Bab 08 – Hamil
Amira
mencari namanya daribawah, ke tengah, lalu mengecek lagi. Sampai akhirnya Putri
menunjuk jika Amira mendapat peringkat kedua untuk try out kali ini. Amira
langsung memeluk Putri dengan perasaan haru dan gembira. Keduanya terlihat
begitu bahagia hingga jadi tontonan.
Amira
begitu berbunga-bunga dan tak sabar menunjukkan apa yang ia dapat hari ini.
Amira dapat lebih dari sekedar menginap dirumah sahabatnya saja, tapi juga ikut
try out dan bisa dapat hadiah karena usahanya. Amira tak sabar ingin membuat
Dipta bangga.
Putri
langsung mengantar Amira pulang meskipun sebenarnya ia ingin mengajak Amira
makan mi ayam terlebih dahulu. Tapi mengingat Amira perlu bekerja dan pasti
banyak hal yang harus ia urus, Putri memilih untuk mengalah. Lagipula Putri
yakin Amira pasti akan sering menyempatkan waktu, siapa tau nanti Amira bisa
gantian mentraktirnya.
“Besok kalo
uang gajiku udah cair, kita pergi lagi ya,” ucap Amira pada Putri sebelum masuk
kedalam gerbang.
Putri
langsung mengangguk lalu melambaikan tangannya sebelum pergi. Amira juga
langsung berlari dengan riang masuk. Dipta jelas sudah mengawasi tapi ia
langsung berpura-pura cuek dan dingin seperti biasanya.
“Tuan!”
seru Amira yang langsung berlari mendekat menghampiri Dipta yang sedang
berpura-pura santai di ruang tengah. “Aku dapat hadiah!” seru Amira lalu
menunjukkan hadiah yang ia dapat dan sertifikat try outnya dengan begitu
antusias.
Dipta
berusaha menyembunyikan rasa senangnya dan hanya mengangguk lalu berjalan ke
kamarnya tanpa bicara apapun.
Amira yang
mendapat perlakuan begitu dingin hanya bisa diam dan mulai intropeksi diri
lagi. apakah ia sudah berbuat salah lagi atau ada hal lain yang membuat mood
tuannya itu rusak. Amira memutuskan untuk masuk ke kamarnya, mandi, dan sedikit
bersolek sebelum pergi menemui Dipta di kamarnya.
Amira
mengetuk pintu kamar Dipta lalu masuk. Amira mendapati Dipta yang sedang
menonton film sendiri dan terlihat masih uring-uringan.
“Apa? Mau
apa?” tanya Dipta tegas.
Mental
Amira langsung ciut. Tapi hari ini ia sangat merindukan Dipta. Kalau pergi
sekarang, rasa rindunya masih belum terobati. Amira hanya bisa diam bingung
harus apa, biasanya ia akan langsung pergi tapi kali ini ia malah mematung dan
tak bisa menahan airmatanya.
“Kenapa?”
tanya Dipta lagi dengan suara yang terdengar lebih halus sembari menepuk tempat
tidur di sebelahnya.
Amira
langsung mendekat tapi kali ini bukan duduk di samping Dipta tapi langsung
memeluknya sambil menangis.
“Ada apa?
Ada masalah apa hmm…” tanya Dipta sembari mengelus bahu dan punggung Amira yang
kini terdengar seperti biasanya.
“Tuan marah
padaku, aku salah apa?”
Dipta hanya
tertawa kecil menanggapi respon Amira yang menangis dalam dekapannya itu.
“Aku
menginap di rumah temanku, barang-barangku di titipkan disana sementara waktu.
Pagi tadi aku mual sekali, aku merindukanmu…i-ini kurang ajar memang,
aku…a-ak-aku…”
“Tidak,
tidak papa. Aku mengerti,” sela Dipta lalu mengecup kening Amira.
Amira
terdiam kaget sementara Dipta langsung melumat bibirnya dengan lembut lalu menggeser
posisinya agar Amira bisa tiduran dengan posisi yang lebih nyaman.
“Tuan, aku
sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau Tuan juga membuangku, aku tidak tau
harus kemana lagi…ampuni aku…” lirih Amira mengiba pada Dipta.
Dipta
tersenyum mendengar ucapan Amira yang mengiba padanya. Terdengar begitu sexy,
begitu tak berdaya, begitu menghamba padanya dan Dipta suka. Rasanya ia ingin
menerjang Amira kalau saja ia tak mengingat jika Amira sedang hamil.
“Untuk apa
tiba-tiba ikut try out segala?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.
“A-aku
ingin melanjutkan pendidikanku, aku tau aku tidak spesial. Bisa digantikan
kapanpun oleh siapapun, jadi aku ingin jadi sesuatu. Aku ingin jadi pengacara,
aku banyak belajar selama Tuan pergi, selama berkabung, agar aku tidak sedih,
agar aku punya sedikit harapan…” jawab Amira sembari menatap Dipta dan mulai
mendekat untuk mencium tuannya itu terlebih dulu.
