0
Home  ›  Chapter  ›  Master's Pet

Bab 03 – Kamasutra

 

Bab 03 – Kamasutra-1

Amira menangis di kamar mandi sembari menyalakan shower agar suaranya sedikit tersamarkan. Amira terus menangis sembari menggosok tubuhnya dengan begitu frustasi. Kalau saja ia teringat tak bisa berlama-lama meratapi nasip dan ada ayahnya yang masih memerlukannya, mungkin saja sekarang ia sudah memilih untuk gantung diri.

“Amira, Tuan memanggil,” panggil kepala pelayan dari luar kamar.

Amira langsung bersiap. Hanya ada gaun malam berbahan satin disana juga pakaian dalam berenda yang begitu sexy, bra pun juga rasanya tak menutup dadanya sempurna. Tapi mau bagaimana lagi ini buah dari ucapannya yang sembrono itu.

Amira tetap bersiap. Mengeringkan rambutnya yang basah lalu menyisirnya rapi sebelum pergi menemui Dipta yang sedang menikmati sarapannya.

“Makan,” ucap Dipta menyambut kedatangan Amira dan mempersilahkannya duduk semeja dengannya. “Ini…” Dipta menyodorkan struk administrasi dari rumah sakit kalau ia sudah melunasi segala pengobatan Pak Mul juga membuatkannya asuransi kesehatan dan asuransi jiwa.

“T-terimakasih…” ucap Amira yang begitu senang dengan apa yang Dipta berikan padanya pagi ini hingga ia tak bisa menahan tangis bahagianya.

“Harusnya dari awal ayahmu membuat asuransi, harusnya dia mengikuti saranku dari dulu.” Dipta menghela nafas lalu menyeruput kopinya dan memandangi Amira yang menangis haru. “Kenapa orang miskin selalu begitu?”

Amira mengerutkan alisnya bingung sembari menatap Dipta dengan heran. Heran dengan pertanyaannya yang tiba-tiba membahas kemiskinan.

“Dikasih saran buat bikin asuransi gak mau, di daftarin asuransi pemerintah kayak BPJS juga keberatan. Begitu sakit, bayar rumah sakit sama nebus obat mahal gak kuat bayar. Nanti yang disalahin bosnya lah, pemerintah lah, pajak lah. Kalo punya bos baik kayak aku…” Dipta tersenyum membanggakan dirinya. “Udah mau kasih edukasi, kasih pengertian, bantu ngurus, malah ngeyel. Alesan pilih uangnya di tabung lah, mikir gak bakal sakit lah, ngerasa kuat lah, bapakmu itu…”Dipta menunjuk Amira dengan garpu yang tertancap potongan steak di atasnya. “Dulu dia bilang kalo asuranis itu bikin narik aura negatif yang bikin jadi sakit beneran,” Dipta mulai menyuapkan makanannya dan mengunyahnya dengan santai.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Amira yang semula merasa kesal pada Dipta yang selalu menyudutkannya sebagai orang miskin dan merasa diperas perlahan mulai bisa memahami kondisinya. Dipta mungkin tidak sesombong dan semenyebalkan yang ada di pikiran Amira. Pria berusia 40 tahun itu hidup sebatangkara, keluarganya meninggal dalam bencana tsunami di 2004 silam.

Dulu sekali Pak Mul selalu bercerita dengan bangga dan penuh rasa bahagia tentang Dipta, bosnya yang begitu baik dan tegas. Dipta yang dermawan, Dipta yang menganggap semua tim dan pegawainya sebagai bagian dari keluarganya, Dipta yang selalu sendirian dan mengajak Pak Mul bepergian karena kesepian.

“Asuransi itu buang-buang uang, kita gak sakit tapi tetep disuruh bayar. Katanya uangnya buat gotong royong bantuin orang lain yang sakit. Ngapain kita bayarin orang penyakitan yang gak dikenal?” Dipta menirukan entah siapa orangnya sebelum kembali makan. “Pemikiran sempit, selalu gitu. Kadang kemiskinan bukan karena kamu gak punya apa-apa, tapi pola pikirmu yang bikin miskin,” lanjutnya sembari mulai makan dan kembali mengunyah.

“Tuan enak, kaya…”

Dipta berdecih pelan. “Iya, tapi orang tuaku, keluargaku semua mati kena tsunami. Aku ga punya apa-apa, ga punya siapa-siapa. Sertifikat semuanya hilang, aku harus mulai dari awal. Aku merantau ke pelabuhan, belajar, ikut orang, sampe akhirnya kayak gini. Kamu pikir jadi saya gini instan?” Dipta menaikkan alisnya memandang rendah Amira yang sudah meremehkannya.

