Alex
mengangkat sebelah alisnya sembari menatap bocah laki-laki yang sekarang ada di
depan tendanya. Airmatanya sudah ia habiskan sejam yang lalu setelah ia
mendapat kabar jika Ani, istrinya meninggal beberapa minggu lalu. Tubuh
lemahnya tak kuat lagi bertarung memerangi penyakitnya sendiri.
Besi yang kuat
tidak kalah karena benturan, tidak juga menjadi rapuh karena di panaskan. Namun
besi itu akan melemah dan kalah karena karatnya sendiri. Rasanya seperti itulah
yang Ani alami. Alex mulai di liputi rasa bersalahnya seiring dengan rasa sedih
karena merasa menjadi penyebab Ani sakit dan kemiskinannya yang membuatnya tak
memiliki keberanian membawa Ani berobat ke rumah sakit. Jangankan ke rumah
sakit, menemuinya saja Alex tak punya muka lagi.
“Hai!” sapa
Alex lalu tersenyum ramah dan hangat sembari berjongkok agar sejajar dengan
bocah laki-laki itu. “A-aku…aku ayahmu…” hanya itu kalimat yang terlintas di
pikiran Alex.
Nero
mengangguk sembari tersenyum sumringah. “Aku sudah tau, Ibu sudah bilang,”
jawab bocah itu.
Alex
tertawa mendengarnya lalu mengajak Nero masuk. “Kamu namanya…”
“Nero. Kan Ayah
yang kasih nama, masak lupa!” saut Nero dan lagi-lagi Alex kehabisan kata-kata
dan bingung harus bagaimana sekarang.
Alex
tersenyum mendengar jawaban Nero. Ia menepuk kasur palembang tempatnya tidur
tadi. Nero duduk di sampingnya sembari menatap Alex terus menerus.
[PERINGATAN!!!] Cerita ini dapat menyebabkan trauma atau memicu adanya trauma, konsekuensi yang terjadi setelah dan/atau saat membaca cerita ini adalah tanggung jawab pribadi. |
“Tempat Ayah jelek. Kamu gimana selama gak ada Ayah?” akhirnya Alex menemukan sesuatu yang pantas ia bahas bersama anaknya yang baru berusia 4 tahun itu.
“Aku ya
nemenin Ibu,” jawab Nero singkat ia masih coba mencari kemiripan Alex yang
sekarang ada di depan matanya dengan Alex yang biasa Ibunya ceritakan sembari
menunjukkan fotonya ketika jadi manusia silver.
“Gak
sekolah?” tanya Alex coba membuat Nero lebih banyak bicara lagi.
Nero
menggeleng. “Ibu bilang kalo aku ikut Ayah, nanti aku bisa sekolah,” jawab Nero
dengan polos yang membuat Alex terbahak-bahak.
Bukan
karena jawaban Nero lucu, tapi ia tengah menertawakan kehidupannya. Untuk makannya
sendri saja susah, saingannya untuk sekedar menjadi penampil di panggung agar
dapat menyambung hidup saja sudah membuatnya pontang-panting. Apa lagi harus
menyekolahkan Nero, terlalu mewah. Seperti mimpi saat sedang melamun.
“Ayah gak
kayak yang ada di foto Ibu,” ucap Nero lalu menurunkan ransel kecilnya dan
menunjukkan foto yang selama ini sering di tunjukkan ibunya.
Alex
tersenyum melihat foto yang Nero tunjukkan padanya. Awalnya ia tersenyum melihat
dirinya yang begitu kemaki di dalam foto itu saat masih muda dulu. Tapi senyumnya
perlahan pudar ketika ia ingat bagaimana kejadiaan saat itu, suasana panas yang
cerah, senyum manis Ani yang memfotonya, dan indahnya memadu kasih.
“Aku memang
belum kaya, tapi aku bakal berusaha bikin kamu ketawa, bikin kamu bahagia,
tanggung jawab juga sama kamu…” janji manis Alex saat merayu Ani kembali terdengar di telinganya.
“Ayah
kenapa gak kayak gini lagi?” tanya Nero memecahkan lamunan Alex.
“Masih,
tapi hari ini gak kayak gitu. Nanti malem… tapi nanti malem Ayah naik ke
panggung. Ayah jadi badut,” jawab Alex berusaha tetap terlihat bangga dan ceria
di depan Nero.
