Bab 03
Tak terasa sudah satu tahun sejak kepergian istriku. Peringatan satu
tahun kematiannya di peringati dengan berdoa bersama. Anak, cucu dan keluarga
kami berkumpul. Sementara aku tetap di kamarku sambil menatap langit biru yang
perlahan diselimuti mendung. Aku juga mau mati, aku mau jadi tua, aku mau
kembali bertemu Caterina, Isabel, Alfredo, dan semua orang yang pernah
menghabiskan waktunya bersamaku.
"Bapak gak
mau keluar ?" tanya Burhan yang masuk ke kamarku dan kembali membujukku.
"Iya,
sebentar lagi... " jawabku lalu menghela nafas panjang dan bersiap keluar
menemui tamuku.
Baju serba hitam
seperti biasanya yang ku pakai. Tania dan pacarnya ikut datang dan menyalimiku
juga. Tania tampak mencemaskanku, apalagi aku adalah aset pendulang tambahan
uang sakunya dengan foto iklan itu. Melihat kantung mataku yang tebal dan wajah
lelahku membuatnya sangat khawatir. Yohana juga begitu. Ia juga sampai
repot-repot membawakan suplemen untukku.
"Permisi,
maaf... " ucap seorang gadis muda yang begitu mempesona membuka barisan
untuk menyalimi keluargaku. "Maaf, aku terlambat... Aku turut berduka cita...
" ucapnya sambil menyalimi Burhan lalu Yohana, Tania dan pacarnya.
Ia melewatkanku
begitu saja, namun ia tetap melirikku. Lirikannya yang nakal dan sedikit manja
nan menggoda itu benar-benar mengingatkanku pada wanita yang ku lihat saat
pemakaman Caterina dulu. Aku tak melihat sama sekali bagaimana wanita ini akan
mati nantinya. Aki juga tak melihat batasan umurnya. Wanita ini! Wanita yang
sama dengan wanita 350 tahun lalu. Bukan! Ia juga hadir di pemakaman Seira, Hui
Yang, Ingrend, Helend, Elena, Vera, Tere, dan pemakaman anak-anak pertamaku.
Siapa dia?
"Tunggu!
" ucapku berusaha menahannya tapi ia berlalu begitu saja dengan cepat.
Aku tadi jelas
melihatnya mengobrol, tapi bagaimana bisa wanita itu pergi begitu saja dengan
cepat dan tanpa jejak?! Bagaimana bisa?
"Bapak...
Pak... Bangun...! " panggil Burhan panik sambil menggoncangkan tubuhku.
Mataku terbuka
lebar, lalu menatap sekeliling. Wanita itu ada di sampingku! Yohana dan tania
juga ada.
"Bapak
jarang makan ya? Sampai pingsan gini? " tanya Yohana khawatir.
Aku hanya diam
menatap wanita yang ku kejar tadi. Ia menatapku dengan cukup khawatir dalam
diam, kedua tangannya saling menggenggam dan tampak sangat cemas.
"Kamu
siapa? " tanyaku padanya to the poin.
"Aku tadi
datang, baru mau salim eh Masnya dah pingsan. Padahal aku baru mau bilang kalo
orang tuaku gak bisa dateng. Aku khawatir, makannya ikut kesini... "
jelasnya.
Gila! Tidak
mungkin! Siapa dia? Dan lagi sejak kapan aku pingsan dan sakit? Semua terasa
sangat nyata tadi. Tidak ini tidak mingkin.
"Ku ambilin
teh... " ucap Tania lalu keluar kamar, Yohana juga menyusul keluar.
Sementara burhan masih duduk sambil memijit kakiku.
"Kita
ketemu lagi nanti... " bisiknya lalu keluar kamar.
Baru aku akan
bangun dan melangkah mengikutinya. Aku sudah berdiri di depan. Di tengah-tengah
pintu masuk sambil menatapnya yang berjalan pergi menjauh di telan keramaian
dengan bayangnya yang di hempas angin semilir. Siapa wanita itu...
"Ih opa! Di
cari in juga! Itu tamunya yang lain di salimin... " ucap tania sambil
menggandengku masuk.
Sungguh, apa
yang barusan wanita itu lakukan padaku? Ini sangat membingungkan! Ini terlalu
gila! Dan lagi, dia itu siapa berani sekali mempermainkan pikiranku!
