Bab 05 – Dipta Marah
Amira
begitu lelah, tubuhnya rasanya sudah begitu remuk setelah bercinta dengan Dipta
semalam dan masih berlanjut hingga pagi. Pagi inipun Amira dan Dipta bangun
hampir jam 12 siang. Dipta langsung bersiap dan sibuk dengan kesibukannya,
sementara Amira sibuk bersiap di kamarnya sendiri. Setelah itu keduanya makan
bersama menikmati makan siang lalu bersiap menengok ayah Amira yang belum
menunjukkan perubahan apapun.
Amira cukup
sedih melihat kondisi ayahnya. Tapi mengetahui jika Dipta benar-benar memenuhi
ucapannya juga permintaan Amira bahkan sampai meminta karyawannya sendiri untuk
menunggu di rumah sakit. Amira jadi merasa tenang dan bisa percaya 100% pada
Dipta.
“Mau
jajan?” tawar Dipta yang melihat ada bazar makanan dibeberapa meter di depan.
Amira
mengangguk pelan. “Kalau antri tidak usah,” Amira meralat jawabannya karena
melihat antrian yang begitu panjang.
“Mau makan
diluar?” tawar Dipta lagi. “Aku ingin makan yang manis,” ucapnya.
Amira
mengangguk meskipun ia tak lapar, tapi membuat tuannya senang sudah jadi
kewajibannya sekarang. Amira memandangi tuannya, wajahnya tampan untuk usianya.
Tubuhnya juga terjaga, tidak buncit, masih atletis…yah…cukup lumayan lah. Pola
hidupnya juga cukup sehat, aneh rasanya jika dibilang mandul, performanya
diranjang juga tak perlu di ragukan.
“Tuan,
bagaimana bisa kamu mikir kalo kamu mandul?” tanya Amira tiba-tiba setelah lama
memperhatikan Dipta.
“Em…ya,
istriku yang bilang. Mantan, mantan istriku,” jawab Dipta sembari menghela
nafas.
Amira
mengangguk pelan, sembari mengelus tengkuknya sendiri. Ia sedikit kecewa
ternyata Dipta pernah menikah sebelumnya. Tapi tentu rasanya konyol jika pria
seperti Dipta tak pernah memiliki hubungan asmara dengan wanita manapun di
usianya.
“Aku
tinggal dengannya selama setahun di Malaysia. Ada bisnis waktu itu,” Dipta
kembali melanjutkan jawabannya.
“Lalu
sekarang mantan istrimu kemana?” tanya Amira yang langsung menyampaikan rasa
penasarannya begitu saja.
Dipta
menatap Amira lalu tersenyum dengan alis yang terangkat. “Sudah menikah dengan
mantan kekasihnya saat kuliah dulu, mereka bertemu saat reuni,” jawab Dipta
yang sangat memuaskan segala rasa penasaran Amira. “Kamu jadi terlalu banyak
tau soal aku, Amira. Ini tidak baik,” lanjut Dipta lalu memandang keluar
jendela.
“A-aku akan
menjaga rahasiamu, aku bisa anggap yang tadi tidak terjadi apa-apa, aku tidak
mendengar apa-apa,” ucap Amira mencoba memperbaiki suasana.
Dipta
mengangguk pelan sembari menghela nafas. Sementara Amira masih hanya diam
meskipun sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Banyak kecurigaan
muncul juga di benaknya, tapi terlepas dari itu semua ia hanya ingin semua
cepat selesai sebelum ia merasa mulai terikat dengan Dipta yang bisa
mencampakannya kapanpun.
***
“Besok aku ada
urusan, keluar kota sebentar. Mungkin pulang malam,” ucap Dipta begitu sampai
rumah.
Amira
mengangguk lalu masuk ke kamarnya. Tak berselang lama ada tamu yang mencari
tuannya itu lalu terdengar pembahasan soal expor-impor, juga soal perijinan dan
berlanjut membahas bisnis. Amira hanya diam di kamar sembari beristirahat. Ia bisa
mandi dan menikmati cookie yang ia beli tadi tanpa ada gangguan dari Dipta.