Nero
langsung mengacungkan dua jempolnya. “Pasti kalo Ibu bisa liat Ayah, sekarang
Ibu bangga. Ayah sudah naik pangkat!” Alex tertawa mendengar ucapan Nero. Jelas
Nero tidak paham apa yang ia katakan barusan.
Alex membuka
dompetnya. Ada dua lembar seratus ribuan, rencananya ia akan pulang dan
menyerahkan seluruh hartanya itu pada Ani. Tapi kini Ani sudah tidak ada, jadi Alex
memilih rencana lain.
“Ayo
jalan-jalan!” ajak Alex sembari bangun dan meregangkan tubuhnya. “Tasmu di
tinggal disini aja dulu,” ucap Alex lalu kembali berjongkok untuk menggendong
Nero di punggungnya.
Nero dengan
senang melompat ke punggungnya dan langsung berpegangan dengan erat. Sebelumnya
ia hanya melihat teman-temannya berinteraksi dengan bapaknya. Baru kali ini ia
merasakan itu sendiri. Ini hari terbaik bagi Nero.
Alex
melangkah sembari menceritakan setiap tempat di karnaval kelilingnya. Alex juga
mengajak Nero makan enak di warung makan padang, membelikannya topi dan setelan
baju. Sebelum menjelang sore mengajaknya kembali ke tendanya.
“Anak siapa?”
tanya Juragan dengan suara menggelegar begitu melihat Nero yang baru selesai
mandi bersama Alex masuk ke dalam tenda.
“Anakku,”
jawab Alex lalu bangun seiring dengan kibasan tangan Juragan pemilik Karnaval.
Nero
melihat di kejauhan memperhatikan entah apa yang di bicarakan Ayahnya dengan
Juragan bertubuh gempal itu. Namun tak berapa lama Ayahnya langsung meluruh ke tanah
dan mulai memohon, sebelum akhirnya Juragan kembali mengibaskan tangannya.
“Nanti Nero
duduk paling depan ya! Nero liat Ayah tampil!” ucap Alex dengan bangga lalu
memeluk Nero.
Nero
mengangguk dan ikut tersenyum bersama Ayahnya. Ini benar-benar jadi hari
terbaiknya. Sapai malam tiba. Alex tampil dengan begitu semangat dan begitu
memukau. Menjagling bola dengan begitu lihai, berjalan di atas bola besar dengan
lincah. Alex tidak melihat penontonnya lagi, tidak lagi peduli pada tepukan
tangan dan sorak riuh orang-orang yang terpukau padanya. Malam ini ia hanya milik
Nero dan hanya akan menghiburnya seorang.
“Ayah keren
gak?” tanya Alex selepas tampil.
“Ayah hebat
sekali! Ayah yang paling keren menurutku! Semua orang lihat Ayah, Ayah
pemberani!” Nero tidak berhenti memuji Ayahnya.
Orang-orang
di tenda menahan diri untuk tidak menghina Alex begitu mendengar ucapan Nero
yang begitu bangga pada Ayahnya.
“Nanti kalo
aku besar mau jadi kayak Ayah!” seru Nero yang langsung membuat orang-orang
menertawakannya dan mulai mengolok-olok Ayahnya.
Alex langsung
mendekapnya sebelum Nero sadar jika Ayahnya hanya seorang pecundang. “Nero
jangan jadi kayak Ayah. Nero harus punya pekerjaan yang bagus nanti. Jangan
kayak Ayah, Nero harus jadi orang besar. Jadi dokter apa tentara gitu. Itu bagus!”
Alex coba mengarahkan mimpi anaknya.
“Kenapa?
Menurutku pekerjaan Ayah keren!” Nero berkeras.
Alex
tersenyum. “Iya keren ya… tapi lebih keren lagi kalo jadi dokter, atau tentara,
em… atau pegawai. Nanti kalo sakit bisa langsung berobat. Kerja kayak Ayah
bahaya…”
“Bisa jatuh
ya?” sela Nero.
“Iya, bisa
jatuh. Nanti jadi gak keren kalo jatuh.”
“Yaudah aku
mau jadi dokter, biar bisa obatin Ayah kalo jatuh!”
Alex
tersenyum lalu kembali mendekap Nero. “Ayah sayang sama Nero,” Alex meneteskan
airmatanya sembari menatap putranya lalu buru-buru memeluknya dan memaksakan
diri untuk tersenyum berharap airmatanya dapat ia tahan.
