BLANTERORBITv102

Panggung Karnaval Ayah

Sabtu, 08 Juli 2023

 


Alex mengangkat sebelah alisnya sembari menatap bocah laki-laki yang sekarang ada di depan tendanya. Airmatanya sudah ia habiskan sejam yang lalu setelah ia mendapat kabar jika Ani, istrinya meninggal beberapa minggu lalu. Tubuh lemahnya tak kuat lagi bertarung memerangi penyakitnya sendiri.

Besi yang kuat tidak kalah karena benturan, tidak juga menjadi rapuh karena di panaskan. Namun besi itu akan melemah dan kalah karena karatnya sendiri. Rasanya seperti itulah yang Ani alami. Alex mulai di liputi rasa bersalahnya seiring dengan rasa sedih karena merasa menjadi penyebab Ani sakit dan kemiskinannya yang membuatnya tak memiliki keberanian membawa Ani berobat ke rumah sakit. Jangankan ke rumah sakit, menemuinya saja Alex tak punya muka lagi.

“Hai!” sapa Alex lalu tersenyum ramah dan hangat sembari berjongkok agar sejajar dengan bocah laki-laki itu. “A-aku…aku ayahmu…” hanya itu kalimat yang terlintas di pikiran Alex.

Nero mengangguk sembari tersenyum sumringah. “Aku sudah tau, Ibu sudah bilang,” jawab bocah itu.

Alex tertawa mendengarnya lalu mengajak Nero masuk. “Kamu namanya…”

“Nero. Kan Ayah yang kasih nama, masak lupa!” saut Nero dan lagi-lagi Alex kehabisan kata-kata dan bingung harus bagaimana sekarang.

Alex tersenyum mendengar jawaban Nero. Ia menepuk kasur palembang tempatnya tidur tadi. Nero duduk di sampingnya sembari menatap Alex terus menerus.

[PERINGATAN!!!] Cerita ini dapat menyebabkan trauma atau memicu adanya trauma, konsekuensi yang terjadi setelah dan/atau saat membaca cerita ini adalah tanggung jawab pribadi.

“Tempat Ayah jelek. Kamu gimana selama gak ada Ayah?” akhirnya Alex menemukan sesuatu yang pantas ia bahas bersama anaknya yang baru berusia 4 tahun itu.

“Aku ya nemenin Ibu,” jawab Nero singkat ia masih coba mencari kemiripan Alex yang sekarang ada di depan matanya dengan Alex yang biasa Ibunya ceritakan sembari menunjukkan fotonya ketika jadi manusia silver.

“Gak sekolah?” tanya Alex coba membuat Nero lebih banyak bicara lagi.

Nero menggeleng. “Ibu bilang kalo aku ikut Ayah, nanti aku bisa sekolah,” jawab Nero dengan polos yang membuat Alex terbahak-bahak.

Bukan karena jawaban Nero lucu, tapi ia tengah menertawakan kehidupannya. Untuk makannya sendri saja susah, saingannya untuk sekedar menjadi penampil di panggung agar dapat menyambung hidup saja sudah membuatnya pontang-panting. Apa lagi harus menyekolahkan Nero, terlalu mewah. Seperti mimpi saat sedang melamun.

“Ayah gak kayak yang ada di foto Ibu,” ucap Nero lalu menurunkan ransel kecilnya dan menunjukkan foto yang selama ini sering di tunjukkan ibunya.

Alex tersenyum melihat foto yang Nero tunjukkan padanya. Awalnya ia tersenyum melihat dirinya yang begitu kemaki di dalam foto itu saat masih muda dulu. Tapi senyumnya perlahan pudar ketika ia ingat bagaimana kejadiaan saat itu, suasana panas yang cerah, senyum manis Ani yang memfotonya, dan indahnya memadu kasih.

“Aku memang belum kaya, tapi aku bakal berusaha bikin kamu ketawa, bikin kamu bahagia, tanggung jawab juga sama kamu…” janji manis Alex saat merayu Ani kembali terdengar di telinganya.

“Ayah kenapa gak kayak gini lagi?” tanya Nero memecahkan lamunan Alex.

“Masih, tapi hari ini gak kayak gitu. Nanti malem… tapi nanti malem Ayah naik ke panggung. Ayah jadi badut,” jawab Alex berusaha tetap terlihat bangga dan ceria di depan Nero.