●●●
Apa yang ku lalui kemarin benar-benar terasa seperti mimpi. Semua terasa
sangat tidak nyata dan terus berputar-putar. Membingungkan dan membuatku
pusing. Bahkan Burhan sampai heran aku perlu beberapa obat sakit kepala dan
tidur lebih nyenyak lagi. Burhan juga mengkhawatirkanku dan cemas, takut bila
aku terlalu meratapi kepergian Yanti.
Burhan juga
memintaku untuk memulai hubungan baru. Ia tak keberatan bila aku menikah lagi,
ia tak mau melihatku sedih dan sakit. Come
on boy! Aku tak mungkin meratapi wanita tua itu, yang benar saja. Ada
begitu banyak wanita di dunia ini, bahkan wanita cantik bisaku beli. Kalaupun
aku bisa membelinya aku bisa merayunya agar ia mau jadi milikku. Wanita-wanita
yang mendambakan cinta dan komitmen, mereka terlalu banyak jumlahnya. Dan kau
tau saat suatu barang jumlahnya banyak? Mereka menjadi murah, tak ada yang
perluku khawatirkan.
"Bapak cari
istri lagi aja gapapa pak, cari pacar dulu... Bapak jangan sedih terus...
" ucapnya mengkhawatirkanku.
"Nanti kalo
bapak punya istri baru kamu marah... " ucapku menggodanya.
"His bapak!
Udah lah pak gapapa... Ibu pasti dah bahagia di surga... " ucapnya memaksa
ku.
"Yaudah
iya... Nanti bapak cari istri baru... " jawabku lalu memejamkan mata dan
memunggunginya berharap burhan cepat pergi meninggalkanku sendiri.
Aku butuh
ketenangan. Aku benar-benar penasaran, siapa wanita itu? Siapa gadis manis itu?
Kenapa ia selalu datang di tiap acara pemakaman keluargaku? Banyak sekali
pertanyaan berseliweran di kepalaku, tapi yang paling penting dan inginku
ketahui bagaimana bisa ia mempermainkan pikiranku begitu?
"Han, kamu
kerja saja. Kamu pulang duluan gapapa... Bapak di sini dulu... " ucapku
pada burhan yang kembali masuk kamar membawakan minum dan beberapa suplemen.
"Tapi
bapak... "
"Bapak
gapapa. Kamu khawatirkan saja pekerjaanmu. Kalo kamu gak kerja bapak jajan
pakek uang siapa... " potongku.
Burhan langsung
tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku.
"Itu pelayan
sama susternya di kurangin aja. Pelayan satu, tukang kebun satu aja bapak dah
cukup... Bapak belum jompo... " ucapku lagi lalu bangun dan memakai kimono
hitamku.
Yohana yang
masuk ke kamarku, sesaat membelalakkan matanya. Entah kenapa, kurasa ia menyukaiku
dan tubuhku yang begitu sempurna. Terlalu jelas ia menunjukkan ketertarikannya,
melihat caranya memalingkan pandangan saja sudah sangat jelas bila ia
menyukaiku.
"I-ini
makan siangnya pak... " ucapnya padaku.
"Bawa
keluar, aku saja nanti yang ke sana... " jawabku lalu masuk ke kamar
mandi.
"Bapak, mau
pergi kemana nanti? " tanya burhan sedikit berteriak.
"Jalan-jalan...
Seneng-seneng... Mau ikut? " jawabku sekaligus menawarinya.
Burhan hanya
diam tak selang lama suara pintu kamarku terdengar, burhan dan istrinya keluar
begitu saja. Aku tak ambil pusing, karena memang seperti itu kelakuan anakku,
aku bisa memahaminya dan menganggap burhan anakku. Setidaknya aku sudah
membantu untuk mengasuhnya sejak balita. Semantara anakku Fatma yang meninggal
karena terkena cacar air.
Berendam dengan
air hangat sekaligus mandi sudah, bercukur pun sudah. Rasanya aku siap untuk
mencari wanita baru. Pasti sebentar lagi aku perlu memperbaiki identitasku.
Setelah memakai
kaos oblong dan celana jeans ketat berwarna hitam dan sudah usang. Untuk alas
kaki aku lebih memilih memakai army boot.
