Beni
merapikan semua barang-barangnya. Keputusannya kali ini sudah begitu bulat
untuk tinggal di rumah tantenya yang lebih dekat dengan kampus. Bukan keputusan
mudah bagi Beni yang masih ingin tawuran dan nakal namun harus fokus pada masadepan
dan pendidikannya. Melepaskan kebiasaan nongkrong dan kumpul-kumpul tidak jelas
setiap harinya.
Sebenarnya jarak
dari rumah ke kampus juga tidak begitu jauh. Hanya setengah jam perjalanan dengan
motornya. Beni juga jadi masih bisa mengurus bengkelnya dan curi-curi pandang serta
mencari kesempatan untuk melihat Sofia, istri dari mantan rivalnya dulu.
Memandangi Sofia
yang sedang menemani Arman sembari mengawasi si kembar yang pecicilan dan begitu
aktiv seolah tenaganya tak bisa habis. Melihat Sofia yang dengan sabar
mendengarkan anak-anaknya mengoceh sembari menemani Arman yang sedang bersiap
menutup distronya. Pemandangan indah yang begitu ingin Beni rebut.
Namun sayang
sekarang semuanya harus ia pendam dalam-dalam. Niatan Beni merebut Sofia juga
sudah coba ia lupakan meskipun terasa begitu berat dan sulit. Sampai seperti
sekarang, ini adalah salah satu caranya move on dan memulai lembaran
baru dalam hidupnya.
“Makasih
Tan…” ucap Beni begitu tantenya memberinya kunci serep rumah padanya sebelum
berangkat kuliah pagi ini.
Seperti pagi-pagi
yang biasanya, kegiatan kuliah juga hanya begitu-begitu saja. Membosankan. Tetap
bagi Beni masa paling indahnya adalah saat di STM, meskipun memang gadis di STM
hanya sedikit dan bisa di hitung jari. Tapi bagi Beni yang sudah terlanjur
menyukai Sofia yang berstatus sebagai istri orang itu tak dapat berbuat apa-apa.
Sampai ia
melihat seorang gadis manis di kelasnya yang sering menyendiri. Dila, Beni
pernah sekelompok dengannya dulu. Tapi Beni merasa tak banyak bicara dengannya.
Dila pendiam, mungkin sedikit pemalu atau memang Beni yang kurang asik. Entahlah
yang jelas Beni tak begitu akrab dan familiar dengan gadis itu.
Beni terus
memandanginya dari ujung kelas. Dila cantik, tapi kenapa ya dia terus
menyendiri? Maka sejak itu Beni mulai menetapkan Dila sebagai target
kesenangannya yang baru. Beni mulai memperhatikan Dila hampir di setiap kesempatan.
Memantau dari sosmednya sampai memperhatikan kemana kegiatan Dila setelah
selesai kelas.
Sampai Beni
hapal dan sudah langsung pura-pura menunggu Dila. Seperti saat ini ia duduk di
bangku taman fakultasnya dan melihat Dila yang datang tak berselang lama
sembari membawa laptopnya, bersiap mengerjakan tugas disana. Jika biasanya Beni
hanya diam kali ini ia coba memberanikan diri mendekati Dila yang sendirian
itu.
“Hai!” sapa
Beni lalu langsung duduk di depan Dila.
“Hai…” sautnya
singkat. Dila begitu cuek dan dingin.
“Kamu tau
kan kita sekelas?” Beni berbasa-basi dengan tololnya.
Dila
tertawa mendengar pertanyaan Beni. “Ben, kita udah 4 semester barang, masa iya aku
ga tau!” sautnya yang membuat suasana sedikit lebih cair.
Beni
tersenyum mendengarnya. “Kamu nunggu siapa sih? Kenapa sering kesini sendirian
terus celingukan ga jelas gitu?” tanya Beni langsung pada intinya.
“Nunggu
cowokku,” jawab Dila yang langsung tersipu malu.
Sial Beni
sudah salah sasaran lagi. Kenapa semua wanita yang berkualitas bagi Beni malah
sudah ada yang punya terus sih! Pikir Beni kesal.
“O-oh… udah
punya cowok. Anak mana?” tanya Beni canggung.
“Gak tau,”
jawab Dila entah ia menyembunyikan identitas pasangannya atau apalah.
Beni
menaikkan sebelah alisnya. Ia seketika teringat pada mantan pacarnya yang
seorang K-poper, atau teman tongkrongannya yang begitu menggandrungi tokoh
anime hingga menyebutnya sebagai waifu dan menganggapnya sebagai
pasangan sungguhan. Beni langsung menganggap Dila juga begitu.
“Cowok kamu
sama kamu tu HBD ya?” tanya Beni sembari menaikkan sebelah kakinya ke kursi.
“Hah? HBD apaan?”
saut Dila bingung.
“Hubungan
Beda Dimensi!”
Dila
tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Beni. “Enggak!” sanggahnya. “Em…gimana
ya bilangnya. Ada cowok yang aku sukai gitu. Waktu masih ospek dulu, waktu kita
masih maba (mahasiswa baru). Aku pengen sama dia, tapi aku ga tau siapa namanya.
Dia jurusan apa? Tapi kalo waktu itu barisannya deket sama aku harusnya kan
sefakultas. Tapi aku ga pernah ketemu…”
“Terus kamu
klaim dia jadi cowokmu, gitu?” tebak Beni menyela.
