06. Posesif Wife
"Aku
pulang..." ucap Nina yang pulang lebih awal.
"Hai
sayang... Tumben pulang cepat..." ucap Arnold lalu menghampiri istrinya
dan memeluknya.
"Ada
tamu?" tanya Nina lalu masuk ke kamar.
"Iya
temanku, Dave... " jawab Arnold. "Hari ini ke gym? "
tanya Arnold.
"Tentu
saja... Kamu sudah siap-siapkan?" jawab Nina.
"Sayang,
begini... Sebenarnya ada yang mau membeli lukisanku... Harganya lumayan
baik..."
"Apa
uangku kurang? Apa kehidupanmu sama aku tidak nyaman?" tanya Nina sambil
menatap suaminya dingin.
"Bukan
begitu... Hanya saja..."
"Aku
tidak memintamu untuk bekerja keras. Aku tidak memintamu untuk memberiku nafkah
secara material dan apapun darimu. Cukup diam di rumah, mengurusku, kerjakan
hobimu... Apa itu terlalu sulit? Biar aku saja yang mengurus semuanya! Biar aku
saja yang memenuhi semuanya! Hobimu! Gaya hidupku! Kebutuhan rumah tangga!
Semua! Semuanya! Biar aku saja! Lagipula kalau kamu jual lukisan itu dengan
harga yang lumayan kita tidak langsung kaya raya!" sela Nina yang langsung
marah dan meninggikan suaranya.
"T-tap-tapi...
Sayang... Bukan itu maksudku..."
"Apapun
yang kamu lakukan, tidak usah berusaha menjual lukisanmu itu! Atau akanku
singkirkan lagi! Ku black list namamu lagi!" potong Nina
yang langsung membungkam mulutnya sendiri karena tak bisa menahan diri dan tak
sengaja mengatakan rahasianya.
"Apa
maksudmu? Menyingkirkan? Menyingkirkan apa? Aku? Black list?
Aku?" tanya Arnold tak percaya.
Nina
membalikkan badannya dengan gugup. Tangannya sedikit bergetar dan ia langsung
mengenalkannya.
Nina bodoh!
Kenapa kamu malah bilang! Arnold bisa tau semuanya! Tidak! Gawat... Batin Nina
panik.
"Nina...
Jawab..." desak Arnold. "Oke kalau tidak mau menjawabku anggap
mema... "
"B-bu-bu-ukan...
Bukan a-aku..." sela Nina dengan gugup dan gemetar.
"Ada apa
denganmu?" tanya Arnold bingung dengan apa yang ia alami saat ini.
Selama empat
tahun pernikahannya, bahkan saat ia dan Nina masih belum menikah. Rasanya baru
hari ini mereka berkelahi serius, bila biasanya hanya akan berkelahi soal-soal
kecil seperti makanan atau mencari barang hilang kali ini jauh lebih fatal.
Bahkan saat ibu mertuanya benci dan ingin menyingkirkannya Arnold masih bisa
tegar begitu pula dengan Nina, tapi untuk kali ini rasanya seperti sudah buntu.
"Sayang...
Kamu kenapa hmm?" tanya Arnold yang menatap istrinya mulai menangis
frustasi dan duduk di lantai.
Arnold tak
habis pikir harus bagaimana sekarang. Bahkan saat istrinya menangis histeris
begini ia juga masih bingung harus apa. Bukan ia tak tau harus bagaimana, tapi
untuk menenangkan Nina yang sudah berbuat begitu jauh dan fatal rasanya sulit
untuk di pahaminya.
"B-bu-bukan...
Bukannya kamu selalu kasih aku semangat tiap kali aku mengajukan pameran?
Bukannya kamu juga senang waktu balai budaya menyetujui rencana pameranku?
Bukannya kita sudah merayakan semuanya? Kita kemarin bersenang-senangkan?
Iyakan sayang?" tanya Arnold sambil menarik tangan Nina lembut yang
langsung di tampik Nina. "Kalau kemarin itu nyata kenapa sekarang kamu
seperti ini? Nina apa kamu masih istriku yang dulu?" sambung Arnold dengan
tatapan dinginnya.
Tak ada
jawaban dari Nina, mulutnya begitu kelu untuk bicara. Jangankan bicara menatap
Arnold saja ia tak bisa.
