08. Posesif Wife
Arnold dengan
sabar mengurus istrinya terlebih dahulu sebelum membersihkan muntahannya. Tak
ada rasa jijik bagi Arnold saat harus mengurus istrinya yang sedang kacau
begini. Beberapa kali ia mendengar namanya di panggil dalam igauan istrinya
yang menangis dalam lelapnya.
Arnold
benar-benar tak bisa marah terlalu lama, mungkin ini adalah kemarahanannya yang
paling lama pada istrinya. Satu hari dua malam meninggalkannya dan istrinya
harus di terpa masalah kantor sendirian.
Arnold tak
henti-hentinya menatap buket bunga yang sudah mengering dan di amankan dalam
toples. Ada lintingan kertas berisi janjinya dan Nina. Arnold memang tak paham
kenapa Nina melakukan black list padanya. Tapi yang ia tau
pasti ada alasan sentimentil sebagai didalamnya.
Istriku susah
di tebak... Batin Arnold lalu mengelus pipi Nina yang terasa panas.
Arnold
langsung menempelkan plester demam juga mengoleskan minyak angin di leher dan
dada istrinya. Tak ada kemarahan lagi dalam hati Arnold. Bahkan ia sudah merasa
bersalah karena meninggalkan istrinya yang benar-benar tak bisa sendirian.
"Arnold...
Hiks..." panggil Nina lagi.
"Sst...
Iya apa..." jawab Arnold sambil mengelus punggung istrinya dan memeluknya
agar tenang sambil sesekali menciumnya.
Pagi menjelang
siang Nina baru mau membuka matanya. Tercium aroma masakan dari dapurnya. Nina
langsung bangun dengan terburu-buru.
"Sayang?!"
panggilnya.
"Hai,
pagi sayang..." sapa Arnold sambil menumis bumbu supnya.
Nina langsung
berlari kepelukan suaminya. Nina langsung membenamkan wajah ke dada Arnold,
berusaha menyembunyikan air matanya yang mengalir.
"Maaf ya
bikin kamu kacau..." ucap Arnold lembut sambil mengusap punggung istrinya.
"Bentar, nanti bumbunya gosong..." sambung Arnold lalu mematikan
kompornya.
"Maaf...
Aku salah..." ucap Nina penuh sesal sampai tak bisa bicara apa-apa lagi,
terlalu emosional.
"Cup...
Cup... Iya sayang..." jawab Arnold lalu menggendong Nina di depan layaknya
anak-anak.
Tapi baru saja
Arnold akan melangkahkan kakinya ke kamar, suara bel apartemennya berbunyi.
"Turun
dulu ya?" tanya Arnold yang langsung di jawab dengan gelengan kepala.
Akhirnya mau
tidak mau Arnold menggendong istrinya sambil membukakan pintu.
"Hai, ada
apa?" sapa Arnold ramah begitu melihat George yang datang.
George tampak
terkejut dan seketika kaku saat melihat betapa manjanya Nina dan cara Arnold
memperlakukannya. "Em itu... Aku... Ini... Ku bawakan bubur... Mamaku yang
memasaknya..." ucap George gugup.
"Oh iya,
terimakasih..." jawab Arnold yang kesulitan menerima termos wadah bubur
dari Arnold. "Kebetulan aku mau memasak sup... Istriku demam... Mau ikut
makan bersama kami?" tanya Arnold menyambut George dengan hangat.
"Ya,
tentu saja..." jawab George lalu melangkah masuk.
"Jadi
kamu calon suaminya Nina itu?" tanya Arnold setelah menurunkan istrinya
tapi tidak lama istrinya kembali menempel padanya sambil memeluk punggungnya.
George tampak
kaget mendengar pertanyaan Arnold yang begitu santai saat tau ia adalah orang
ke tiga dalam rumah tangganya.
"Tidak
usah kaget. Aku sudah dengar dari mertuaku... Kami selalu di suruh bercerai...
Kamu bukan yang pertama, kemarin ada pilot, lalu ada jaksa, ada juga pengusaha
baru bara..." ucap Arnold yang di angguki Nina.
"Sayang,
aku mau ramen pedas saja..." pinta Nina.
"Besok ya
kalo dah gak demam, oke?" larang Arnold lembut sambil melanjutkan
masaknya. "Tolong ambilman minum untuk tamunya..." pinta Arnold.
"Gelasnya
dimana?" tanya Nina.
"Lemari
gantung nomer dua dari kanan..." jawab Arnold.
"Di kasih
minum apa?" tanya Nina lagi.
"Ya di
tanya dong mau minum apa..." jawab Arnold.
"Kamu
minum air putih aja ya..." ucap Nina yang hanya memberikan gelas kosong
karena ada teko air putih di meja makan.
Arnold hanya
tersenyum memperhatikan istrinya yang sama sekali tidak peduli dengan tamunya.
"Kemarin
aku dan istrimu ke kantor polisi, kami mencarimu seperti mencari orang
hilang..." ucap George buka suara.
Arnold
langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan George, ia tak menyangka
istrinya akan melakukan hal itu.
"Aku
panik..." ucap Nina membela diri sambil memeluk suaminya lagi.
"Iya
iya..." jawab Arnold lalu mencium pipi istrinya. "Sana duduk dulu
biar aku siap-siap..." sambung Arnold yang di angguki Nina.
"Tapi aku
mau bantu..." ucap Nina.
"Ya sudah
tolong pindahkan buburnya ke mangkuk ya..." pinta Arnold yang langsung di
angguki Nina meskipun tangannya bergetar dan tak sengaja menumpahkan buburnya.
