Gadis itu bernama Diana. Muda, pintar, cerdas, berbakat, nilainyapun di
atas rata-rata. Tak hanya itu ia juga mempunyai wajah yang cantik dan senyum
yang manis, ia sangat ramah dan sstt...,
ini sedikit rahasia tubuhnya juga sexy.
Beberapa kali aku menyentuh dadanya saat mengecek berapa banyak lagi ia masih
harus berdetak.
Jangan
memandangiku sebagai seorang yang mesum dan cabul, karena nyatanya aku bukan
manusia. Belum. Aku tak tau apa itu namaku, tapi pemimpin selalu memanggilku
Chevas. Cavaco Chevas, begitu semua mengenalku. Cepat, akurat, patuh dan setia.
Mungkin itu kenapa namaku di samakan dengan nama kuda, Chevas. Kadang aku bingung kenapa aku tak berbentuk seperti
Sagitarius itu? Pasti akan lebih keren dan sesuai namaku.
Sesuai perintah
dan tugasku, aku harus mengikuti gadis ini. Selama 40 hari full aku harus selalu mengikutinya. Ini normal terjadi, bahkan ada
lebih dari 100 makhluk sepertiku yang tersebar dan siap membunuhnya kalau ia
tidak di tentukan kembali lebih cepat. Aku benci harus mengikuti manusia ini,
bila kau kira malaikat maut sepertiku ini kejam. Kau salah!
Karena gadis
manis itu, aku berharap menjadi manusia yang seperti pangeran yang
memakaikannya sepatu kaca atau kesatria yang menaiki kuda putih yang gagah. Aku
pasti sudah berada di sampingnya menggenggam tangan lembutnya itu dan
mengantarnya pulang dengan selamat dan minum teh bersama keluarganya sembari
menghangatkan tubuh di depan perapian.
Ini waktu yang sudahku
tunggu lama sekali, tinggal hitungan jam saja aku bisa membawanya kembali dan
ia akan di lahirkan kembali entah kapan. Aku mulai membuka buku catatanku,
membaca kembali bagaimana ia akan pergi. Harusnya sebentar lagi akan ada pria psycopat yang membunuhnya karena sudah
di tolak cintanya. Kekanakan sekali. Kematian yang paling tolol dan hah... Apa-apaan alasan ini?! Di tolak?
Hanya itu?
Oke, pria itu
datang. Roberto namanya, dia juga ada di daftarku sepuluh tahun lagi karena
kecelakaan saat berkuda. Hmm..., mari
kita ikuti kembali Diana, sambil mengikat rantaiku di lehernya. Harusnya ini
cepat, pria itu juga sudah mengacungkan pisau dapurnya dan mulai menyudutkan
Diana. Diana mulai tersudut dan menangis ketakutan. Tapi sayang Roberto malah
menjatuhkan pisaunya dan menyudutkan Diana.
Bagaimana bisa?
Ini salah! Aku kembali mengecek catatanku. Sial! Bagaimana bisa ini berubah?!
Sejak kapan?!
Aku berusaha
menarik Roberto dan memberikan kembali pisaunya. Ini harus sesuai dengan
perintah! Ku lihat ke sekeliling, aku melihat sayap kecil itu. Sayap kecil
menyebalkan! Cupid sialan!
Ini kenapa kami
benci untuk berdamai dengan para peri itu! Lihat bagaimana catatanku saat ini!
Roberto memperkosa Diana dan akhirnya tetap membunuhnya karena takut
bertanggung jawab, tak hanya itu saat ini Diana sudah jatuh cinta pada Roberto.
Caranya berciumanpun penuh dengan kerelaan dan rasa bahagia. Ini akan jauh lebih
menyakitkan dari sebelumnya.
Srash! Ini yang terbaik, sampai
jumpa Roberto. Kurasa ini akan baik untuk Diana. Keputusanku memang buruk,
tapiku rasa bila Roberto terus hidup ia akan memperkosa dan membunuh lebih
banyak lagi. Wanita malang yang haus akan cinta. Menyedihkan!
●●●
Millie, gadis manis lain yang ku ikuti. Harusnyaku ikuti. Melelahkan
sekali, bahkan ia jauh lebih baik dari Diana. Gadis optimis, penuh ambisi,
pemberani, dan santun. Millie tak seseksi Diana, tapi rasanya cukup dengan inner beautynya saja ia bisa membuat
semua pria jatuh hati padanya.
Aku makin ingin
menjadi bagian dari para manusia ini. Aku tau mereka lemah dan hanya punya satu
nyawa, kucing saja punya lebih banyak, hah!
Aku perlu kembali, membereskan pikiran gilaku ini. Sebelum aku menyelamatkan
semua manusia lemah itu.
"Aux, kau
ambil alih tugas Chevas. Ia sudah cukup lelah dan banyak mengacau!" ucap
Pemimpin begitu aku sampai.