Aku juga menambahkan jaket kulit untuk menyempurnakan penampilanku.
"Bapak mau
ke barber, mau ke salon... "
ucapku pamit pada anak dan cucuku.
"Opa kok
kayak pacarnya kak Tania? " tanya cucu bungsuku.
"Opa jelek
dong? " jawabku yang sama sekali tak suka di samakan, tapi cucuku ini
masih sangat polos. Jelas ia memujiku, hanya saja ia tak tau caranya. "Opa
pergi dulu, mau cukur. Andi mau ikut? " sambungku lalu berjongkok di
depannya.
"Tidak, aku
tidak mau... " jawabnya sambil menggeleng dan tersenyum.
"Opa pergi
dulu ya... " ucapku pamit padanya sambil mengecup keningnya dan
menyaliminya.
Andi hanya
melambaikan tangannya padaku dengan ceria, sambil berteriak "dada opa!
" berkali-kali. Sampai aku keluar gerbang dengan mobil VW kodok putih
milikku.
Bukan hal baru
dan perluku sombongkan tiap datang ke salon dan langsung menjadi pusat
perhatian begini. Bahkan aku yang baru sampai langsung dapat pelayanan layaknya
tamu VVIP. Salon milik Ci Mina teman
baik mendiang istriku. Ci Mina jelas sudah jompo, sekarang saja yang mengelola
anaknya. Ya... Meskipun ia tak terlalu pikun dan em... Sudahlah mau
bagaimanapun ia sudah bangkot.
"Pangkas
saja, em... Bisa keramas dan beri vitamin juga..." ucapku sambil berjalan
ke salah satu kursi bersama seorang pegawai yang terlihat lebih senior ini.
"Ah! Ci Mina... " sapaku pada Ci Mina yang baru datang.
Ci Mina hanya
tersenyum dan melambaikan tangan keriputnya padaku lalu pergi masuk ke
ruangannya. Sementara aku tengah di cukur dan menikmati pijatan kepala juga.
Aktivitas salonku rasanya lumayan lama. Apa lagi entah kenapa ada pegawai salon
yang merapikan kuku-kuku jari tanganku.
"Sudah...
Jadi berapa semuanya? " tanyaku pada kasir.
"Kata
nyonya, mas di suruh bikin video aja... Semua gratis... " ucap pegawai
kasir.
Alisku
menyeringit, aku sedikit tersinggung. Apa mereka kira aku datang untuk mengemis
dan mencari gratisan. Bisa-bisanya!
"Ci Mina,
teman istriku... Aku hanya menyapanya... Aku mampu bayar... " ucapku tegas
menolak permintaannya untuk membuat video promosi.
"Tapi
mas... "
"Mana Ci
Mina? " potongku lalu berjalan masuk tanpa permisi ke ruangan Ci Mina.
"Hai...
" sapa wanita misterius yang ku cari-cari itu baru selesai mengganti
bajunya dengan kimono.
"Kamu! Kamu
siapa? " tanyaku to the poin
lalu memegangi tangannya.
"Apa-apaan
ini? " tanyanya sambil meronta.
"Kamu
gampang hilang. Aku gak tau siapa kamu dan lagi kamu dah mempermainkan otakku
kemarin... " jawabku yang makin mengeratkan pegangan tanganku padanya.
"Ah,
maafkan aku. Mungkin caraku salah menunjukkan kalau kita senasip... "
ucapnya sedikit ketakutan. "Tolong lepaskan aku... " sambungnya
memohon padaku dengan memelas.
"Apa
maksudmu? " tanyaku bingung dengan apa yang ia ucapkan.
Ia hanya
mengangguk lalu menurunkan kimononya, menunjukkan bekas luka yang sama seperti
ku di punggungnya. Memang tidak sebesar punyaku. Mungkin sayapnya kecil, tapi
bukannya semua malaikat seperti ku memiliki sayap besar yang kokoh. Sayap
sekecil ini apa mampu menahan beban dan menghadapi medan berat? Kecuali kalau
dia peri.
"Aku
Anais... " ucapnya lalu menutupi punggungnya lagi.
Mataku terbelalak sesaat. Aku langsung pergi begitu saja tanpa sempat membayar biaya salonku. Ini tidak mungkin!