BLANTERORBITv102

Refund

Selasa, 19 September 2023

“Anghhh…ahhh…ahhh…”

Desah Deby begitu erotis untuk memuaskan ego pria tua yang menjadi langganannya beberapa bulan belakangan ini. Deby mendesah dengan begitu menggairahkan, merintih dan sesekali memekik seolah kejantanan letoy yang sudah mengalami masalah dengan ejakulasi dini itu merasa gagah kembali.

“Oh! Deby kau yang terbaik!” puji pria tua itu.

Deby tersenyum mendengar pujiannya. Pria tua itu langsung bersiap pergi, sementara Deby duduk menunggu bayarannya dengan tubuh yang masih telanjang dengan dada yang di tutupi helai rambutnya saja.

“…betapa bahagianya, punya banyak teman! Alangkah senangnya!...”

Samar terdengar suara dari DVD bajakan yang disetel dari lantai bawah. Deby tau putrinya sudah bangun dari tidur siangnya. Deby yang semula tersenyum pada pelanggannya kini perlahan kehilangan senyumnya. Ada banyak ke khawatiran sekarang di kepalanya.

Apa aku terlalu berisik…batin Deby sembari memakai dasternya.

“Harusnya kau tidak membawa anakmu ketika melacur,” ucap pelanggannya sembari melemparkan amplop berisi bayarannya.

Deby tersenyum canggung mendengar ucapan pelanggannya yang terdengar ada benarnya juga. Tapi dimana ia bisa menitipkan putrinya? Deby saja tidak percaya pada suaminya yang penjudi dan penganggur itu.

Bela menoleh kebelakang begitu melihat tamu ibunya yang menuruni tangga. Bela langsung bangun lalu pelan-pelan berjalan mundur membawa dotnya. Bela takut dimarahi, Bela takut urusan ibunya jadi terganggu karena ia menyetel DVD. Tapi tak selang lama Ibunya ikut turun sambil tersenyum dengan pakaiannya yang sudah rapi lalu memeluk Bela.

“Ibu!” seru Bela senang lalu membalas pelukan Ibunya.

Bela selalu senang melihat Ibunya setelah selesai bekerja.

“Ayo pulang,” ajak Deby lembut sembari memangku putrinya dan menciuminya dengan penuh kasih sayang.

Bela menggeleng. “Kita disini saja, ngapain pulang. Ayah suka pukul Ibu, kita disini saja,” ucap Bela dengan alis bertaut tak suka jika harus bertemu ayahnya.

Deby tersenyum lalu kembali menciumi putrinya sembari menggelitikinya. “Iya, tapi kalo kita pulangnya telat nanti Ayah marah-marah,” ucap Deby lembut lalu mengemasi barang-barang Bela dan bersiap pergi dari tempat pelacurannya.

Bela cemberut, Deby tetap berusaha tersenyum agar Bela tidak sedih. Meskipun di hati kecilnya sendiri ia juga tak tahan tinggal bersama suaminya saat ini. Tapi ia tak punya pilihan lain, Deby juga sudah mencoba mengumpulkan uangnya diam-diam agar ia bisa kabur suatu saat nanti bersama Bela.

“Nanti kalo uang Ibu udah banyak, kita pindah dari sana. Rumahnya gak bisa besar, tapi nanti kalo kita punya rumah sendiri Adek bisa pergi ke TK juga,” ucap Deby sembari melangkah pulang bersama Bela hendak mampir membeli lauk terlebih dahulu.

“Wuhu! Nanti aku bisa kayak Sherina!” ucap Bela yang sudah membayangkan kehidupannya akan seseru film yang sudah ia tonton puluhan kali itu.

Deby tersenyum mendengar ucapan Bela yang begitu optimis. Deby menikmati harinya bersama Bela meskipun tiap waktu yang ia habiskan bersama putri kecilnya ini terasa seperti hukuman baginya. Ia benar-benar malu atas pekerjaannya, harinya di penuhi keraguan apakah Bela akan tumbuh dengan baik setelah makan dan menikmati uang dari pekerjaan haramnya.

“Dia pikir…dia yang paling hebat!” Bela mulai menyanyi lagu-lagu yang Sherina bawakan dengan penuh keceriaan.