Aku terbelalak
kaget dengan apa yang ia putuskan. Bagaimana bisa? Apa salahku? Mengacau? Apa
karena Diana?
"Kembalilah
ke dunia itu, hiduplah seperti yang kau harapkan..."
Hanya itu yang
ku ingat sebelum akhirnya aku mendarat entah di mana, sayapku yang kokoh
hilang. Tubuhku ambruk dan menggigil kedinginan untuk yang pertama kalinya. Aku
tak tau bagaimana nantinya. Aku pasrah pada pertama kalinya aku hidup. Aku tak
tau lagi harus bagaimana.
Perlahan mataku
terpejam, cukup lama. Benda dingin ini, suara gonggongan itu. Aku tak yakin di
mana aku sekarang. Apa ini hukumanku? Ah entahlah, aku tak sadar lagi.
●●●
"Dia Ken! Anakku, anak kita! Dia kembali dari surga! "
"Tidak
mungkin dia Ken! "
Suara
pertengkaran itu terdengar begitu nyaring. Tubuhku juga terasa sangat nyaman,
hangat dan ya aku tak tau ada rasa senyaman ini saat memejamkan mata. Mataku
sulit terbuka, rasanya masih sangat malas dan ingin terus terpejam bahkan
meskipun aku sudah terduduk. Punggungku terasa sangat ringan. Oh ini tak
seimbang! Ini salah!
Mataku
terbelalak tak percaya, sayapku. Sayapku! Sayapku hilang! Tanganku mulai meraba
punggungku. Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Aku langsung berlari ke arah
cermin, tapi belum aku berdiri di depannya. Kakiku sudah gemetar. Tak mungkin
aku terlihat di cermin.
"Ah, dia
sudah bangun !" ucap pria tua itu lalu segera membantuku bangun.
Cepat-cepat aku
merobek piama berbentuk seperti gaun tolol ini. Aku kembali melihat punggungku,
ada dua bekas luka besar di sana. Sayapku benar-benar hilang. Aku yang berdiri
dengan kondisi tanpa busana langsung meluruh ke tanah. Air mataku mengalir,
teriakan-teriakan frustasi keluar dari mulutku. Bagaimana bisa aku di buang!
Rambut putih panjangku yang terurai indah juga sudah berubah warna menjadi
hitam legam. Mataku yang berwarna keemasan juga sudah hilang dan berganti warna
menjadi lebih gelap kecoklatan.
●●●
Entah berapa hari aku hanya diam di kamar, cermin kecil yang di berikan
seorang wanita tua. Entah, mungkin istri dari pria tua yang selalu
memperhatikanku. Aku hampir tak pernah melakukan hal lain selain memandangi
wajahku dan perubahan tubuhku ini.
"Ken, apa
kau masih marah? " tanya pria itu padaku.
Aku hanya menatapnya
dengan pandangan dinginku. Aku bingung harus berekspresi atau menanggapi
bagaimana. Lalu kenapa ia memanggiku Ken ? Siapa Ken? Kenapa semua orang
memanggilku Ken?
"Ayah menyesal
melarangmu menikah dengan Elisabeth, ayah tidak akan mengulanginya lagi. Ayah
selalu berdoa meminta agar diberi kesempatan bertemu denganmu dan dapat
kembali... Kembali memulai dari awal... " ucapnya lagi sambil menggenggam
tanganku.
Tangannya
hangat, keriput dan hmm... Dingin! Refleks aku lepaskan tangannya yang
menggenggamku. Ia terlihat sangat sedih dan cukup terkejut dengan apa yang ku
lakukan. Aku tak tau bagaimana sekarang. Pertama aku Chevas bukan Ken! Kedua
pria ini hanya memiliki waktu sedikit.
"Aku tak
ingat apapun... Maafkan aku... " ucapku lalu kembali berbaring.
"Apa kau
lupa ayah? " tanyanya yang jelas aku tak mengetahuinya, aku hanya mengangguk.
"Ken, apa kau ingat Elisabeth? " tanyanya lagi sambil menunjukkan
foto padaku.
Entah kenapa aku
melihat semua kejadian dari foto yang ia tunjukkan padaku, bahkan aku melihat
seorang wanita muda yang mati bunuh diri karena Ken mungkin? Entahlah ia bodoh
sekali rasanya.
"Dia sudah
mati... " ucapku, pria itu terlihat syok mendengar ucapanku.
"Belum! Dia
masih hidup. Dia sekarat! " ucapnya membenarkan ucapamku.
Aku hanya
mengangguk.
"Maafkan
ayah, ayah tidak akan menghalangi cintamu lagi. Menikahlah dengan Elisabeth...
" ucap pria itu.
Hah! Yang benar
saja! Aku harus menikahi wanita yang tengah sekarat. Apa untungnya untukku!
