Bab 02
Aku memiliki enam orang putra dari pernikahanku dengan Caterina, dan
entah sudah sampai buyutku yang keberapa sekarang, sudah 415 tahun aku hidup di
dunia. Tanpa menua tanpa sakit, dan terus terlihat fresh. Entah sudah berapa kali aku menikah dan punya anak. Entah
sudah berapa kali aku mengganti tahun kelahiran ku sejak aku hidup sebagai
manusia di tahun 1603 M. Anak, istri, cucu, buyutku rasanya masih bisa
mempercayaiku yang tak bisa menua ini. Entah berapa kali aku berkabung dan menelan
pil pahit sendirian.
Tapi dari semua
wanita yang ku nikahi, Caterina adalah wanitaku yang paling istimewa dan selaluku
ingat. Bahkan tiap tahun aku masih mengunjungi makamnya. Anak-anakku darinya
juga yang palingku sayang dari pada yang lain.
Sudah lah tak
penting lagi sekarang. Sejak aku mengikuti perkembangan zaman, berbisnis dengan
baik dan sekolah lalu kuliah. Waktu yang paling menyenangkan, sedikit, untuk
menghabiskan waktu ku yang tiada habisnya.
"Ken? Apa
kau tak memperhatikanku? " tanya dosen yang mengajariku kali ini.
"Ah ya?
" sautku gugup.
Namaku masih
Ken, bahkan sampai tahun 2018 namaku masih Ken C. Dregou sedikit perubahan.
Tapi aku tetap nyaman di panggil Ken.
"Opa!
" panggil Tania cucuku dari istriku yang ke sekian ini. "Bagaimana?
Kedokteran bagus?" tanyanya setelah menghampiriku dan menyalimiku.
"Apa kamu
bikin salah lagi? " tanyaku yang paham betul dengan apa yang di lakukan
tanpa ini.
"Aku telat
lima menit, maaf! " ucapnya ketus lalu langsung menggandengku layaknya
pacarnya.
Ia akan menjadi
kakak tingkatku. Lucu sekali bukan? Cucumu menjadi kakak tingkatmu? Tapi mau
bagaimana lagi. Kalau aku yang menjadi kakak tingkatnya pasti sekarang aku akan
jadi orang paling di cari. Viral?
"Opa ada
tawaran jadi model mau? " tanya Tania yang selalu semangat mengurusku dan
pekerjaan-pekerjaan baruku.
"Model?
Majalah? " tanyaku cukup tertarik.
"Distro gitu... " jawabnya sambil
berjalan bersamaku ke mobilnya.
"Tidak,
sudah cukup banyak endorse bulan ini.
Aku mau di foto untuk majalah seni... " ucapku lalu masuk ke mobilnya.
"Opa, tapi
pacarku yang punya distronya...
" rengeknya lalu menstater mobil.
Aku hanya
menghela nafas lalu mengangguk. "Oke tapi hanya satu hari saja. Sesuaikan
jadwalku... " ucapku yang akhirnya setuju dengan maunya cucuku ini.
●●●
Pemotretan demi pemotretan berlangsung, semua mata terpesona padaku.
Selain karena tubuhku yang gagah, wajahku yang berkharisma ini selalu menggoda
tiap orang untuk mendekat dan ingin memilikiku. Bahkan pria yang di sebut
sebagai pacar Tania terlihat sangat tertarik dengan pesonaku.
"Tania ayo
pulang! " ajakku setelah selesai di foto.
Tania langsung
menurutiku dan langsung bersiap menyetir. Aku tak banyak bicara seperti biasa.
Hanya berfoto dengan beberapa produk dengan ponsel Tania lalu kembali diam
menatap jalan.
"Bilang
papamu, aku mau pulang ke rumah omamu... " ucapku yang merasa sebentar
lagi Yanti, istriku, akan segera pergi.
"Ciee...
Opa so sweet... " ucap Tania
menanggapi ku. "Pokoknya opa tenang saja, aku urus semua sama papa. Opa
seneng-seneng aja... " sambungnya.
"Kamu
bilang gitu nyindir ya? "
"Enggak,
tapi Opa kan dah tua. Perlu banyak seneng-seneng aja, emang opa mau apa lagi?
"
"Kamu
keliatan lebih tua dari aku loh... "
"Opa kenapa
gak bisa tua? "
"Aku
malaikat maut, aku di hukum... "
"Opa!
Jangan bercanda terus ah! "
Aku hanya
menghela nafas, selalu saja tidak percaya bila aku menjawab jujur. Bahkan
istriku juga tak percaya dengan ucapanku sebelum mereka meregang nyawa dan
melihatku dengan takjub. Beberpa paranormal dan orang pintar juga selalu mati
kutu dan ketakutan saat berhadapan denganku. Itu pun masih membuat orang-orang
tak percaya dengan ucapanku.
"Bapak, mau
makan apa Pak? " sapa Yohana, menantuku yang berusaha untuk berbakti
padaku.
"Aku mau
pulang, aku kangen istriku... " jawabku lalu masuk ke kamar.
Yohana masih
tampak bingung dan sangat ingin mengobservasi tubuhku. Sebagai dokter ia sama
sekali tak percaya dengan jawabanku, sampai akhirnya ia mengatakan bila aku
mengidap Highlander Syndrome atau Syndrome X. Tapi sudahlah tidak penting
ini.
"Ah iya
Pak, bapak mau berangkat kapan? " tanyanya di ambang pintu kamarku.
"Sekarang...
" jawabku dingin sambil mengemasi beberapa pakaian dan barang-barangku.
"Opa, endorse yang lain gimana kalo Opa pergi
sekarang? " tanya Tania yang nyelonong ke kamarku.
"Tania! Di
bilang jangan maksa Opa ngeyel banget! " omel Yohana pada anaknya.