Semalaman Alex tak dapat tidur. Ia terus memandangi wajah putranya. Ia ingin mengambil fotonya. Tapi sayang ia bahkan tak memiliki ponsel untuk melakukannya. Ia ingin mengabadikan tiap waktu bersama putranya. Ingin menghentikan waktu yang terus berputar rasanya. Tapi ia terlalu tak berdaya untuk melakukannya. Jangankan menghentikan waktu yang tak bisa di sentuh, menahan Nero agar tetap bersamanya saja rasanya sulit.
“Nero, aku
malu kamu masih mau manggil aku Ayah. Aku terlalu buruk untuk di panggil Ayah.
Aku hanya ingin memberikan kehidupan terbaik untukmu Nak. Aku hanya ingin
memberikan yang terbaik. Ayah akan selalu menyayangimu, selamanya… selama Ayah
masih bisa bernafas, Ayah selalu menyayangi Nero,” bisik Alex sembari mengelu-elus
putranya.
Alex bangun
dan melihat isi dompetnya yang hanya tersisa selembar duapuluh ribuan saja.
Alex ingin setidaknya sekali saja dalam hidupnya mengambil foto putranya. Jadi pagi
ini ia menahan laparnya memberikan jatah makannya dari Karnaval untuk Nero.
“Ayo kita
foto!” ajak Alex lalu berjalan menuju tempat foto dekat kota.
Lagi-lagi Nero
menunggu di kejauhan sembari melihat Ayahnya bicara dengan pemilik tempat foto
yang baru saja buka itu.
“Ayo Nak!”
ajak Alex lalu memangku Nero dan untuk berfoto bersama dengan senyum paling
bahagia yang bisa ia berikan hari ini.
Alex terus
memeluk Nero dan menciuminya sesekali mencoba mengingat aroma tubuh putranya
sembari menghirupnya dalam-dalam. Tak lama fotonya jadi, hanya bisa di cetak
dua lembar. Alex memasukkannya kedalam tas milik Nero setelah menuliskan
sesuatu dibalik fotonya.
“Gak udah
bayar Mas, gapapa…” ucap tukang foto itu dengan ramah.
Alex
tersenyum senang mendengarnya. Begitu pula dengan Nero yang sama senangnya. Keduanya
lanjut berjalan sembari bercerita. Alex terus mengatakan apa yang perlu ia
katakan pada Nero. Sementara Nero berceloteh begitu saja tanpa beban, entah
Nero paham atau tidak pada apa yang Alex katakan padanya.
“Kita
dimana?” tanya Alex.
“Ini panti
asuhan. Sementara waktu Nero disini ya, jangan nakal. Harus nurut ya…”
“Kenapa harus
disini? Aku kan mau ikut Ayah!” sela Nero.
“Ayah harus
kerja, Nero kan masih harus sekolah. Belajar biar pinter, nanti jadi dokter,
jadi tentara, ya… kalo Nero sudah pintar, sudah jadi orang hebat. Nanti Ayah
jemput ya.”
Nero
terdiam lalu mengangguk dengan berat hati.
“Nero…Ayah
sayang sekali sama kamu. Nero harus janji jadi anak baik ya…”
Nero
kembali mengangguk sembari memeluk Alex dan mulai menangis. Seorang pengurus
dari panti menghampiri seolah memang sudah menunggu kedatangan Alex dan Nero.
“Sana…”
ucap Alex lalu bangun dan melepas pelukan Nero sembari menguatkan hatinya dan
meyakinkan dirinya jika ini yang terbaik.
Nero
melangkah dengan sedikit takut ke arah pengurus panti yang menyambutnya dengan
hangat itu. Begitu Nero menggenggam tangannya Alex langsung berlari menjauh
darinya sekuat tenaga.
“Kamu boleh
lupain Ayahmu yang tidak berguna ini Nak! Ayahmu jahat! Ayahmu gak bisa apa-apa!
Ayahmu gak bisa kasih apapun ke kamu sama Ibumu!” Alex berlari sambil menangisi
keadaannya.
Truk melaju
kencang di arah berlawanan ketika Alex berlari. Alex tak peduli lagi dengan
langkahnya matanya terlalu kabur untuk melihat. Hingga akhirnya truk itu
menghantam dan langsung melindas tubuhnya.
“Nero…”
Baca juga :
0 comments