Bab 01 – Menjadi Pelayan
Amira
begitu terkejut saat datang pagi-pagi ke perpustakaan dan mendapati dirinya
dipecat karena regulasi baru yang di tetapkan. Meskipun Amira tetap mendapat
gaji dan sedikit pesangonnya ia tetap merasa sedih dan kecewa. Tentu Amira
sudah berusaha membela dirinya dan mempertahankan pekerjaannya. Tapi aturan
tetap aturan, Amira tak punya kekuatan untuk melawannya.
“Apa boleh
buat…” gumam Amira yang langsung pulang dan sibuk dengan dagangannya.
Sementara kakaknya
Rosalia sudah pergi entah kemana dengan motornya. Pak Mul juga tak bisa banyak
membantu karena kondisinya jadi ia hanya bisa berusaha mandiri paling tidak,
tak merepotkan putrinya dalam berkegiatan sehari-hari.
“Amira!”
panggil Putri teman Amira yang begitu tomboy yang rencananya akan membantunya
berjualan kali ini.
“Hei, masuk
Put!” jawab Amira yang begitu bersemangat.
Tak lama
keduanya sudah mulai sibuk dengan segala urusan dapur. Mulai dari memotong
tempe sampai membuat isian tahu isi. Putri tampak begitu mahir dalam membuat
gorengan, selain dasarnya ia memang suka memasak sama seperti Amira. Meskipun penampilannya
cukup tomboy dan tak terlihat sedikitpun jika ia suka memasak.
“Nanti aku
titipin di warungku juga,” ucap Putri yang begitu semangat membantu sahabatnya
ini.
Amira
mengangguk lalu tersenyum senang. Ini langkah awal yang bagus, pikir Amira yang
penuh rasa optimis. Semua berjalan lancar melebihi dugaan Amira dan Putri. Semua
suka apa yang Amira jual. Bahkan Amira mulai bertanya apakah ia bisa menitipkan
dagangannya ke kantin sekolah.
Putri juga
senang membantu Amira yang mulai berjualan cemilan juga seperti makaroni goreng
dan nasi goreng yang di bungkus dalam kemasan mika. Putri yang punya kenalan di
bengkel mobil juga menitipkan jajanannya disana secara paksa.
Sampai hari
dimana Dipta kembali datang untuk menagih tiba. Amira tampak begitu sumringah
menyerahkan uang dua juta yang berhasil ia kumpulkan pada Dipta. Dipta yang
semula datang untuk melihat Amira yang kesulitan kini di buat terkejut karena
Amira tetap bisa mencari uang dengan caranya sendiri.
Meskipun kali
ini berbeda dari sebelumnya. Dimana Rosalia tidak tampak disana. Dipta sudah
curiga jika Rosalia yang membantu semuanya dan mulai merasa terancam jika
keinginannya tak bisa terwujud.
“Aku akan
bermurah hati jika kamu mau kerja di tempatku seperti ayahmu dulu, mungkin kita
bisa buat kesepakatan yang lebih baik,” ucap Dipta yang akhirnya memberi
tawaran karena Amira tak menunjukkan tanda-tanda akan memohon padanya.
Amira
terdiam mempertimbangkan tawaran Dipta, tapi ia pikir kembali bekerja sebagai
pelayan akan menyita seluruh waktunya. Selain itu ia tak bisa mengerjakannya
paruh waktu, jadi kemungkinannya untuk mengembangkan diri atau berkuliah jadi
hilang kalau ia setuju. Ditambah lagi Amira masih optimis dengan apa yang ia
kerjakan sekarang dapat melunasi semuanya.
“Mungkin ti…”
“Pikirkanlah
dulu!” potong Dipta sebelum di tolak lalu pergi meninggalkan Amira dan ayahnya
sendirian dengan perasaan yang begitu kesal.
Bagaimana Dipta
tidak kesal, selama hampir 40 tahun hidupnya ia tak pernah mendapatkan
penolakan. Kali ini Amira malah menolaknya. Bahkan sedari awal ia tak pernah
memohon padanya untuk apapun itu dan malah dengan lantang berkata untuk melunasi
dengan cara dicicil.
***
Sepulangnya
Dipta darisana Amira juga langsung berpikir keras apa lagi yang bisa ia
lakukan. Sampai akhirnya ia terpikir untuk berjualan di depan rumah juga. Barang
kali nanti kakaknya pulang dan berubah pikiran mau membantunya. Pak Mul yang
masih bisa berjalan dan bergerak meskipun harus di bantu dengan tongkat juga
ikut membantu. Semua akan berjalan dengan lebih baik sekarang. Pikirnya tak mau
menyurutkan semangat Amira.
Lain Amira
dan keluarganya yang mencoba bangkit kembali. Dipta dibuat kalang kabut
memikirkan rencana agar Amira datang dan memohon padanya. Ia meminta orang
untuk pergi mencari keberadaan Rosalia yang hilang begitu saja. Tak ada kabar
kemana ia pergi atau dimana ia bekerja. Seperti kabur, lenyap ditelan bumi.