Dila mengangguk
malu-malu kucing. Sekarang giliran Beni yang tertawa terbahak-bahak
mendengarnya.
“Cowokmu
itu kayak gimana cirinya?” tanya Beni yang sadar ini adalah salah satu kesempatannya
untuk sedikit bersenang-senang dengan Dila.
Dila terdiam
sejenak mencoba mengingatnya. “Aku samar-samar ingetnya. Dia putih, tinggi,
potongannya cepak gitu kayak mau masuk militer. Terus aku liat dia pakek mobil
warna item. Gatau merek apa, antara Honda Jazz, Brio, apa Ayla gitu lupa. Udah itu
doang ingetnya.”
“Itu doang?!”
Beni kaget yang langsung di angguki Dila. “Kok kamu bisa suka?” tanya Beni
heran.
“Ya namanya
juga cinta pada pandangan pertama,” jawab Dila santai lalu mematikan laptopnya
merasa lebih nyaman mengobrol dengan Beni. Toh ini juga kali pertamanya ia
menceritakan soal kisah asmaranya pada orang lain.
“Cinta pada
pandangan pertama ya…” gumam Beni lalu mengangguk-anggukkan kepala.
“Emang kamu
gak pernah?” Dila balik bertanya.
Beni
mengangguk jelas pernah mengalaminya. Apa coba penyebabnya bisa begitu
tergila-gila pada Sofia yang baru sekali ia temui dulu itu kalau bukan cinta
pandangan pertama. Tapi Arman tidak sebodoh ini, setidaknya Arman tau siapa
nama pujaan hatinya dan paling tidak Sofia juga tau jika ada Arman di dunia
ini. Ini berbeda dengan apa yang Dila alami tidak apel to apel, ini
cenderung apel to evercross.
“Nih…” Dila
menunjukkan buku seketnya pada Beni. “Aku coba gambar cowok itu dari ingetanku,
kira-kira kek gini…”
Ide gila
itu langsung muncul di benak Beni. Dila tidak tau siapa cowok yang dia sukai,
dan itu artinya bisa jadi siapa saja di kampus ini selama seangkatan dengannya.
Selain itu Beni juga bisa dengan mudah move on jika ada pasangan. Toh Dila
juga tidak tau kalau itu benar cowok idamannya atau bukan.
Beni
mengambil ponselnya lalu menscroll mencari fotonya saat maba dulu. Mengingat tadi
Dila bilang cowok idamannya berpotongan cepak seperti akan masuk militer. Dulu Beni
kan juga begitu waktu di STM. Ini kesempatan emasnya! Dari pada di tolak dan
terus mundur, toh paling tidak nanti misalnya Dila tidak jadi menyukainya
paling tidak mereka bisa berteman. Lagian Dila juga cantik dan sexy jika di
lihat dari dekat begini. Tak ada kerugian di mata Beni.
“Kok mirip
aku ya?” Beni menunjukkan ponselnya.
Dila
membelalakkan matanya. Beni kembali mengambil ponselnya lalu menunjukkan ia
yang duduk di depan mobil Brio hitam milik Arman bersama beberapa pemimpin
gengnya dan Arman.
“Iya gak
sih?” tanya Beni mendesak.
Dila
menatap Beni dengan pandangan tak percaya. “T-terus mobilmu kemana?” tanya Dila.
Sial belum
apa-apa Beni sudah tersudut. “K-kan aku ngekos di rumah Tanteku, ngapain bawa
mobil?” ini alasan paling rasional yang bisa Beni berikan.
Dengan
gemetar Dila langsung mengemasi barang-barangnya dan berlari meninggalkan Beni
begitu saja. Dila merasa bodoh dan malu di hadapan Beni. Dila terus mencari cowok
idamannya, padahal cowok itu sudah ada di depan matanya selama ini. Dila
merutuki ketidak pekaannya. Pantas ia tak pernah melihat mobil berwarna hitam
itu lagi, pantas juga ia tak pernah meligat cowok itu berpapasan dengannya. Karena
mereka selama ini sudah terus bersama.
Sementara Beni
merasa usahanya berbohong barusan tetap sia-sia dan sama sekali tak membuahkan hasil.
Ia tetap di tolak dan di tinggalkan, ya meskipun Beni sama sekali tak
menyatakan apapun. Tapi cara Dila pergi barusan sudah menjawab semuanya.
***
Beni
mencoba menerima kenyataan jika tak mungkin ia menggunakan cara liciknya. Toh itu
terasa begitu jahat bila sampai Dila percaya. Beni memang tidak dekat dengan
Dila, tapi ia tak mau mengorbankan Dila hanya untuk pelariannya saja. Beni
tidak merasa semurah itu.
Tapi kali
ini ternyata berbeda. Usai kelas Dila tiba-tiba menghampiri Beni lalu
menggenggam tangannya dan mengajaknya keluar, menjauh dari keramaian sejenak. Beni
sudah deg-degan takut jika Dila tau atas kebohongannya. Dimaki atau memaki
orang mungkin sudah biasa bagi Beni tapi ia tak pernah mau dalam posisi itu
karena sudah membohongi Dila. Apalagi ini soal cinta.
“Ben…” panggil Dila gugup lalu memberikan sebuah coklat pada Beni. “Jadi pacarku mau gak? Aku udah nunggu kamu dari lama. Aku cari kamu, aku tau ini memalukan cewek nembak duluan. Tapi aku gak mau kehilangan kesempatan lagi…”
0 comments