02. Posesif Wife
"Bagaimana
menurutmu?" tanya Arnold antusias menunjukkan foto-foto karyanya pada Dave
temannya saat masih kuliah dulu yang sekarang menjadi manajer di balai budaya.
"Ini
karya seorang master!" pujinya dengan mata yang masih terpaku pada
foto-foto karya Arnold. "Kirimi aku semua gambar itu. Aku yakin semuanya
akan langsung sold out dalam waktu kurang dari 48 jam!"
sambungnya penuh semangat.
Arnold
langsung mengangguk dengan senyum sumringah yang mengembang di bibirnya, saat
mendengar kabar sebagus itu.
Wah mantap!
Kalau ini lancar setidaknya mertuaku akan sedikit bangga. Nina pasti senang... Batin
Arnold senang.
"Sip!
Sudah semua... Aku akan mengajukan ini ke kepala direktur. Aku yakin pasti
langsung di setujui! Kamu lihat gedung itu..." ucap Dave sambil menunjuk
gedung utama balai budaya. "Akanku usahakan semua karyamu dapat tempat
yang paling baik, gedung utama!" sambungnya dengan bangga.
"Terimakasih...
Terimakasih bantuannya..." ucap Arnold senang sambil menjabat tangan Dave.
Dave langsung
mengajak Arnold berkeliling gedung sambil membayangkan bagaimana nanti saat
lukisan-lukisan itu di pasang. Dave juga memberitahu harga tiap lukisan yang
tengah di pajang sekarang. Arnold hanya mengangguk dan berusaha mempelajarinya
dengan cepat, mengingat ini pameran tunggal pertamanya.
Sepanjang
perjalanan pulang hanya rasa senang dan semangat yang ada di hati Arnold.
Akhirnya karyanya ada yang mengapresiasi selain istrinya. Arnold bahkan sudah
membayangkan betapa senang istrinya saat tau harga lukisannya nanti.
"Sayang..."
sapa Arnold begitu istrinya mengangkat telfonnya.
"Um ada
apa? Kamu terdengar senang sekali, sukses?" tanya Nina lembut.
"Tentu
saja! Kata Dave dia bakal usahakan aku bisa pakai gedung utama buat pameran
nanti..."
"Wow
amazing! Kita harus rayakan kesuksesan mu ini! Aw! Aku menikahi pria
yang tepat!" pekik Nina senang.
"Sudahku
bilang, sabar sedikit dan kita akan panen lebih besar dari gajimu..." ucap
Arnold sesumbar.
"Iya
iya... Aku reservasi hotel... Nantiku kirimi
alamatnya..." ucap Nina yang langsung mematikan sambungan telefonnya.
●●●
Raut muka Nina
langsung berubah, dari awalnya tenang ke ceria dan sekarang tampak sangat judes
dan kesal. Tangannya terkenal begitu kuat.
"Ani...
Tolong reservasikan hotel untukku. Hanya semalam..." perintah Nina pada
asistennya.
"Baik
Bu..." jawabnya patuh.
Aku harus
apa... Ck! Bagaimana ini... Tenang... Tenang... Ini hanya masalah kecil seperti
biasa... Batin Nina bergejolak dan penuh kepanikan.
"Permisi
Bu... Reservasinya sudah siap. Alamat seperti biasa sudah saya kirim..."
ucap Ani.
"Oh ya...
Terimakasih..." jawab Nina gugup lalu mengecek ponselnya.
Tak selang
lama Nina langsung pergi setelah taxi pesanannya datang. Nina hanya diam
sepanjang perjalanan, tak ada pembicaraan dengan sopir atau ramah tamah seperti
biasa. Nina juga hanya membersihkan wajahnya lalu kembali diam bahkan ponselnya
yang terus berdering tak di gubris sama sekali. Hanya melihat nama yang tertera
lalu mengabaikannya.
"Sayang..."
sapa Arnold yang sengaja menunggu Nina di lobi.
Nina langsung
memeluknya dan berjinjit untuk mencium bibir suaminya. "Lama?" tanya
Nina sambil menggandeng lengan Arnold manja.
"Enggak,
baru kok..." jawab Arnold lalu mengecup kening Nina.
Nina hanya
tersenyum lalu mengecup pipi Arnold lembut.
Usai cek
in dan masuk kamar. Nina langsung melumat bibir suaminya dengan penuh
nafsu, sementara Arnold dengan pasrah membalas lumatan Nina dan membiarkannya
mendominasi.
"Jangan
pergi..." ucap Nina lirih dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Ada
apa?" tanya Arnold lalu menggendong Nina yang memeluknya. "Hey... Ada
apa? Apa ada masalah?" sambung Arnold lalu duduk di tempat tidur sambil
mengelus punggung Nina.
