“Anghhh…ahhh…ahhh…”
Desah Deby begitu
erotis untuk memuaskan ego pria tua yang menjadi langganannya beberapa bulan
belakangan ini. Deby mendesah dengan begitu menggairahkan, merintih dan sesekali
memekik seolah kejantanan letoy yang sudah mengalami masalah dengan ejakulasi
dini itu merasa gagah kembali.
“Oh! Deby kau
yang terbaik!” puji pria tua itu.
Deby tersenyum
mendengar pujiannya. Pria tua itu langsung bersiap pergi, sementara Deby duduk
menunggu bayarannya dengan tubuh yang masih telanjang dengan dada yang di
tutupi helai rambutnya saja.
Samar terdengar
suara dari DVD bajakan yang disetel dari lantai bawah. Deby tau putrinya sudah
bangun dari tidur siangnya. Deby yang semula tersenyum pada pelanggannya kini
perlahan kehilangan senyumnya. Ada banyak ke khawatiran sekarang di kepalanya.
Apa aku
terlalu berisik…batin Deby sembari memakai dasternya.
“Harusnya
kau tidak membawa anakmu ketika melacur,” ucap pelanggannya sembari melemparkan
amplop berisi bayarannya.
Deby
tersenyum canggung mendengar ucapan pelanggannya yang terdengar ada benarnya
juga. Tapi dimana ia bisa menitipkan putrinya? Deby saja tidak percaya pada
suaminya yang penjudi dan penganggur itu.
Bela
menoleh kebelakang begitu melihat tamu ibunya yang menuruni tangga. Bela langsung
bangun lalu pelan-pelan berjalan mundur membawa dotnya. Bela takut dimarahi, Bela
takut urusan ibunya jadi terganggu karena ia menyetel DVD. Tapi tak selang lama
Ibunya ikut turun sambil tersenyum dengan pakaiannya yang sudah rapi lalu
memeluk Bela.
“Ibu!” seru
Bela senang lalu membalas pelukan Ibunya.
Bela selalu
senang melihat Ibunya setelah selesai bekerja.
“Ayo pulang,”
ajak Deby lembut sembari memangku putrinya dan menciuminya dengan penuh kasih
sayang.
Bela
menggeleng. “Kita disini saja, ngapain pulang. Ayah suka pukul Ibu, kita disini
saja,” ucap Bela dengan alis bertaut tak suka jika harus bertemu ayahnya.
Deby tersenyum
lalu kembali menciumi putrinya sembari menggelitikinya. “Iya, tapi kalo kita
pulangnya telat nanti Ayah marah-marah,” ucap Deby lembut lalu mengemasi barang-barang
Bela dan bersiap pergi dari tempat pelacurannya.
Bela
cemberut, Deby tetap berusaha tersenyum agar Bela tidak sedih. Meskipun di hati
kecilnya sendiri ia juga tak tahan tinggal bersama suaminya saat ini. Tapi ia
tak punya pilihan lain, Deby juga sudah mencoba mengumpulkan uangnya diam-diam
agar ia bisa kabur suatu saat nanti bersama Bela.
“Nanti kalo
uang Ibu udah banyak, kita pindah dari sana. Rumahnya gak bisa besar, tapi nanti
kalo kita punya rumah sendiri Adek bisa pergi ke TK juga,” ucap Deby sembari
melangkah pulang bersama Bela hendak mampir membeli lauk terlebih dahulu.
“Wuhu! Nanti
aku bisa kayak Sherina!” ucap Bela yang sudah membayangkan kehidupannya akan
seseru film yang sudah ia tonton puluhan kali itu.
Deby
tersenyum mendengar ucapan Bela yang begitu optimis. Deby menikmati harinya
bersama Bela meskipun tiap waktu yang ia habiskan bersama putri kecilnya ini
terasa seperti hukuman baginya. Ia benar-benar malu atas pekerjaannya, harinya
di penuhi keraguan apakah Bela akan tumbuh dengan baik setelah makan dan
menikmati uang dari pekerjaan haramnya.
“Dia
pikir…dia yang paling hebat!” Bela mulai menyanyi lagu-lagu yang Sherina bawakan dengan penuh
keceriaan.
Hanya saat
di jalan dan di tempat kerja ibunya ia bisa menjadi dirinya. Bahkan di tempat
pelacuran yang kotor itu terasa jauh lebih aman daripada di rumah. Deby ikut
bernyanyi bersama Bela, dulu ia bercita-cita untuk menjadi penyanyi tapi
semuanya pupus saat ia mengenal cinta. Melawan keluarganya dan memutuskan untuk
menikah, namun segala hal yang di awali dengan banyaknya penentangan bukan hal
yang baik untuk di teruskan.
