03. Posesif Wife
Nina langsung
bergegas menuju balai budaya setelah cek out dari hotel,
meskipun sejujurnya ia masih terbayang tubuh indah Arnold yang penuh dengan
tanda cintanya juga luka kecil karena bercinta semalam. Nina masih ingin
melanjutkan yang di hotel lagi. Tapi apa daya ia harus bekerja dan ada misi
khusus ini.
"Jadi apa
bisa menolak seniman ini?" tanya Nina to the poin.
"Bukan
kami tidak bisa tapi..."
"Ku
dengar ada penggelapan pajak di sini, potongan dari tiap karya yang terjual
juga melebihi kesepakatan... Ah.. Ku rasa kabar burung ini akan mudah
tersebar..." potong Nina dengan senyum yang tersinggung di sudut bibirnya.
"Baik
akan kami batalkan..." ucap Yakub direktur utama balai budaya dengan
gemetar.
"Ah,
kalau mau tetap di pamerkan boleh... Tapi jangan ada penjualan. Bahkan pada
satu lukisan pun... Aku mau semuanya utuh... Tolong jangan
mengecewakanku..." ucap Nina lembut lalu bangun dan beranjak pergi,
kembali ke rutinitasnya setelah menggertak dengan cukup tegas.
●●●
Arnold terus
memikirkan tentang Nina dan kerja kerasnya setiap hari. Rasanya seperti ia
tidak hanya gagal menjadi suami tapi juga gagal sebagai laki-laki. Ia bahkan
seperti tak miliki harga diri lagi di depan keluarga istrinya, tak jarang juga
mertuanya meminta agar segera bercerai.
"Ah...
Kamu harusnya dapat pria yang lebih baik dari pada aku... " gumam Arnold
sambil menuangkan hasil seketsanya kedalam kanvas berukuran 40×70cm.
Tak tenang
dengan pikirannya soal istri dan masa depan pernikahannya. Arnold memutuskan
untuk pergi keluar. Di belinya beberapa bir dan rokok dari mini market lalu
pergi ke atap apartemennya.
Beberapa
batang rokok sudah habis di hisapnya, dua kaleng bir juga sudah di habiskannya.
Nafasnya masih saja terasa berat. Pandangannya kembali menyapu seisi atap
apartemennya, ada beberapa kain cucian yang jatuh, kadang ada burung dara yang
hinggap dan mematuk lantai semen tempatnya hinggap berharap ada remah atau
biji-bijian yang muncul sebelum kembali terbang, dari atas ia juga dapat
melihat baliho besar bergambar istrinya dengan bibir seksi merah merona saat
mengiklankan salah satu brand kosmetik.
Nafasnya makin
berat dan terasa seperti di cekik kalau ia tau dalam satu produk yang meminta
istrinya menjadi brand ambasadornya di patok tarif minimal satu miliar
pertahunnya. Angka yang terlalu besar untuk ia capai dalam tiap penjualan
karyanya. Itu hanya satu produk, saat ia melangkah lagi untuk melihat ke bawah
betapa banyak wajah istrinya terpampang. Ada brand fashion, mall,
minuman, makanan cepat saji, makanan ringan, alat elektronik, bahkan iklan
layanan masyarakat yang mengimbau untuk taat pajak.
Betapa banyak
penghasilan istrinya dan ia masih saja tak mau berhenti dari pekerjaannya
sekarang. Mimpi dan dedikasinya yang begitu tinggi akan karir tak lekas surut.
Ia ingin menjadi wanita nomer satu, yang paling berpengaruh, dan ratunya sold
out dari produk yang ia bintangi selain itu ia juga ingin menjadi
direktur utama di kantornya saat ini A+ group, perusahaan sialan
yang membuat istilah paling berpengaruh dan membuat reting untuk para wanita
hebat yang di terbitkan di majalahnya. V Magazine.
"Ya
ampun! Jangan loncat Tuan! Tolong jangan putus asa! Dunia tak selebar daun
kelor!" pekik seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk yang melihat Arnold
tengah memandangi jalanan.
