tapi bukankah ini takdir?
Aku berusaha
menerima semua kembali. Setelah aku mengira bila kesalahanku karena memikirkan
untuk hidup menjadi manusia. Sekarang aku tau apa yang terjadi. Sebelumnya aku
bisa mengerti dan menerima semuanya. Tapi sekarang, rasanya aku perlu menata
ulang semuanya sebelum siap.
Selama itu pula
aku menunggu Anais datang kembali dan menepati ucapannya untuk memurnikan
hatiku, mungkin. Tapi sayangnya anais tak kunjung datang. Entah sudah berapa
lama ia tak datang. Bahkan Tania sampai datang mengurimiku undangan
pernikahannya. Ini sudah cukup lama. Bahkan Tania yang labil saja bisa cukup
waktu untuk berfikir dan yakin pada pasangannya.
Gila! Apa yang
ku lakukan selama ini gila! Menunggu wanita itu.... Sudah mengikis akal sehat
ku.
●●●
Dua hari aku tak membuka pintu kamarku dan itu rasanya masih tak cukup
untuk meredam marah, sedih dan kekecewaan ku pada anais. Apalagi saat aku
mendapati anais masih di rumah dan berdiri di depan pintu kamarku.
"Kalau kau
mau kembali. Aku siap membunuh mu.... " ucapku dingin lalu menyeretnya
keluar.
"Ku mohon!
Chevas... Ijinkan aku memperbaikinya.... Berikan aku kesempatan... Ku mohon...
" ucapnya memohon-mohon padaku sambil mengikuti langkah kakiku yang
menyeretnya.
"Kesempatan
apa lagi? " tanyaku lalu menghempaskannya di luar.
"Biarkan
aku memurnikan jiwamu lalu kita pergi bersama.... " jawabnya penuh percaya
diri.
"Cih! " aku hanya berdecih tak
percaya dengan apa yang akan ia lakukan. Tentu saja itu tak akan berhasil, aku
memang merenehkannya. Karena cupid adalah peri dan mahluk yang paling konyol
dan hanya menjadi lelucon di antara kami.
"Beri aku
waktu, bila aku sama sekali tak bisa memurnikanmu. Maka bunuh saja aku... Aku
ikhlas dan rela... " ucapnya memaksa ku.
"Berapa
lama? " tanyaku mempertimbangkan.
"Seusia
anakmu, Burhan... " jawabnya.
"Pergilah..
" usirku yang kesekian kali lalu masuk ke rumahku.
●●●
Jujur, aku memang marah padanya. Tapi aku juga tak 100% menyalahkannya
atas apa yangku alami saat ini. Aku memang ingin kembali, dunia ini memang
menyenangkan. Dimana teknologi dan ilmu yang begitu pesat berkembang. Tapi aku
juga sudah lelah terus di tinggalkan semua orang. Hidup sendirian begini.
"Anais...
" gumamku sambil menghela nafas dan menenggelamkan diriku dalam bathtub.
Apa aku perlu
membalas dendam? Tapi bukankah itu salah dan tidak sesuai dengan apa yang
seharusnya. Aku pernah berbuat salah. Aku tak akan mengulanginya lagi. Tapi aku
juga kesal karena ulahnya waktu itu. Tapi bukankah ini takdir?
Aku berusaha
menerima semua kembali. Setelah aku mengira bila kesalahan ku karena memikirkan
untuk hidup menjadi manusia. Sekarang aku tau apa yang terjadi. Sebelumnya aku
bisa mengerti dan menerima semuanya. Tapi sekarang, rasanya aku perlu menata
ulang semuanya sebelum siap.
Selama itu pula
aku menunggu Anais datang kembali dan menepati ucapannya untuk memurnikan
hatiku, mungkin. Tapi sayangnya anais tak kunjung datang. Entah sudah berapa
lama ia tak datang. Bahkan tania sampai datang mengurimiku undangan
pernikahannya. Ini sudah cukup lama. Bahkan tania yang labil saja bisa cukup
waktu untuk berfikir dan yakin pada pasangannya.
Gila! Apa yang
ku lakukan selama ini gila! Menunggu wanita itu.... Sudah mengikis akal sehat
ku. [Next]