"Tenang..."
ucap Arnold sambil memegangi tangan Nina dan membantunya menuang dengan baik.
"Kalo gak enak badan di kamar aja ya..."
"Enggak
aku gapapa..." tolak Nina.
Ya wajar kalau
Nina mencari-cari suaminya... Batin George saat melihat
betapa sabar dan perhatiannya Arnold. Salah paling pencitraan! George
langsung menepis pikirannya barusan.
●●●
Usai makan
bersama, Nina masih memegangi tangan suaminya yang ia peluk sambil mendengarkan
obrolan membosankan suaminya dan George yang tak pulang-pulang.
"Sayang
sudah ngobrolnya..." bisik Nina yang sudah tak sabar ingin kembali memeluk
suaminya dengan bebas.
"Maaf ya
istriku sudah merepotkanmu..." ucap Arnold tidak enak hati.
"George,
pulanglah... Termosnyakan sudah bersih juga... Aku mau istirahat... " usir
Nina to the poin.
"Ah iya
maaf mengganggu..." ucap George yang sebenarnya masih ingin banyak
mengobrol dengan Arnold.
Setelah
mengantar tamunya keluar Arnold kembali di kudeta istrinya. Arnold benar-benar
tidak boleh pergi lagi. Bahkan ke toilet sekalipun rasanya
Nina ingin ikut juga.
"Jadi
kenapa aku di black list?" tanya Arnold sambil mengelus kepala
Nina yang tiduran berbantal dadanya.
"A-aku...
Aku... Gak mau kamu pergi-pergi, jadi orang sibuk, aku mau kamu di rumah saja
sama aku..." jawab Nina jujur.
"Tapi
kamu kenapa ikut seneng?" tanya Arnold lagi.
"Aku gak
mau kamu merasa gak berguna... Jujur aku gak masalah dan gak memikirkan omongan
ibu soal kamu... Yang menjalani hubungan rumah tanggakan kita..." jawab
Nina. "Aku mau jadi istri yang baik dan kasih suport ke
kamu. Maaf aku sudah terlalu egois... Jangan pergi lagi ya..." sambung
Nina.
Arnold hanya
menghela nafasnya dengan berat lalu mengangguk dan mencium kening istrinya.
"Aku gitu
soalnya cinta kamu... Jadi apapun yang kamu lakukan cuma boleh buat aku...
Harusnya kamu sudah paham itu... " ucap Nina sambil memegang pipi suaminya
untuk mencium bibirnya.
"Jadi aku
sama sekali tidak boleh pameran?" tanya Arnold.
"Aku akan
mengatur pameranmu di galeri tempatku saja... Tapi tidak boleh di jual..."
ucap Nina mewanti-wanti.
"Aku
pengen kasih kamu sesuatu dari hasil karyaku..."
"Semua
karyamu itu sepesial, limited edison! Semuanya tentang aku,
jadi tidak boleh! Tidak boleh di jual!" potong Nina yang langsung marah
dengan suaranya yang bergetar.
Arnold hanya
diam sambil mendekap istrinya. Sekarang ia sedikit paham kalau Nina tidak hanya
posesif padanya tapi juga pada karyanya. Nina benar-benar menjaganya agar ia
tak di miliki yang lain. Bahkan sekalipun Nina harus membangun sebuah gedung
hanya untuk menyimpan dan mempajang karyanya saja. Itu lebih di pilih Nina dari
pada harus menjualnya.
"Aku ada
bisnis pakaian, skin care, makanan ringan, karaoke, sahamku juga
banyak, kamu tidak usah bekerja. Cukup fokus denganku saja... Dengan...
A-an-anak... Anak kita nanti..." ucap Nina yang makin pelan karena ini
kali pertamanya membahas soal anak.
Arnold cukup
terkejut mendengar ucapan istrinya soal anak. Karena terakhir Arnold ingat
istrinya baru mau punya anak saat sudah menjadi direktur utama.
"Anak?!"
pekik Arnold tak percaya dan sangat senang dengan apa yang di ucapkan istrinya
barusan. "Apa kita akan adopsi?" tanya Arnold antusias.
"Apa kamu
meragukan rahimku?" ucap Nina yang balik tanya.
"Jadi
kamu mau hamil? Benarkah?" tanya Arnold yang langsung di angguki istrinya.
"Ini pasti hanya mimpi..." gumam Arnold.
Plak! Nina
langsung menampar wajah suaminya.
"Aw!"
pakik Arnold pelan.
"Bukan
mimpi..." ucap Nina. "Aku sudah memikirkannya... Ku rasa sebaiknya
kita segera memiliki anak sebelum tubuhku tidak kuat lagi untuk hamil..."
sambung Nina dengan malu-malu.
"Kamu
yakin? Kali ini bukan cuma buat bikin aku senangkan?" tanya Arnold tak
yakin.
"Aku
serius sayang... Mungkin minggu ini kita bisa mulai konsultasi dan menjalani
program... Aku sudah berhenti minum pilnya juga... " jawab Nina.
"Mulutmu
terlalu manis untuk di percaya..." sindir Arnold.
Nina langsung
mencubit pinggang suaminya. "Sayang!" pekiknya tak terima dengan
sindiran Arnold.
"Apa? Ini
terlalu manis untuk menjadi nyata..." ucap Arnold terus terang dan sedikit
sedih.
"Aku jujur kali ini sayang..." ucap Nina memelas yang hanya di angguki Arnold. [Next]