"Ken? Kau
tidak mau? " tanyanya padaku.
"Tidak, ku
rasa bila kau melarangnya itu yang terbaik... " jawabku lalu membenarkan
selimut tebal yang ku pakai.
Pria itu
terlihat sangat senang dengan apa yang ku ucapkan. Aneh apa yang terjadi dengan
keluarga ini? Tadi menyuruhku menikah, sekarang senang saat aku menolaknya?
Manusia ini membingungkan.
Tak selang lama
wanita tua, istri pria tua itu datang. Ia terlihat sama bahagianya dengan pria
tua itu. Ia membawakanku sup, juga foto keluarga. Isabel Albertini Mallarno G.
Dregou nama yang cukup panjang untuk wanita tua yang rupanya ibu dari Ken.
Alfredo Amaral G. Dregou nama pria tua, suami Isabel ini.
Dan Antonio Ken
G. Dregou adalah nama baruku. Aku tak merasa mirip dengan anak mereka yang
sangat bodoh ini. Tak mungkin aku mati karena cinta! Tak ada orang mati yang
kembali lagi! Tapi sudahlah, aku akan menetap disini sampai aku tau harus
bagaimana. Lagi pula mereka begitu hangat dan sangat menyayangiku.
●●●
Hampir tiap hari mereka selalu ke kamarku dan menceritakan ini itu soal
Ken, dan selama itu pula aku belajar menjadi Ken. Menirukan apa yang kebiasaan
Ken dan berusaha menjadi lebih baik dan jadi lebih ideal untuk ukuran anak yang
berbakti.
"Apa aku
boleh menemui Elisabeth itu Bu? " tanyaku pada Isabel.
"Tentu,
tentu saja. Mari kita temui... " jawabnya bersemangat.
Saat aku keluar
kamar setelah selesai bersiap, stelan ini tampak sangat pantas untukku. Setelan
yang biasa di pakai para bangsawan. Tunggu bangsawan? Keluarga ini? Apa
keluarga ini seorang bangsawan?!
Seolah de javu aku kembali teringat, Mel.. Argh
sial aku tak bisa mengingat nama itu! Siapa dia? Ah sudahlah yang jelas aku
pernah meminta ini. Permintaan dari hati kecilku yang dingin.
"Antonio
Ken G. Dregou... Aku Antonio Ken G. Dregou... " gumamku pelan lalu keluar
kamar.
Benar saja
banyak pelayan yang mondar-mandir dan langsung menundukkan badan untuk
memberiku hormat. Senyumku langsung mengembang, ini sangat sesuai dengan apa
mau ku! Oke apa aku perlu sedikit menyelamatkan elisabeth?
"Sudah
siap? " tanya Isabel padaku.
Aku hanya
mengangguk lalu duduk di sampingnya, sementara ada kusir yang tampak siap
mengantar kami dan mengatur kuda-kuda itu.
Isabel terus
menceritakan siapa Elisabeth bahkan ia menceritakan kapan Ken bertemu dengannya
dan kenapa ia membenci Elisabeth. Alasan yang sangat sederhana sebenarnya,
hanya karena elisabeth lebih suka menjadi seorang petualang dari pada menjadi
seorang bangsawan. Ku rasa katanya sama denganku atau oh aku salah ia jauh di
bawahku.
Ia cukup cantik,
terlihat kurus dan tinggal tulang saja. Tapi menurutku itu yang membuatnya
cantik. Ia terlihat sangat senang saat melihat ku. Tangisnya langsung pecah
saat memelukku. Gambaran soal kematiannya sedikit memudar. Ada kemungkinan ia
pulih dan memulai hidup yang lebih baik.
Setelah aku
menemuinya. Aku dan Elisabeth mulai berpacaran, hanya sebatas sampai aku
membuatnya memutuskan hubungannya denganku. Lalu hidup bahagia dengan kehidupan
barunya, tapi rasanya itu tak akan realisasikan karena ia sangat posesif
padaku.
Aku yang sudah
berjanji pada Isabel dan Alfredo memilih untuk tetap memutuskan hubunganku
dengan Elisabeth dengan penjelasan yang ku bisa. Aku tak pernah bertemu dengan
Elisabeth lagi sejak itu.
"Ken,
kenalkan ini Caterina Annunziata Ajmone-Marsan bagaimana menurutmu? " ucap
Isabel saat aku tengah membaca di perpustakaan sambil membawa gadis lugu yang
terlihat sangat muda padaku.
Aku tertegun memandanginya, seorang wanita muda dari keluarga yang kaya, berpendidikan, ramah, ceria, kematiannya kelak juga tidak konyol dan menyakitkan. Ia akan mati secara cantik dan penuh rasa bahagia. Caterina, yang akhirnya menjadi istriku yang pertama di dunia.
0 comments