***
Setelah
memandikan Bela dan menyiapkan makan malam. Deby baru mandi dan bersiap
mengurus rumahnya yang berantakan karena suaminya mencari simpanan uangnya.
“Ibu makan,”
ajak Bela.
“Adek makan
duluan, Ibu masih bersih-bersih,” ucap Deby sembari mengajak Bela duduk di
depan TV yang sudah rusak karena di lempar asbak oleh ayahnya.
“Kalo kita
punya rumah sendiri nanti ada TVnya ya, aku pengen liat Sherina di rumah. Kalo
aku ke TK nanti aku tidak nakal, terus habis dari TK aku nanti kalo di rumah
bisa makan sendiri,” Bela makan sambil menceritakan angan-angannya pada ibunya.
Deby
mengangguk sambil tertawa kecil menanggapi putrinya dan mimpi kecil mereka. Namun
belum ceritanya selesai dan Deby yang belum sempat menanggapi, suara pintu yang
di tendang Tomi sebagai pelampiasan emosinya setelah kalah judi.
Suasana hangat
dan ceria itu langsung hilang begitu saja, berganti dengan suasana tegang dan
traumatis hingga Bela tak berani bergerak dan Deby mencoba untuk mendekat
membawa Bela menjauh dari ayahnya yang suka main tangan.
“Uang!”
palak Tomi.
Deby
menggelengkan kepalanya. “Uangku mau ku gunakan untuk menyekolahkan Bela,” jawab
Deby memberanikan dirinya untuk sedikit melawan.
Tomi
langsung menampar wajahnya lalu memukulinya dengan segala barang yang bisa ia raih.
“Ibu! Jangan
pukul Ibu!” jerit Bela mencoba melindungi Ibunya meskipun ia juga ikut terkena
pukulan dan terdorong hingga jatuh tersungkur.
Tomi tak
peduli ia terus memukuli Deby. “Kalo aku judi kalah terus, gak ada yang mau
suport aku. Kapan bisa kaya!” maki Toni sembari menjambak rambut Deby yang
sudah terkapar tak berdaya mengadapi kekasarannya.
“Aku benci Ayah! Ayah jahat sama Ibu! Kalo aku
sama Ibu punya rumah nanti aku gak mau ketemu Ayah lagi!” jerit Bela sambil
menangis kehabisan cara untuk membela ibunya.
Tomi menyunggingkan senyum di sudut bibirnya,
ia langsung mencekik Bela dan membawanya keluar hendak melemparnya dari lantai 3
rusunnya.
“Jangan! Bela!” jerit Deby yang langsung mengambil
uang pendapatannya hari ini dan memberikannya pada suaminya agar Bela tidak di
sakiti.
Tomi melemparkan Bela pada Deby lalu mengambil uangnya
dan kembali pergi setelah meludahinya kedua perempuan tak bersalah dan dalam
kondisi begitu berantakan karnanya. Deby menangis sembari memeluk erat tubuh Bela.
Bela juga menangis sembari meringkuk memeluk ibunya.
“Kamu harusnya mati saja Bela…” ucap Deby sembari
membawa Bela masuk.
Bela terdiam, sesekali nafasnya masih terisak.
Bela memeluk kaki Deby yang berdiri di depan westafel sembari menggenggam sebuah
pisau dapur.
“Mati itu apa?” tanya Bela sembari mendongakkan
kepalanya menatap ibunya.
“Kembali ke Tuhan,” jawab Deby sembari menguatkan
genggaman tangannya pada pisau dapur bersiap menusuk Bela.
Bela tersenyum lalu mengeratkan pelukannya. “Kalo
aku pergi ke tempat Tuhan, nanti yang temenin Ibu siapa?” tanya Bela.
Seketika Deby langsung mendongakkan kepalanya. Deby
berusaha menahan tangisnya yang terasa sia-sia karena ia tetap saja menangis. Deby
meluruh ke lantai lalu ia memeluk erat tubuh kecil Bela. Ia tak bisa berkata
apa-apa lagi selain menangis.
“Aku menyayangi Ibu. Maaf ya Ibu, Bela belum
kuat. Tidak bisa jadi jagoan seperti Sherina. Jadi tidak bisa menjaga Ibu,”
ucap Bela sembari menangis sedih atas kelemahannya sebagai anak berusia 3 tahun.
0 comments