Prolog
Dipta tak
begitu tertarik sebenarnya untuk menagih hutang para pelayannya. Terlebih jika
ia tau para pelayannya memang sedang dalam kondisi sulit. Seperti yang di alami
Pak Mul, sudah istrinya baru saja meninggal karena kangker payudara. Sekarang giliran
ia sendiri yang terkena struk dan tak bisa berbuat banyak.
Dipta
sendiri juga tak keberatan membiayai pengobatan Pak Mul, terlebih ia sudah
mengabdi hampir 25 tahun di keluarganya. Tapi semuanya berubah ketika ia
melihat Amira, gadis manis dengan kulit kuning langsat, rambut ikal
bergelombang yang panjang, tubuh yang ramping dan ah jangan memintanya
mendeskripsikan keseksian yang menggoda itu. Amira begitu menggoda hatinya,
Amira yang tengah sibuk merawat Pak Mul sukses mendobrak dan mengobrak-abrik
hatinya di kali pertama perjumpaannya.
“Apa
kesibukanmu setelah lulus?” tanya Dipta to the poin pada Amira berharap
gadis itu akan mau bekerja dengannya seperti yang sudah-sudah.
“A-aku
bekerja diperpustakaan dekat balai kota,” jawab Amira gugup dan tak berani
sedikitpun menatap Dipta yang ada di hadapannya.
Dipta
mengangguk dan tampak kesal dengan jawaban Amira. Meskipun tak ada yang salah
dari caranya menjawab sedikitpun, Amira juga sangat sopan dan penampilannya
yang tertutup. Hanya Dipta yang mencari-cari masalah dengannya.
“Jadi kapan
mau dilunasi hutangnya?” tanya Dipta tiba-tiba yang membuat Pak Mul dan kedua
putrinya kaget bukan main dengan pertanyaan Dipta yang tiba-tiba menagih
seperti ini.
“K-kami
belum punya uangnya Tuan,” jawab Pak Mul mengiba.
Dipta
menatap Amira lalu kakaknya Rosalia bergantian.
“A-aku akan
mencicilnya Tuan,” ucap Amira menawarkan diri agar Dipta tak memperlakukan
keluarganya dengan buruk seperti penagih hutang yang biasa ia lihat.
Dipta
mengerutkan alisnya lalu tersenyum mengejek setelah mendengar ucapan Amira yang
menawarkan diri untuk mencicil hutang keluarganya. Dipta begitu kesal dan
merasa jika Amira begitu sombong karena menawarkan diri untuk mencicil hutangnya
dengan bekerja di perpustakaan yang tak seberapa itu gajinya.
“Oke, tak
masalah. Aku akan menunggu minggu depan,” ucap Dipta lalu bangkit dari duduknya
dan pergi dari rumah Pak Mul dengan perasaan yang kesal.
***
Amira dan kakaknya
sekarang dibuat pusing dengan cara membayar cicilan pada Dipta. Mereka mengira
Dipta tak akan menagihnya seperti hutang karyawan lain yang sudah-sudah.
Rosalia terlanjur mengambil cicilan motor matic dan masih belum lunas. Ia jelas
tak mau ikut campur dengan keputusan sepihak yang di ambil Amira. Sementara Pak
Mul yang sudah sakit tak bisa banyak berbuat juga.
“Gapapa Pak,
nanti Amira sekalian jualan gorengan,” ucap Amira yang tampak optimis lalu
pergi keluar untuk berbelanja dan memulai usahanya.
“Aku gak
mau ikut campur! Gak mau urusan sama kamu, bikin repot aja!” kesal Rosalia
sembari menempeleng Amira yang sedang mengusahakan yang terbaik untuk
keluarganya.
Amira hanya
diam sembari menghela nafas dan menguatkan dirinya sendiri. Ia akan berusaha
sekuat tenaga. Amira membulatkan tekatnya agar ia bisa memperbaiki keadaan. Sementara
jauh di ujung sana Dipta berusaha keras untuk mensabotase segalanya.
Dipta coba
menghubungi perangkat balai kota untuk memecat Amira. Tapi mendengar cerita
dari orang-orang kalau Amira adalah pegawai yang rajin dan jujur juga menjadi
daya tarik di perpustakaan membuatnya jadi kesal. Ia ingin menawar Amira untuk menjadi
pelayan di rumahnya atau paling tidak membuatnya memohon padanya agar bisa
bekerja di rumahnya.
“Naikkan
saja standarnya, buat harus lulusan S1 agar bisa bekerja disini,” ucap Dipta
sembari menyodorkan uang sepuluh juta untuk melancarkan keinginannya.
Orang-orang
hanya bisa saling pandang lalu mengangguk dengan gugup begitu melihat Dipta
menyodorkan segepok uang sepuluh juta lagi.
“Tolong di atur,” ucap Dipta lalu pergi.