Dipta
membiarkan Amira yang pertama kali mengambil inisiatif untuk menyentuhnya itu.
“Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?” tanya Dipta sembari mengelus pinggang
dan punggung Amira.
“Aku ingin
diberi beasiswa, aku ingin memuaskanmu…” jawab Amira nakal sembari mengigit
bibir bawahnya.
Dipta tak
bisa menyembunyikan senyumnya mendengar jawaban Amira lengkap dengan ekspresi
nakalnya. “Jangan Amira, aku takut mengenai bayi kita…”
“Ah?!
Bayi?” tanya Amira yang seketika terkejut dengan ucapan Dipta yang mencegah
Amira untuk memuaskannya.
Seketika
Dipta langsung memejamkan matanya dan menepuk jidatnya karena sudah keceplosan.
“A-aku
hamil? T-tapi k-kapan? Sejak kapan?” tanya Amira kaget dan mulai gemetar
sembari menangis lagi.
Dipta diam
sejenak menghela nafas lalu mengangguk. “Sejak kondisimu drop dan dibawa ke UGD
waktu itu, aku tau. Aku ingin memberitaumu, tapi waktu itu kamu sedang
berkabung, rumahmu juga hilang, kakakmu kabur. Bagaimana caraku memberitaumu,
aku bingung,” jawab Dipta gugup sembari berusaha menenangkan Amira yang mulai
menangis frustasi.
“L-lalu
bagaimana ini? Aku…ah…apa aku harus melakukan aborsi?”
“Jangan!
Jangan! Aku mau, biar aku yang mengurusnya, biar aku yang membesarkannya.
Jangan dibunuh!” Dipta panik sembari berusaha menyingkirkan pikiran ekstrim
Amira yang hendak mengaborsi bayinya.
“T-tapi aku
ingin…”
“Ku penuhi
semua keinginanmu! Kebutuhanmu, jangan membunuh bayimu, itu juga bayiku!” tegas
Dipta sembari mendekap Amira dengan erat. “Besok kita akan memeriksa kondisinya
lagi, jangan gegabah!”
Amira
mengangguk dan langsung berhenti menangis namun kini jadi bingung dengan
kondisinya dan segala hal yang kini terjadi padanya. Tangannya perlahan
mengelus perutnya yang masih rata. Akhirnya Amira mendapat jawaban kenapa ia
begitu sering mual dan muntah, juga merindukan Dipta lebih dari yang ia kira
bahkan hingga menangis.
“Tuan…”
lirih Amira.
“Hmm…” saut
Dipta sembari menatap Amira dan mematikan tvnya.
“Apa tidak
masalah kalau aku hamil dan tetap kuliah?” tanya Amira ragu.
“Tak
masalah, ini bukan sekolah. Lagipula banyak belajar juga bagus untuk kecerdasan
anak,” jawab Dipta santai lalu mengelus perut Amira.
“Aku tak
yakin ini anakku, aku mandul. Tapi kemarin saat aku pemeriksaan, kondisiku
baik.”
“Tuan
meragukanku? Kita bisa mengaborsinya saja,” ucap Amira dingin.
“Tidak,”
jawab Dipta singkat sembari meraba bagian bawah Amira yang sama sekali tak
memakai celana dalam.
Amira hanya
diam menikmati sentuhan jemari Dipta di bagian sensitivnya itu. “Hanya Tuan
yang menjamahku…” lirih Amira sembari mendongakkan kepalanya untuk kembali
memagut bibir Dipta.
***
Hanya ada
pemeriksaan kesehatan untuk Amira pagi ini, benar saja ia hamil dan dokter juga
memberinya obat untuk mengintrol rasa mualnya. Juga memberinya banyak vitamin.
Amira masih tak percaya pada kondisinya tapi ia hamil dan Dipta mau bertanggung
jawab, rasanya itu sudah cukup untuknya.
“Aku akan
meminta orang untuk memindahkan barangmu, sisanya kita atur pelan-pelan,” ucap
Dipta dengan solusi terbaik yang bisa ia berikan.
Amira
mengangguk pelan sembari menggenggam tangan Dipta. “Mungkin aku akan memberitau
sahabatku dulu,” ucap Amira lalu menatap keluar.
Dipta hanya
mengangguk lalu memikirkan alasan yang tepat untuk membuat Amira jadi miliknya
seutuhnya tanpa harus membuatnya terlihat jatuh cinta duluan.
“Tuan, elus…”
pinta Amira pelan sembari meletakkan tangan Dipta di perutnya sembari
memejamkan matanya.

Maaf cerita ini ga lanjut, aku kehilangan mood buat nulis cerita ini.