Hanya saat di jalan dan di tempat kerja ibunya ia bisa menjadi dirinya. Bahkan di tempat pelacuran yang kotor itu terasa jauh lebih aman daripada di rumah. Deby ikut bernyanyi bersama Bela, dulu ia bercita-cita untuk menjadi penyanyi tapi semuanya pupus saat ia mengenal cinta. Melawan keluarganya dan memutuskan untuk menikah, namun segala hal yang di awali dengan banyaknya penentangan bukan hal yang baik untuk di teruskan.

***

Setelah memandikan Bela dan menyiapkan makan malam. Deby baru mandi dan bersiap mengurus rumahnya yang berantakan karena suaminya mencari simpanan uangnya.

“Ibu makan,” ajak Bela.

“Adek makan duluan, Ibu masih bersih-bersih,” ucap Deby sembari mengajak Bela duduk di depan TV yang sudah rusak karena di lempar asbak oleh ayahnya.

“Kalo kita punya rumah sendiri nanti ada TVnya ya, aku pengen liat Sherina di rumah. Kalo aku ke TK nanti aku tidak nakal, terus habis dari TK aku nanti kalo di rumah bisa makan sendiri,” Bela makan sambil menceritakan angan-angannya pada ibunya.

Deby mengangguk sambil tertawa kecil menanggapi putrinya dan mimpi kecil mereka. Namun belum ceritanya selesai dan Deby yang belum sempat menanggapi, suara pintu yang di tendang Tomi sebagai pelampiasan emosinya setelah kalah judi.

Suasana hangat dan ceria itu langsung hilang begitu saja, berganti dengan suasana tegang dan traumatis hingga Bela tak berani bergerak dan Deby mencoba untuk mendekat membawa Bela menjauh dari ayahnya yang suka main tangan.

“Uang!” palak Tomi.

Deby menggelengkan kepalanya. “Uangku mau ku gunakan untuk menyekolahkan Bela,” jawab Deby memberanikan dirinya untuk sedikit melawan.

Tomi langsung menampar wajahnya lalu memukulinya dengan segala barang yang bisa ia raih.

“Ibu! Jangan pukul Ibu!” jerit Bela mencoba melindungi Ibunya meskipun ia juga ikut terkena pukulan dan terdorong hingga jatuh tersungkur.

Tomi tak peduli ia terus memukuli Deby. “Kalo aku judi kalah terus, gak ada yang mau suport aku. Kapan bisa kaya!” maki Toni sembari menjambak rambut Deby yang sudah terkapar tak berdaya mengadapi kekasarannya.

“Aku benci Ayah! Ayah jahat sama Ibu! Kalo aku sama Ibu punya rumah nanti aku gak mau ketemu Ayah lagi!” jerit Bela sambil menangis kehabisan cara untuk membela ibunya.

Tomi menyunggingkan senyum di sudut bibirnya, ia langsung mencekik Bela dan membawanya keluar hendak melemparnya dari lantai 3 rusunnya.

“Jangan! Bela!” jerit Deby yang langsung mengambil uang pendapatannya hari ini dan memberikannya pada suaminya agar Bela tidak di sakiti.

Tomi melemparkan Bela pada Deby lalu mengambil uangnya dan kembali pergi setelah meludahinya kedua perempuan tak bersalah dan dalam kondisi begitu berantakan karnanya. Deby menangis sembari memeluk erat tubuh Bela. Bela juga menangis sembari meringkuk memeluk ibunya.

“Kamu harusnya mati saja Bela…” ucap Deby sembari membawa Bela masuk.

Bela terdiam, sesekali nafasnya masih terisak. Bela memeluk kaki Deby yang berdiri di depan westafel sembari menggenggam sebuah pisau dapur.

“Mati itu apa?” tanya Bela sembari mendongakkan kepalanya menatap ibunya.

“Kembali ke Tuhan,” jawab Deby sembari menguatkan genggaman tangannya pada pisau dapur bersiap menusuk Bela.

Bela tersenyum lalu mengeratkan pelukannya. “Kalo aku pergi ke tempat Tuhan, nanti yang temenin Ibu siapa?” tanya Bela.

Seketika Deby langsung mendongakkan kepalanya. Deby berusaha menahan tangisnya yang terasa sia-sia karena ia tetap saja menangis. Deby meluruh ke lantai lalu ia memeluk erat tubuh kecil Bela. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi selain menangis.

“Aku menyayangi Ibu. Maaf ya Ibu, Bela belum kuat. Tidak bisa jadi jagoan seperti Sherina. Jadi tidak bisa menjaga Ibu,” ucap Bela sembari menangis sedih atas kelemahannya sebagai anak berusia 3 tahun.




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.