Nero langsung mengacungkan dua jempolnya. “Pasti kalo Ibu bisa liat Ayah, sekarang Ibu bangga. Ayah sudah naik pangkat!” Alex tertawa mendengar ucapan Nero. Jelas Nero tidak paham apa yang ia katakan barusan.

Alex membuka dompetnya. Ada dua lembar seratus ribuan, rencananya ia akan pulang dan menyerahkan seluruh hartanya itu pada Ani. Tapi kini Ani sudah tidak ada, jadi Alex memilih rencana lain.

“Ayo jalan-jalan!” ajak Alex sembari bangun dan meregangkan tubuhnya. “Tasmu di tinggal disini aja dulu,” ucap Alex lalu kembali berjongkok untuk menggendong Nero di punggungnya.

Nero dengan senang melompat ke punggungnya dan langsung berpegangan dengan erat. Sebelumnya ia hanya melihat teman-temannya berinteraksi dengan bapaknya. Baru kali ini ia merasakan itu sendiri. Ini hari terbaik bagi Nero.

Alex melangkah sembari menceritakan setiap tempat di karnaval kelilingnya. Alex juga mengajak Nero makan enak di warung makan padang, membelikannya topi dan setelan baju. Sebelum menjelang sore mengajaknya kembali ke tendanya.

“Anak siapa?” tanya Juragan dengan suara menggelegar begitu melihat Nero yang baru selesai mandi bersama Alex masuk ke dalam tenda.

“Anakku,” jawab Alex lalu bangun seiring dengan kibasan tangan Juragan pemilik Karnaval.

Nero melihat di kejauhan memperhatikan entah apa yang di bicarakan Ayahnya dengan Juragan bertubuh gempal itu. Namun tak berapa lama Ayahnya langsung meluruh ke tanah dan mulai memohon, sebelum akhirnya Juragan kembali mengibaskan tangannya.

“Nanti Nero duduk paling depan ya! Nero liat Ayah tampil!” ucap Alex dengan bangga lalu memeluk Nero.

Nero mengangguk dan ikut tersenyum bersama Ayahnya. Ini benar-benar jadi hari terbaiknya. Sapai malam tiba. Alex tampil dengan begitu semangat dan begitu memukau. Menjagling bola dengan begitu lihai, berjalan di atas bola besar dengan lincah. Alex tidak melihat penontonnya lagi, tidak lagi peduli pada tepukan tangan dan sorak riuh orang-orang yang terpukau padanya. Malam ini ia hanya milik Nero dan hanya akan menghiburnya seorang.

“Ayah keren gak?” tanya Alex selepas tampil.

“Ayah hebat sekali! Ayah yang paling keren menurutku! Semua orang lihat Ayah, Ayah pemberani!” Nero tidak berhenti memuji Ayahnya.

Orang-orang di tenda menahan diri untuk tidak menghina Alex begitu mendengar ucapan Nero yang begitu bangga pada Ayahnya.

“Nanti kalo aku besar mau jadi kayak Ayah!” seru Nero yang langsung membuat orang-orang menertawakannya dan mulai mengolok-olok Ayahnya.

Alex langsung mendekapnya sebelum Nero sadar jika Ayahnya hanya seorang pecundang. “Nero jangan jadi kayak Ayah. Nero harus punya pekerjaan yang bagus nanti. Jangan kayak Ayah, Nero harus jadi orang besar. Jadi dokter apa tentara gitu. Itu bagus!” Alex coba mengarahkan mimpi anaknya.

“Kenapa? Menurutku pekerjaan Ayah keren!” Nero berkeras.

Alex tersenyum. “Iya keren ya… tapi lebih keren lagi kalo jadi dokter, atau tentara, em… atau pegawai. Nanti kalo sakit bisa langsung berobat. Kerja kayak Ayah bahaya…”

“Bisa jatuh ya?” sela Nero.

“Iya, bisa jatuh. Nanti jadi gak keren kalo jatuh.”

“Yaudah aku mau jadi dokter, biar bisa obatin Ayah kalo jatuh!”

Alex tersenyum lalu kembali mendekap Nero. “Ayah sayang sama Nero,” Alex meneteskan airmatanya sembari menatap putranya lalu buru-buru memeluknya dan memaksakan diri untuk tersenyum berharap airmatanya dapat ia tahan.