Nina hanya
menggeleng. "Aku takut..." bisik Nina ambigu.
"Ah, apa
kamu mau main pakai tali sekarang?" hibur Arnold lalu mendekatkan kedua
tangannya didepan istrinya. "Aku bawa mainan..." bisik Arnold lalu
mengecup leher Nina sambil menghembuskan nafasnya di tengkuk Nina.
"Tidak..."
tolak Nina lembut.
"Aaa...
Ayolah... Umm... Master..." rengek Arnold begitu senang saat
Nina menyakitinya saat bercinta, maklum masokis.
Nina hanya
tersenyum penuh arti lalu mulai melepaskan atasan yang di gunakan suaminya dan
mengikat tangannya.
●●●
Rasanya tiap
kali merasakan sensasi perih di kulitnya Arnold mau lagi dan lagi, nafsunya
seolah tidak ada habisnya. Apa lagi saat ia dapat melihat betapa seksi istrinya
yang mendominasi dan ada di atasnya.
"Semalam
kamu semangat sekali..." puji Arnold sambil mengecup bahu istrinya.
"Enghh...
Arnold... Geli..." rengek Nina sambil mengedikkan bahunya dan membalikkan
badannya untuk mencium bibir Arnold.
Arnold hanya
tersenyum sambil memandangi wajah istrinya yang tampak pucat tiap kali tampil
tanpa riasan, di tambah baru bangun tidur begini.
Flash back
Menjelang dini
hari di rumah sakit. Arnold yang di minta untuk menemani tetangganya yang di
rawat tak bisa tidur dengan nyenyak. Matanya hanya terpejam tapi tidak
benar-benar tidur. Ia terus melihat gadis manis yang di rawat di sampingnya
berkali-kali menekan bel untuk memanggil perawat.
"Ada apa
Nona?" tanya suster senior yang tampak jengah pada gadis malang yang terus
menekan bel itu.
"Aku
haus, gelasnya terlalu jauh... Aku tidak punya tangan..." jawabnya sinis.
Suster itu
hanya menghela nafasnya menahan kesal.
"Aku
disini bayar... Jadi tolong layani dengan baik, jangan makan gaji buta..."
ucap Nina sinis.
Arnold kembali
membuka matanya dan kembali bangun untuk memperhatikan interaksi suster dan
pasien di sampingnya yang hanya berbatas gorden.
"Maaf
permisi..." ucap suster sambil sedikit membungkukkan kepalanya pada
Arnold.
Arnold
mengikuti apa yang di lakukan si suster lalu bangun dan berjalan ke kamar
mandi. Sekilas ia melihat gadis malang itu terus mencoba menghubungi
keluarganya. Tangan kirinya terlihat sangat kaku namun terus berusaha menelfon
keluarganya lagi.
"Aku gak
butuh pengacara Bu..." lirihnya dengan air mata yang mengalir lalu
langsung mematikan telponnya sepihak. Tak selang lama tangannya kembali
terangkat untuk memencet bel untuk memanggil suster.
"Mau
minum?" tanya Arnold yang tidak di gubris sama sekali.
Sekali menekan
bel dan tidak ada suster yang datang, gadis itu langsung menekan bel dengan
geram dan penuh emosi.
Dengan tenang
Arnold duduk di samping tempat tidurnya. "Kamu jangan marah-marah, nanti
tanganmu dua-duanya sakit loh..." ucap Arnold santai sambil menaikkan
sebelah alisnya.
Plak! Dengan
penuh emosi gadis itu menampar pipi tirus Arnold.
"Besok
pengacara ibuku datang, ajukan saja tuntutanmu..." ucap gadis itu angkuh
dengan air matanya yang mengalir.
"Tanganmu
gak sakit?" tanya Arnold yang melihat tangan kiri gadis itu bergetar
meskipun terkepal dengan angkuh. "Nina..." ucapnya. "Nina M... M
apaan? Marah ya? Nina Marah masa?" sambungnya lalu tertawa kecil berusaha
menghibur gadis itu.
"Ada apa
lagi?" tanya suster yang datang dengan terburu-buru.
"Penguntit!"
ucap Nina sambil menunjuk Arnold.
"Mana?"
tanya Arnold bingung dan tak sadar kalau penguntit yang di maksud adalah
dirinya sendiri.
"Permisi,
maaf bisa tinggalkan nona ini sendiri?" tanya suster.
Arnold hanya
menghela nafas lalu menaikkan alisnya bingung kenapa ia di sebut sebagai
penguntit lalu meninggalkan Nina.
●●●
Ke esokan
harinya, tampak pria berdasi dengan penampilan yang sangat rapi duduk di
samping Nina.