"Lakukan
apa yang kamu mau sayang..." ucap Arnold lalu mengecup kepala Nina dan
mengelusnya lembut.
●●●
Arnold terus
berjalan menyusuri trotoar tanpa arah tujuan. Sampai tanpa ia sadari ia sampai
di depan kiosnya yang ia sewakan.
Hah jauh juga
aku berjalan... Batin Arnold lalu mengetuk pintu kiosnya.
"Loh
Pak... Maaf saya belum ada uang buat bayar..." ucap wanita dekil penyewa
kios milik Arnold, Mey.
"Tidak...
Bukan aku tidak menagih uang sewa..." jawab Arnold lalu masuk begitu saja.
"J-jangan
usir saya..." ucap Mey yang langsung meluruh ke lantai untuk memohon.
"Biarkan
aku tinggal di sini beberapa waktu... Kamu balik ke kosmu saja..." pinta
Arnold.
"EEEHHHHH!!"
pekik Mey tak percaya.
"Kamu
boleh bayar buat bulan ini aja..."
"Woke!!"
potong Mey yang langsung setuju.
Arnold hanya
diam menunggu Mey mengemasi barang-barangnya, lalu belum Mey pamit dan basa-basi
Arnold langsung menutup kios.
Aku butuh
sendiri... Batin Arnold menenangkan dirinya.
●●●
Nina yang
menangis semalaman hingga tertidur di lantai akhirnya bangun juga. Badannya
terasa sangat pegal dan kedinginan. Rasan nyeri di tangannya sedikit kumat.
"Arnold..."
panggilnya pelan. "Sayang... Tanganku sakit..." sambung Nina yang
sama sekali tak mendapat respon apa-apa.
Perlahan Nina
bangun dan berjalan keluar kamar. Ke dapur, studio mini suaminya, balkon, kamar
mandi, ke minimarket dekat apartemen, tetap tak ada suaminya. Ia hanya
menemukan tulisan tangan Dave yang pamit pulang.
Nina langsung
menangis bingung karena tak ada Arnold sama sekali di sisinya. Bahkan saat ia
mencoba untuk menelpon suami nya pun tidak terhubung.
Kamu di
mana... Batin Nina panik.
Tapi Nina
langsung menahan sedih dan tangisnya begitu mendengar suara apartemennya di
ketuk. Nina langsung membukakan pintu.
"Kamu
dari mana saja!" ucap Nina begitu ia membuka pintu.
"A-aku
dari rumah... " jawab George dengan bunga dan plastik berisi sarapan untuk
Nina.
"Pergilah...
Aku tidak ingin menemui tamu, apalagi orang sepertimu..." usir Nina lalu
membanting pintu apartemennya.
"Ah...
Nina... " gumam George sambil tersenyum sumringah dengan penolakan dan
usiran Nina padanya barusan.
Bukan kesal,
ia malah makin penasaran dan jatuh hati pada Nina dengan segala sifatnya. Baik
yang cuek, kasar, sampai di usir seperti sekarang.
Arnold... Batin Nina
yang terus memanggil suaminya.
Tak ada yang
di lakukan Nina selama sehari full selain berusaha menghubungi suaminya. Bahkan
Nina sudah berniat melapor ke polisi bila suaminya tak kunjung pulang sampai
tengah malam.
"Arnold...
" ucap Nina yang terus memanggil suaminya dengan frustasi di duduk di
depan pintu.
Tapi bukan
Arnold yang ia dapati namun malah telfon dari Ani dengan kabar buruknya. Nina
langsung merapikan penampilannya dan pergi ke kantornya.
"Nina!"
bentak Aylee atasan Nina begitu Nina datang.
Nina langsung
menundukkan kepalanya.
"Bagaimana
bisa tas rancangan mu mendapat banyak komplain?!" bentaknya.
Nina hanya
menundukkan kepalanya.
"Lihat
penurunan penjualan minggu ini! Memalukan sekali! Ini kinerja terburukmu!"
bentakknya.
"Tapi Bu,
disini saya hanya membuat desainnya saja. Pemilihan bahan dan eksekusi bukan
tanggung jawab saya..." jelas Nina membela diri sambil mengikuti bosnya
masuk ke dalam ruangannya.
Plak! Sebuah
tamparan keras dilayangkan ke pipi Nina yang tak bersalah.