Arnold
langsung membalikkan badannya lalu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
wanita itu barusan. "Aku tidak sedang mencoba bunuh diri. Aku sedang
memandangi itu..." jelas Arnold sambil menunjuk papan jalan baru yang
tengah berusaha di dirikan.
"Ya
ampun! Sudah! Kamu turun saja! Lihat dari bawah! Bikin jantungan aja!"
omelnya sambil mengelus dada.
"Nina
Moeen di mana-mana ya Bu..." ucap Arnold sambil menghela nafas.
"Iya,
tiap hari liat si Nina itu terus! Sampe bosen saya lihatnya... Anak-anak saya
juga tiap kali si Nina itu pegang barang pasti... Pasti pengen! Gak tau apa
ibunya cuma jadi binatu gini!" ucapnya yang langsung mengeluh. "Ah,
coba aja si Nina tau kalo produk yang di pegang itu mahal bikin pusing orang
tua. Pasti dia gak bakal mau foto buat itu tu... Deior... Mahal banget!"
sambungnya.
"Tapi
bukan sekmennya menengah ke atas ya Bu?" tanya Arnold yang ingin membela
istrinya.
"Iya,
tapi anak jaman sekarang apa mau tau?" jawab si ibu yang membuat Arnold
kalah telak.
Arnold hanya
tersenyum lalu mengambil kaleng-kaleng birnya dan kembali ke apartemennya. Ia
sedikit tersadar sekarang, betapa mahalnya biaya hidup sekarang. Kalau ia tak
tinggal dan menjadi suami Nina mungkin ia sudah jadi gelandangan sekarang.
Di letakkannya
beberapa kaleng bir yang belum ia minum, lalu kembali melukis. Arnold hanya
bisa berharap pada lukisan-lukisannya yang kelak akan meledak di pasaran. Tidak
perlu menjadi pelukis nomor satu. Cukup bisa menjual satu karya setara dengan
harga kontrak brand ambasador istrinya saja rasanya sudah sebuah kesuksesan
sendiri baginya.
Dering
ponselnya terdengar nyaring dari atas meja di depan sofa. Arnold langsung
buru-buru menjawabnya siapa tau kolektor.
"Halo
Dave, ada apa? Ada yang bisaku bantu? " sapa Arnold semangat, berharap ini
adalah titik terang dalam menyudahi kemiskinannya.
"Gini Bro,
pak Yakub nolak karyamu. Maaf banget ya... Tapiku usahakan karyamu bisa pameran
di tempat lain..."
Arnold
langsung sedih begitu mendengar kabar dari Dave perihal pamerannya yang di
tolak.
"Kalau
pindah galeri sepertinya biar aku saja yang mengurus. Terimakasih sudah
membantu... Nanti kalau aku pameran pasti ku undang..." ucap Arnold
berusaha ceria dan berlapang dada menerima penolakan.
Kok bisa di
tolak? Dave bilang karyaku... Argh... Apa yang salah? Kenapa selalu di tolak?! Batin
Arnold frustasi.
●●●
"Aku
pulang..." ucap Nina ceria saat pulang kerja lebih awal dengan membawa
sebotol anggur putih.
"Hai
sayang," jawab Arnold lalu memeluk Nina dan membawakan barang bawaannya.
"Aku tadi
beli ini..." ucap Nina sambil menunjuk wine yang ia bawa. "Nanti ke
rumah ibu, dia bilang Gio mau nikah lagi..." sambung Nina dengan ceria
lalu berjalan ke kamar.
"Oh ya,
syukurlah... Apa kita perlu bawa hadiah?" tanya Arnold yang mengikuti
istrinya ke kamar.
"Tidak
perlu, nanti waktu pernikahan mereka saja..." jawab Nina sambil melepaskan
anting dan kalungnya sebelum membersihkan wajah.
"Aku
ingin melukis mereka..." ucap Arnold yang ingin memberi hadiah meskipun
tau keluarga istrinya tetap tidak akan menyukainya.
"Ku kira
hanya aku modelmu!" ucap Nina kesal sambil meninggikan suaranya dan
menatap suaminya tajam.
Arnold hanya
tersenyum sambil geleng-geleng kepala mendengar ucapan istrinya.
"Gak usah
senyum-senyum!" bentak Nina yang salah tingkah.