Hingga minggu
selanjutnya tiba dan Amira kembali membayar cicilannya. Sementara Dipta dibuat
kesal karena progres yang begitu baik pada Amira dan keluarganya yang malah
membuat warung kecil di depan rumahnya. Amira tampak lebih kurus dan lelah dari
sebelumnya, tapi semangatnya dan keceriaan ketika ia bisa mencicil sejuta demi
sejuta tiap minggunya begitu memukau Dipta.
“Kamu gak
capek?” tanya Dipta yang langsung di gelengi Amira.
“Nanti kalo
Kak Rosa pulang, pasti aku di bantuin. Jadi nanti bisa lebih mudah,” jawab
Amira penuh rasa optimis.
“Kemana
kakakmu?” tanya Dipta yang kembali di gelengi Amira, kali ini wajahnya jadi
mulai murung juga.
Dipta hanya
diam lalu langsung pergi, tak ada lagi yang bisa ia bicarakan dengan Amira
disana. Dipta terlalu canggung jadi memilih pergi. Tapi tak berselang lama
Rosalia yang lama menghilang tiba-tiba pulang. Pulang seorang diri tanpa
motornya dan hanya barang-barangnya.
“Kakak!”
seru Amira menyambut kedatangan kakaknya.
Tapi Rosalia
tampak kesal melihat Amira juga ayahnya. Rosalia kesal dengan hidupnya yang
begitu susah dan jadi melarat karena merawat orang tuanya yang penyakitan dan
kini banyak hutang juga.
“Aku hamil,
motorku kugadein buat nyewa kontrakan sama Adrian,” ucap Rosalia begitu Amira hendak
menunjukkan progresnya pada kakaknya dan menyampaikan rencananya.
Pak Mul
yang semula memiliki semangat untuk sehat dan menjalani hidup dengan baik seketika
dibuat syok dengan ucapan putri sulungnya itu. Keseimbangannya langsung hilang seiring
dengan kesadarannya yang hilang. Amira dibuat panik, beruntung ketika ia pergi
ke rumah Putri disana ada orang tuanya yang siap membantu mengantar ke rumah
sakit.
Amira di
temani Putri mengurus semuanya, sampai akhirnya Pak Mul mendapatkan perawatan
dan ditangani meskipun kondisinya masih belum sadar di ruang ICU. Amira
menyempatkan pulang, rencananya jadi berantakan. Tapi ia tetap berusaha tenang,
ada kakaknya di rumah pikirnya.
Tapi begitu
ia pulang, semua barang berharga di rumah sudah raib. Rosalia juga kembali
pergi hilang begitu saja. Bahkan uang modalnya pun juga ikut di ambil oleh
kakaknya itu sampai tak tersisa sepeserpun di rumah. Amira hanya bisa menangis,
menangisi hidupnya yang begitu kacau. Menangisi nasibnya yang begitu tragis.
Amira
begitu putus asa. Sampai ia teringat pada tawaran menjadi pelayan beberapa
waktu lalu dari Dipta. Amira kembali bergegas berlari menuju rumah sahabatnya. Meminta
untuk di antar ke rumah mantan bos ayahnya itu.
“Kamu yakin
Mir?” tanya Putri yang mengantar Amira dengan motor matic modifannya.
“Iya, aku
ga punya banyak pilihan Put, doain ya,” jawab Amira sebelum turun dari motor
yang di kendarai Putri. “Kamu pulang aja, aku urus sisanya. Makasih udah banyak
bantuin aku, kalo gak ada kamu aku ga tau harus minta tolong siapa,” ucap Amira
lalu memeluk sahabatnya itu.
“Udah santai
aja, kayak sama siapa aja kamu ini. Nanti kabarin kalo perlu di jemput,” ucap
Putri penuh pengertian sebelum melaju pergi lagi dari sana.
Amira hanya
mengangguk lalu melambaikan tangannya sebelum memberanikan diri untuk menekan
bel dan datang untuk meminta pekerjaan beserta pinjaman lagi pada Dipta.
“Nyari
siapa?” tanya satpam baru yang melihat Amira dari sela-sela pagar sebelum
membukakan pintu.
“Nyari Tuan
Dipta, sudah janjian. Namaku Amira,” ucap Amira sedikit berdusta agar bisa
bertemu langsung dengan Dipta.
Ada pandangan
tak percaya dan meremehkan dari satpam yang melihat Amira, terlebih setelah ia
mengatakan sudah membuat janji dengan Dipta sebelumnya. Satpam itu sama sekali
tak berniat menyampaikan pada Dipta atau pada kepala pelayan mengingat Dipta
tak ada di rumah. Tapi bagai pucuk di cinta ulampun tiba, tak berselang lama
Dipta datang dengan mobilnya.
Dipta
tersenyum sumringah melihat kedatangan Amira. Ditambah cuaca yang mulai hujan
dan penampilannya yang begitu lusuh. Akan mudah untuk mencengkram Amira
sekarang.
“Masuk,”
perintah Dipta sembari membukakan pintu mobilnya untuk Amira dan membawanya turut
serta masuk ke dalam mobil yang melaju masuk kedalam rumahnya.