Semalaman Alex tak dapat tidur. Ia terus memandangi wajah putranya. Ia ingin mengambil fotonya. Tapi sayang ia bahkan tak memiliki ponsel untuk melakukannya. Ia ingin mengabadikan tiap waktu bersama putranya. Ingin menghentikan waktu yang terus berputar rasanya. Tapi ia terlalu tak berdaya untuk melakukannya. Jangankan menghentikan waktu yang tak bisa di sentuh, menahan Nero agar tetap bersamanya saja rasanya sulit.

“Nero, aku malu kamu masih mau manggil aku Ayah. Aku terlalu buruk untuk di panggil Ayah. Aku hanya ingin memberikan kehidupan terbaik untukmu Nak. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik. Ayah akan selalu menyayangimu, selamanya… selama Ayah masih bisa bernafas, Ayah selalu menyayangi Nero,” bisik Alex sembari mengelu-elus putranya.

Alex bangun dan melihat isi dompetnya yang hanya tersisa selembar duapuluh ribuan saja. Alex ingin setidaknya sekali saja dalam hidupnya mengambil foto putranya. Jadi pagi ini ia menahan laparnya memberikan jatah makannya dari Karnaval untuk Nero.

“Ayo kita foto!” ajak Alex lalu berjalan menuju tempat foto dekat kota.

Lagi-lagi Nero menunggu di kejauhan sembari melihat Ayahnya bicara dengan pemilik tempat foto yang baru saja buka itu.

“Ayo Nak!” ajak Alex lalu memangku Nero dan untuk berfoto bersama dengan senyum paling bahagia yang bisa ia berikan hari ini.

Alex terus memeluk Nero dan menciuminya sesekali mencoba mengingat aroma tubuh putranya sembari menghirupnya dalam-dalam. Tak lama fotonya jadi, hanya bisa di cetak dua lembar. Alex memasukkannya kedalam tas milik Nero setelah menuliskan sesuatu dibalik fotonya.

“Gak udah bayar Mas, gapapa…” ucap tukang foto itu dengan ramah.

Alex tersenyum senang mendengarnya. Begitu pula dengan Nero yang sama senangnya. Keduanya lanjut berjalan sembari bercerita. Alex terus mengatakan apa yang perlu ia katakan pada Nero. Sementara Nero berceloteh begitu saja tanpa beban, entah Nero paham atau tidak pada apa yang Alex katakan padanya.

“Kita dimana?” tanya Alex.

“Ini panti asuhan. Sementara waktu Nero disini ya, jangan nakal. Harus nurut ya…”

“Kenapa harus disini? Aku kan mau ikut Ayah!” sela Nero.

“Ayah harus kerja, Nero kan masih harus sekolah. Belajar biar pinter, nanti jadi dokter, jadi tentara, ya… kalo Nero sudah pintar, sudah jadi orang hebat. Nanti Ayah jemput ya.”

Nero terdiam lalu mengangguk dengan berat hati.

“Nero…Ayah sayang sekali sama kamu. Nero harus janji jadi anak baik ya…”

Nero kembali mengangguk sembari memeluk Alex dan mulai menangis. Seorang pengurus dari panti menghampiri seolah memang sudah menunggu kedatangan Alex dan Nero.

“Sana…” ucap Alex lalu bangun dan melepas pelukan Nero sembari menguatkan hatinya dan meyakinkan dirinya jika ini yang terbaik.

Nero melangkah dengan sedikit takut ke arah pengurus panti yang menyambutnya dengan hangat itu. Begitu Nero menggenggam tangannya Alex langsung berlari menjauh darinya sekuat tenaga.

“Kamu boleh lupain Ayahmu yang tidak berguna ini Nak! Ayahmu jahat! Ayahmu gak bisa apa-apa! Ayahmu gak bisa kasih apapun ke kamu sama Ibumu!” Alex berlari sambil menangisi keadaannya.

Truk melaju kencang di arah berlawanan ketika Alex berlari. Alex tak peduli lagi dengan langkahnya matanya terlalu kabur untuk melihat. Hingga akhirnya truk itu menghantam dan langsung melindas tubuhnya.

“Nero…”

 

Baca juga :

Flower Girl

Under The Rain

Cara promosi dan Membangun Personal branding-Valen Ash 


Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.