Arnold
langsung menutupi wajahnya dengan dua tangan sambil tertawa kecil. "Kamu
kenapa masih bisa cembur sih... Ya ampun..." ucap Arnold sambil cekikikan.
"Hey! Aku
istrimu! Istri sah! Aku suporter utamamu! Wajar kalau aku
minta hanya aku yang boleh di gambar..." jelas Nina kesal lalu
menghentakkan kakinya dan berjalan ke kamar mandi.
Arnold hanya
tersenyum melihat istrinya yang cemburu buta begini. Sama seperti dulu tak ada
bedanya.
Flash back
"Ini
kiosku... Kecil... Tapi aku tinggal di sini sendiri jadi paling enggak ini
lebih luas dari pada sebelah..." jelas Arnold yang mengajak Nina
berkunjung ke kiosnya.
"Bukannya
itu bapak-bapak yang dulu di rawat di sebelahku?" tanya Nina sambil
menarik tangan Arnold yang dari tadi ia genggam.
"Ingatanmu
bagus..." puji Arnold. "Nah lihat... Ini pesanan orang bentar lagi
selesai. Aku gak sabar mau ajak kamu jalan..." ucap Arnold memamerkan
hasil kerjanya.
"Ku kira
hanya aku yang kamu gambar! Menyebalkan..." ucap Nina lalu melepaskan
genggaman tangannya.
"Kalau
cuma kamu yang ku gambar... Nanti gak bisa cepat-cepat lamar kamu loh..."
ucap Arnold merayu Nina yang merajuk. "Emang kamu mau di lamar pakai
ini?" tanya Arnold sambil mengeluarkan cincin hadiah cikinya tadi.
Nina langsung
tersenyum menahan tawanya mendengar ucapan Arnold. Nina benar-benar tidak bisa
berlama-lama marah pada Arnold. "Oh iya orang tuamu dimana?" tanya
Nina penasaran.
"Em... Di
surga... " jawab Arnold lalu menunjukkan beberapa berkas yang menunjukkan
bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal. "Aku gak bisa selamatkan apa-apa
waktu itu. Hari itu aku marah dan bilang tidak mau bertemu lagi dengan orang
tuaku. Ternyata malaikat mengamini ucapanku..." ucap Arnold sambil
mengingat masalalunya yang begitu bodoh dan sangat ia sesali.
"Jangan
sedih... Ada aku..." hibur Nina lalu memeluk Arnold.
Arnold kembali
tersenyum lalu mengacak-acak rambut Nina.
"Hadiah
cikinya tadi mana?" tanya Nina.
"Ini..."
jawab Arnold lalu memberikan cincin hadiah cikinya.
"Yaudah,
besok kita ketemu Papaku ya calon suami..." ucap Nina lalu mengecup pipi
Arnold dan beranjak pergi meninggalkan Arnold yang masih merasa apa yang
barusan di katakan Nina adalah mimpi.
End flash back
"Sayang,
kamu masih simpan cincin dari aku?" tanya Arnold mendadak saat istrinya
keluar dari kamar mandi.
"Masih
dong, kanku pakai..." jawab Nina santai sambil memamerkan jemari
lentiknya.
"Bukan
yang itu, tapi yang waktu kamu nerima lamaranku itu..." jelas Arnold.
"Masih
lah, ku simpan di brangkas, bareng sama sertifikat, buku nikah sama buku
tabungan," jawab Nina semangat. "Kenapa? Mau lihat?" tanya Nina.
"Enggak,
gak usah di lihat lagi..." jawab Arnold lalu menarik Nina ke pelukannya.
"Sabar sebentar ya... Nanti kalo karyaku terjual mahal, kamu tidak usah
kerja keras lagi..." sambung Arnold sambil mengecup kening Nina.
"Ada
apa?" tanya Nina yang melepaskan pelukannya dan menatap Arnold khawatir.
"Tidak,
bukan apa-apa..." ucap Arnold yang terlalu mau menceritakan kegagalannya
pada orang sukses seperti Nina.
"Benarkah?" tanya Nina ragu yang langsung di angguki Arnold. "Ya sudah, ayo siap-siap..." sambung Nina. [Next]