Sampai Amira
tersadar jika air minum dikamarnya habis dan ia perlu keluar kamar untuk
mengambil beberapa botol air minum di dapur. Entah kesialan atau keberuntungan,
tepat saat Amira melangkah keluar bertepatan juga dengan tamu-tamu Dipta yang
hendak melihat koleksi tanaman di taman belakang.
Amira terdiam
sejenak lalu tersenyum dan membungkuk ramah sebelum melanjutkan aktifitasnya
sementara para tamu ikut membalas sapaan Amira. Samar Amira mendengar jika ia
di puji dan Dipta tak perlu lagi menjelaskan orientasi seksualnya, apakah ia
masih waras atau sudah belok dan hilang arah. Amira merasa kehadirannya akan
banyak merubah kehidupan Dipta dan ia senang bisa membantu hal itu.
Tapi diluar
dugaannya begitu Amira melihat Dipta semuanya terasa berbeda. Dipta langsung
menatapnya dengan pandangan yang begitu tajam dan penuh penghakiman. Amira
begitu ketakutan lalu langsung bergegas kembali ke kamarnya. Meskipun setelah
itu ia masih bisa mendengar candaan nakal dari para tamu yang memuji kemolekannya
dan betapa beruntung Dipta bisa mendapatkannya.
“Amira!”
panggil Dipta dengan suara yang menggelegar penuh amarah begitu tamunya pulang.
Amira
langsung bergegas mendatangi Dipta dengan wajah tertunduk dan bingung apa
kesalahannya hingga Dipta jadi kasar padanya seperti ini.
“Sengaja?
Sengaja tebar pesona?” tanya Dipta mengintimidasi.
“T-tidak Tuan,”
jawab Amira dengan suara bergetar.
“Lalu tadi
apa?!”
“A-ak-aku..aku
hanya menyapa biasa.” Amira benar-benar ketakutan sekarang.
“Menyapa? Tersenyum
dan sengaja mengambil barang keluar dengan pakaian nyaris transparan itu menyapa?!”
bentak Dipta begitu emosi lalu menyeret Amira ke kamarnya.
Amira
gemetar ketakutan terbayang jika ia akan di pukul atau diperlakukan dengan
buruk oleh Dipta. Amira sudah mulai menangis ketakutan tapi Dipta tak terlihat
iba sedikitpun. Entah emosi darimana yang merasukinya dan membolak-balik
perasaannya begini. Tapi yang jelas dan dapat di rasakan Amira dengan jelas
malam ini adalah malam terburuknya dalam bercinta.
Hingga pagi
menjelang Amira dibuat benar-benar tak berdaya dalam dekapan Dipta. Amira bingung
dengan segala yang dilakukan Dipta padanya. Moodnya begitu mudah berubah, pagi
memperlakukannya baik lalu malam menyiksanya bagai monster lalu sekarang
mendekapnya bagai mereka adalah sepasang kekasih.
“Tuan…”
lirih Amira membangunkan Dipta setelah melihat ada telfon masuk ke ponselnya.
“Hmm…” saut
pria itu singkat.
“Telfon,
hari ini juga harus keluar kota, kan?”
Dipta diam
sejenak lalu mengambil ponselnya dan kembali meletakkannya tanpa berniat menjawab
telfonnya.
“Tuan…yang
semalam…” cicit Amira sembari ikut bangun dan duduk bersandar di tempat tidur
Dipta.
Dipta hanya
menatapnya dengan pandangan yang dingin seperti semalam.
“Maaf, aku
tidak akan mengulanginya lagi. Aku salah…” lirih Amira sembari menyentuh tangan
Dipta berharap dapat sedikit merayunya agar tak terlalu marah lagi.
“Sebaiknya
memang begitu,” ucap Dipta lalu beranjak dari tempat tidur dengan murung
meninggalkan Amira yang jadi semakin serba salah.
“Tuan, hari
ini aku akan diam di kamarku. Kalau ada yang ingin disampaikan, katakan saja. J-jangan
marah lagi…a-ak-aku takut…” ucap Amira sebelum Dipta masuk ke kamar mandi.
Dipta tak
menanggapi sama sekali dan Amira memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Mandi, berendam,
merenungkan apa yang bisa ia perbuat sekarang. Sementara Dipta pergi begitu
saja dan langsung sibuk dengan pekerjaannya lengkap segala pertemuan yang sudah
menantinya.