"Burhan
mana? " tanyaku. "Aku gak kuliah lagi, taun depan aku baru kuliah...
Aku mau habiskan waktu sama Yanti dulu... " sambungku.
●●●
Kehidupan selalu membosankan. Rasanya aku iri pada orang-orang yang bisa
mati itu. Huft... Ku rasa memang benar, tiap usia orang yang ku cabut nyawanya
akan menambah masa hidupku. Padahal aku sudah mencabut nyawa banyak orang.
Wajar aku dihukum abadi begini.
"Aku
pulang... " ucapku yang begitu memasuki rumah besar yang di tinggali
istriku, Yanti.
Dia benar-benar
sangat tua, keriput dan kurasa tak lama lagi ia mati. Ia bahkan hanya bisa
mengenaliku dengan baik. Pikun juga sudah menyerang pikirannya. Banyak pelayan
dan suster yang mengurus rumah ini dan Yanti. Beberapa pekerja baru mengira aku
adalah pria matre yang mengencani wanita tua untuk warisan, kalau saja Burhan
tidak membelaku dan membungkam mulut orang-orang yang menggunjingku.
"Hai,
bagaimana? " sapaku lalu memeluk istriku dari belakang.
"Ken?
" tanyanya lalu membalikkan badannya. "Kamu masih tampan, seperti dulu...
" sambungnya lalu mengecup bibirku.
"Ya jelas,
aku kan sudah bilang aku tidak akan mati kalau kamu masih cinta aku... "
ucapku menggombali wanita tua ini.
Ia tersenyum
sumringah lalu menggandengku dengan mesra. Ku rasa sampai sekarang hanya Yanti
yang jatuh cinta padaku. Sementara aku lebih tertarik untuk memulai kehidupan
dan menikmatinya saja.
"Kamu
kangen anak-anak gak? " tanyaku padanya sambil berjalan ke kamarnya.
"Apa kita
punya anak? " tanyanya lalu membukakan pintu kamar untukku.
"Ada, kita
punya anak. Satu, namanya Burhan... " jawabku mengingatkannya.
"Apa iya?
Aku lupa... " ucapnya lalu duduk di tempat tidurnya.
"Waktumu
gak lebih dari sebulan. Apa aku perlu panggil Burhan sama keluarganya kesini?
" tanyaku.
"Burhan
siapa? Tetangga? "
Aku hanya
tersenyum menanggapi wanita tua pikun ini.
"Mau ku
temani? " tanyaku lalu tidur di sampingnya.
"Aku pengen
punya cucu perempuan, nanti ku nama Tania. Bagus gak namanya? " ucapnya
sambil tiduran dan mengelus dada bidangku dengan manja.
"Kita sudah
punya cucu, namanya Tania dia juga sudah punya adik namanya Andi... "
jawabku berusaha mengingatkannya.
"Oh begitu,
pasti masih kecil-kecil aku pengen punya anak namanya Fatma..." ucapnya
yang kembali berbelit-belit dan terus berputar-putar, kurasa alzheimernya sudah
makin parah.
"Fatma
sudah mati... Nanti kamu juga nyusul dia... " jawabku lalu mengelus
rambutnya yang penuh uban dan tipis itu.
"Ayo bulan
madu lagi... " ajaknya yang hanyaku jawab dengan senyuman.
"Kamu nakal
ya..." ucapku lalu mengecup keningnya.
"Apa aku
perlu operasi plastik juga biar kayak kamu? " tanyanya sambil mengelus
pipiku.
"Kamu sudah
cantik, bagiku kamu masih sexy. Kalo oprasi plastik nanti jadi rebutan lagi
gimana ?" bisikku memujinya sebelum ia terlelap sambil memelukku.
●●●
Seperti pemakaman yang sudah-sudah, aku tak menangis sama sekali.
Terlalu emosional bagiku untuk menangisi sesuatu yang sudah jelas. Wanita tuaku
yang sudah pikun dan uzur akhirnya kembali.
"Bapak mau
ikut kita lagi atau mau di sini dulu? " tanya Burhan, anakku.
"Aku mau di
sini dulu. Kamu pulang saja dulu..." jawabku lalu masuk ke kamar.
Burhan tetap
mengikutiku lalu berbaring di atas tempat tidurku sambil menghela nafasnya
dengan berat.
"Pak, aku
durhka ya? Ibu aja sampe lupa sama aku... " ucapnya sambil menatap
langit-langit kamar.
"Dia jadi
tua, wajar kayak gitu... Kamu juga tambah tua... " ucapku lalu duduk di
tempat tidur menatap putraku.
"Bapak gak
tambah tua, bapak muda terus. Forever
young... Bapak kapan tuanya?" tanyanya.
"Bapak gak
tau kapan bisa tua, mungkin Tania jadi nenek-nenek aku masih kayak gini...
" jawabku sambil tersenyum miris.
"Aku olah
raga, makan sehat, istirahat cukup, aku juga pakek botox biar gak tua. Tapi tetap saja, bapak lebih muda dari pada
aku. Aku iri... " ucapnya sambil tersenyum menatapku.
"Jangan,
jadi tua dan mati itu bagus. Kalo kamu kayak bapak, kamu bakal terus di
tinggalkan istri, anak, cucu sampai buyutmu. Rasanya Tuhan lupa pernah bikin
bapak... " jawabku lalu menggenggam tangannya. "Bagi bapak kamu masih
jadi anak kecil bapak. Masih penasaran ini itu, masih mau makan permen kapas
banyak-banyak... " ucapku lalu ikut tidur di sampingnya.
"Aku sayang
bapak... " ucapnya lalu memelukku erat.
"Iya, bapak
tau... " jawabku lalu mengelus punggungnya. [Next]