"Kenapa
aku di tampar?" tanya Nina terkejut sambil memegangi pipinya.
"Ini..."
Aylee menunjukkan foto Nina saat menemui direktur utama balai budaya.
"Coba jelaskan padaku! Untuk apa kamu menemui pacarku?!" bentak Aylee
penuh emosi.
"Aku
menemuinya untuk membatalkan pameran suamiku, Arnold. Aku tidak melakukan
apa-apa... Hanya itu..." jelas Nina.
"L-la-lalu
kenapa sembunyi-sembunyi?" tanya Aylee yang jadi malu sendiri.
"Dave,
teman suamiku manajer di sana. Aku khawatir dia akan mengadu bila aku meminta
pacarmu itu untuk membatalkannya. Aku hanya ingin terus menyimpan suamiku dan
semua lukisannya hanya untukku..." jelas Nina lagi. "Bu Aylee... Aku
berani bersumpah kalau aku tidak melakukan apapun seperti yang kau
khawatirkan..." sambung Nina meyakinkan atasannya.
"Benarkah?"
tanya Aylee tak percaya.
"Kamu
bisa cek ponselku..." ucap Nina lalu menyerahkan ponselnya. "Aku
meminta Ani untuk menghubungi pacarmu itu. Lagi pula aku juga tidak tau kalau
itu pacarmu... Maafkan aku..." sambung Nina sambil menatap Aylee yang
sibuk memeriksa ponselnya.
"Oke aku
percaya..." ucap Aylee lalu mengembalikan ponsel Nina.
"Maaf,
kalau tidak keberatan bisa aku mengambil cuti beberapa hari?" tanya Nina
dengan sedih.
"Mau
apa?" tanya Aylee sambil mengerutkan keningnya.
"Ada
urusan rumah tangga," jawab Nina singkat.
Ku kira wanita
sepertinya tidak akan memiliki masalah dalam rumah tangga... Batin
Aylee.
Aylee hanya
mengangguk lalu memperhatikan Nina lebih dalam. "Dulu saat aku bercerai
dengan Rodrigo, kami merasa ingin segera berpisah dan tidak saling temu lagi.
Perceraianku cukup alot, bahkan sampai sekarang kami masih sering bertemu. Kamu
tau kenapa?"
Nina langsung
menggelengkan kepalanya.
"Ada
Nino, putraku yang saat itu masih TK. Dia selalu memintaku tinggal di rumah
bersama ayahnya. Dia juga meminta ayahnya untuk tetap tinggal bersamaku... Kami
mencintai Nino lebih dari apapun..." ucap Aylee menyambung ceritanya
sambil mengajak Nina duduk. "Kadang menjadi wanita itu sulit, aku jadi
gemuk, memiliki stretch mark, payudaraku kendor... Sekarang aku
juga masih harus bertemu dengan mantan suamiku hampir tiap hari... Aku juga
tetap memakai nama Guteres sebagai margaku dan bukan Kwon lagi demi Nino..."
sambungnya lagi sambil menghela nafas.
Nina hanya
diam lalu menundukkan kepalanya merenungkan betul apa yang di sampaikan
atasannya yang kadang lebay dan gila ini.
"Tapi
yang ingin ku sampaikan... Semarah apapun dan sehancur apapun hubungan
pernikahan seseorang. Ia akan tetap kembali dan berusaha memaafkan demi
anaknya... Anak adalah pengikat, dia bagaikan hakim dan polisi dalam hubungan
rumah tangga..." jelas Aylee lalu menyeka air matanya saat melihat foto
putranya yang sudah besar. "Kenapa aku bijak sekali hari ini..."
gumamnya membanggakan diri.
Nina hanya
tersenyum. Bila ia renungkan kembali mungkin Arnold tidak akan marah sampai
pergi dari rumah kalau ia punya anak. Paling tidak bila Arnold pergi ia akan
kembali untuk anaknya.
"Lihat
sekarang Nino sudah besar, ia akan menjadi orang hebat seperti aku... Lihatlah
wajahnya, dia 100% mirip denganku..." ucap Aylee membanggakan putranya
yang sudah menginjak masa sekolah dasar.
Iya! Benar!
Kalau aku hamil, aku punya anak, Arnold tidak akan pergi dengan mudah... Batin
Nina senang. [Next]