"Temannya?"
tanya si pria berdasi.
Refleks Arnold
langsung mengangguk dengan canggung.
"Operasinya
lancar, saya ada urusan. Nanti malam saya datang lagi. Bisa tolong jaga dia
sebentar?" tanyanya pada Arnold yang kembali di angguki.
Arnold hanya
diam menggambar Nina yang belum sadar. Kalau ada tetangganya mungkin ia bisa
menunggu Nina bangun sambil bermain kartu atau permainan lain, ya paling tidak
ada teman mengobrol.
"Ibu..."
lirih Nina dalam tidurnya.
Arnold merasa
miris melihat Nina yang benar-benar sendiri. Bahkan saat Nina tengah melewati
masa sulitnya tak ada satupun orang di sisinya.
"Penguntit..."
ucap Nina begitu bangun dan melihat Arnold duduk di sampingnya.
"Namaku
Arnold..." sanggah Arnold lalu membalikkan buku sketsa di pangkuannya.
"Kamu kalo marah bentuknya kayak gini, kalo tidur kayak gini, nah ini...
Waktu kamu sedih semalem..." jelas Arnold mempresentasikan gambarnya.
Nina hanya
tersenyum kecil melihatnya, lalu buru-buru menyembunyikan senyumnya sebelum
Arnold melihatnya meskipun ia tau Arnold pasti sudah melihatnya.
Cantik
sekali... Batin Arnold terpesona.
End flash back
"Kamu
cantik... Tiap hati makin cantik terus..." puji Arnold lalu mengecup
kening Nina.
"Ck!
Gombal!" ucap Nina malu-malu kucing.
"Sayangku...
Kamu ini kerja seharian, tapi kamu selalu semangat waktu di ranjang. Kapan kamu
punya waktu istirahat?" tanya Arnold khawatir dan penasaran.
Nina langsung
membuka matanya lalu menghela nafas dan tersenyum. "Kadang aku juga
berfikir begitu. Tapi tiap kali aku lelah bekerja, rasanya aku mau berhenti
saja. Aku pengen di rumah, memasak, membersihkan debu. Tapi tiap kali aku
pulang dan ada kamu yang kerjakan semua jauh lebih baik dari aku, tiap hari ada
yang menyambutku pulang dan menggendongku ke kamar, ada lukisan-lukisan tentang
aku. Aku mau terus bekerja, aku mau bekerja lebih keras dan keras lagi. Aku mau
merasakan perasaan bahagia itu terus..." jelas Nina sambil menatap
langit-langit kamar. "Lagipula sekarang aku juga sedang bersenang-senang.
Aku gak pernah merasa benar-benar rileks kalo tidak denganmu..." sambung
Nina sambil menatap suaminya.
"Kata
Dave kemungkinan aku bisa pakai gedung utama buat pameran pertamaku. Ku harap
semuanya sold out sesuai ucapan Dave..." ucap Arnold
dengan wajah sumringah.
"Tentu
saja... Aku gak sabar buat lihat lukisanmu di pameran... Sudah tentukan
tema?" tanya Nina lalu bangun dan mengambil tas jinjing nya.
"Temanya...
Nina Moon..." jawab Arnold sambil memandangi istrinya yang
masih telanjang.
"Namaku?"
tanya Nina tak percaya.
"Bukan,
Bulan Nina. Nina Moon, bukan Nina Moeen," jelas Arnold lalu
ikut bangun dan mengambil handuk kimono untuknya dan Nina.
"Kenapa
aku?" tanya Nina tak percaya dan tampak sangat senang.
"Ya...
Karena kamu istriku... Aku mau kamu tau aku cinta kamu melebihi yang kamu
tau..." jawab Arnold lalu mengecup bibir Nina sambil menutupi tubuhnya
yang naked dengan handuk kimono.
"Aku
wanita paling beruntung..." ucap Nina pelan lalu memeluk suaminya.
"Ah iya ini hasil pemotretan kemarin. Aku sudah tanda tangani seperti
biasa... Suka?" sambung Nina sambil menyerahkan beberapa fotonya.
"Kamu
cantik, kamu mau ngapain aja pasti cantik..." puji Arnold sambil
memandangi foto istrinya yang terbaru. "Ah iya, nanti waktu aku pameran
aku mau kamu yang buka pameranku. Aku mau istriku ini jadi orang nomer satu
dalam hidupku..." sambung Arnold sambil menggenggam tangan Nina lembut.
"Ya, tentu saja. Aku pasti bisa. Aku bakal dandan secantik mungkin... Aku gak akan melewatkan kesempatan ini..." ucap Nina sambil mengeratkan genggaman tangannya. [Next]