“Maaf…” cicit Amira pelan.

“Aku bahkan ga punya foto orang tuaku lagi,” gumam Dipta lalu menghela nafas dan mendorong piringnya.

Sarapannya belum habis tapi nafsu makannya sudah hilang. Dipta beranjak dari ruang makan menuju ruang kerjanya. Tak berapa lama Dipta pergi dari sana sambil membawa tabletnya meninggalkan Amira sendiri di rumahnya.

Amira merutuki kesalahannya dan mulai mengira jika mungkin saja Dipta marah karena ucapannya. Amira merasa jika ucapannya sudah salah karena jadi mengulik luka lama Dipta. Amira tak tau sejauh apa rasa sakit yang Dipta punya atau mungkin trauma yang ia miliki. Ia hanya tau kalau Dipta kaya, masih lajang di usia 40, sombong, arogan, kadang baik, banyak menyebalkannya, lalu yang semalam…ah Amira jadi ingat soal tubuh Dipta juga.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Apa aku boleh pulang?” tanya Amira pada kepala pelayan yang hendak menyingkirkan piring bekas milik Dipta.

“Tidak, ini…” Kepala pelayan itu menyodorkan buku Kamasutra pada Amira. “Tuan memintamu membaca dan mempelajari ini, nanti sore Tuan baru pulang,” lanjutnya dengan nada yang begitu dingin dan terdengar ingin menjaga batasan dan jarak dengan Amira.

Amira terdiam. “Lalu kalau Ayahku sudah siuman, atau kenapa-napa bagaimana?” tanya Amira yang khawatir pada ayahnya.

“Tuan sudah mengurus semuanya, nanti kamu bakal tetap dapat kabar. Jangan khawatir,” jawab kepala pelayan lalu pergi meninggalkan Amira.

Amira tak punya banyak pilihan. Paling tidak ia tau jika ayahnya sudah mendapat perawatan dengan baik sukup membuatnya sedikit tenang. Tuannya atau lebih tepatnya sekarang menjadi majikannya, lebih nyaman dan senang dengan segala pelayanannya.

Setelah makan, Amira kembali ke kamarnya. Amira mulai membaca tiap lembar buku Kamasutra yang diberikan padanya. Amira tak menyangka orang jaman dulu bisa menulis buku seperti ini bahkan lengkap dengan gambarnya juga. Sex selalu jadi sesuatu yang tabu, hebat juga penulisnya bisa menjelaskan sedetail dan serinci ini lengkap dengan ilustrasinya, pikir Amira sembari terus membaca.

Sampai akhirnya ada bagian yang membuatnya teringat pada Dipta semalam. Amira diam cukup lama lalu mulai menyentuh tubuhnya sendiri. Amira mulai meraba dadanya lalu melihat puncaknya yang jadi lebih menonjol dan lebih bengkak lalu Amira menyentuh bagian bawahnya yang masih terasa perih meskipun setelahnya dan saat ia kembali membaca jadi terasa lembab dan berlendir.

Amira langsung bangkit lalu masuk ke kamar mandi dan melepaskan bajunya. Amira memandang tubuhnya didepan cermin. Ada beberapa bercak kemerahan sisa pergulatannya semalam, tanda kepemilikan dari Dipta yang terlihat mencolok. Bahkan Amira dapat melihat bibirnyapun juga terlihat sedikit bengkak karenanya. Seketika semua tergambar dengan jelas di benaknya bahkan saat penyatuannya dan segala kenikmatan yang ia rasakan.

“Apa semua akan baik-baik saja…” batin Amira sembari meraba perutnya dengan segala kekhawatirannya.

Tapi tak lama ia kembali memakai bajunya dan melanjutkan bacaannya sembari menyentuh tubuhnya. Mencoba memahami tiap jengkal, tiap inci, tiap titik sensitifnya. Sebekum menghadapi banyak pergulatan bersama tuannya.

***

“Amira…” panggil Dipta sembari menunjuk ke lantai seperti sebelumnya begitu Amira masuk ke ruang kerjanya.

Amira dengan patuh duduk di lantai atau lebih tepatnya dibawah kolong meja kerja milik Dipta.

“Kamu tau apa yang harus dilakukan bukan?” tanya Dipta yang diangguki Amira dengan ragu. “Sudah baca bukunya?” tanyanya lagi dan kembali mendapat respon yang sama.

Bab 03 – Kamasutra-2

8
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share