“Oke PRnya buat besok, buat cerita soal pekerjaan orang tua kalian ya!” ucap Bu Guru sebelum kelasnya selesai.
Iqbal
mencatatnya di buku tulisnya sebelum memasukkannya kedalam tas. Semua anak-anak
di kelas Iqbal langsung ramai sibuk menceritakan pekerjaan orang tuanya
masing-masing. Ada yang menyombongkan soal ibunya yang bekerja jadi pegawai
bank, ada yang memamerkan ayahnya yang bekerja menjadi tentara, ada juga yang
berbangga karena ayahnya baru di angkat sebagai kepala sekolah, ada yang tak
mau kalah dan mengatakan kalau ayahnya bekerja menjadi dokter.
Semua
dengan bangga menceritakan soal orang tuanya. Tak satupun yang ingin mengalah
dan berbesar hati mengakui jika orang tuanya tidak memiliki pengaruh besar di
dunia kerja. Semua ingin menjadi yang paling hebat dan paling keren.
“Iqbal mau
tulis apa besok?” tanya Ahmad yang duduk di samping Iqbal.
Iqbal
terdiam sejenak. “Belum tau…” jawab Iqbal lalu meringis bingung dan malu jika
harus menceritakan soal ayahnya yang bekerja jadi tukang sapu jalan atau soal
ibunya yang jadi penjual es dawet keliling. “Kalo Ahmad mau tulis apa?” tanya Iqbal.
Ahmad ikut
menggeleng. Ahmad kurang tau apa pekerjaan ayahnya, ayahnya sering pergi keluar
negeri. Ayahnya juga sering dapat penjagaan dan tamu kenegaraan yang penting.
Ahmad kurang mengerti apa pekerjaan ayahnya tapi yang jelas sepertinya
pekerjaannya pasti keren.
“Nanti aku
tanya kerjaan Ayahku apa,” ucap Ahmad lalu berjalan keluar bersama Iqbal.
Sudah ada
supir yang menunggu Ahmad dan langsung membukakan pintu sedan Civic yang menjemputnya
sepulang sekolah. Iqbal hanya melambaikan tangannya pada Ahmad lalu pulang sendiri
ke rumahnya sambil berjalan kaki.
“Wah anak Bapak
udah pulang!” ucap Yetno begitu melihat putra bungsunya pulang dari SDnya.
Iqbal
tersenyum lalu tos bersama ayahnya. “Bapak mau kerja?” tanya Iqbal.
“Iya dong! Kalo
Bapak gak kerja nanti jalan-jalan kotor, banyak sampah. Nanti kotanya jadi
jelek kalo gak ada Bapak,” ucap Yetno yang berusaha terlihat ceria dan bangga
atas pekerjaannya pada anaknya agar tidak minder.
“Bapak kenapa
gak ganti kerja aja?” tanya Iqbal dengan polosnya lalu mulai murung.
Bagai tersambar
petir di siang hari. Ketakutan Yetno akan anak-anaknya yang malu atas
pekerjaannya sekarang terjadi. Yetno cukup bingung menanggapinya kali ini.
“Wah gak
bisa begitu Nak, cari kerja sekarang sulit…”
“Tapi bapaknya
temenku kerjaannya bagus! Kenapa Bapak cuma jadi tukang sapu? Aku malu! Besok aku
harus ceritain kerjaan orang tuaku. Aku malu kalo kerjaan Bapak cuma tukang
sapu!” teriak Iqbal sambil menghentakkan kakinya lalu masuk kerumah sembari
menangis dan membanting pintu di depan wajah bapaknya.
Yetno
termenung, lalu menghela nafas. Senyum pria paru baya itu mulai luntur. Tak satupun
anaknya yang bangga atas dirinya, termasuk si bungsu. Yetno menghela nafasnya lalu
melangkah pergi menuju tempatnya menyapu biasanya.
“Kamu
kenapa?” tanya Rosi pada putranya yang baru pulang sekolah dan langsung ribut
dengan bapaknya sendiri.
“Aku sebal
sama Bapak! Kenapa sih Bapak cuma jadi tukang sapu?! Kenapa Bapak gak jadi tentara
apa pegawai biar kayak bapaknya temen-temenku?!” kesal Iqbal sambil menyeka
airmatanya.
Rosi
menghela nafas dengan berat. “Gak boleh bilang gitu, Bapakmu itu orang jujur. Meskipun
Bapak cuma tukang sapu, tapi Bapak udah kasih kehidupan buat kamu. Gak boleh
bilang jahat kayak gitu, ini kamu susul Bapak. Sekalian minta maaf udah bilang
kayak tadi!”
“Gak mau!”
seru Iqbal menolak perintah ibunya lalu berlari ke kamar dan memilih untuk
mengabaikan perintah orang tuanya.
“Pokoknya
ini harus di anter ke Bapak. Ibu mau keliling!” ucap Rosi tak mau tau juga.
Iqbal hanya
diam. Cukup lama ia diam di kamar sempit yang biasa ia tiduri bersama kakak dan
orang tuanya. Iqbal masih marah dan malu pada pekerjaan bapaknya. Tak ada yang
bisa ia tulis untuk tugas sekolah. Pekerjaan orang tuanya terlalu memalukan
bagi Iqbal yang sudah mulai mengenal gengsi.
Tapi lama
kelamaan rasa bersalah mulai menyelimutinya. Bapaknya memang tidak memiliki
pekerjaan yang keren. Fisiknya juga tidak keren, kakinya pincang jari-jarinya
ada yang buntung. Tapi bapaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik
untuknya.
Iqbal
mengambil tas berisi bekal dan botol minum untuk Bapaknya. Iqbal keluar rumah menyusul
Bapaknya ke alun-alun yang tak begitu jauh dari rumahnya. Iqbal memperhatikan
di kejauhan Bapaknya yang sedang menyapu daun-daun jatuh yang ada di trotoar
bersama beberapa tukang sapu lain yang jaraknya berjauhan dengannya.
“Bapak!”
panggil Iqbal sembari mendekat ke arah bapaknya.
“Wah iya Bapak
lupa gak bawa bekal. Makasih ya udah di bawain!” seru Yetno begitu sumringah
menyambut Iqbal lalu menerima tas berisi bekal dari putranya. “Ini,” Yetno
memberikan selembar uang limaribuan terakhir yang ia miliki untuk Iqbal. “Pakek
buat jajan sana,” ucap Yetno lalu kembali menyapu.
Iqbal
menerima uang dari bapaknya dengan rasa bersalah. Meskipun ia sudah membentak
bapaknya, bapak tetap memberinya uang. Seorang tentara berhenti di sampingnya
memarkirkan motornya lalu berjalan ke warung untuk membeli rokok lalu pergi
begitu saja setelah urusannya kelar.
Iqbal semakin
merasa bersalah. Meskipun pekerjaan bapaknya tidak keren, tanpa seragam dan hanya
menyapu di pinggir jalan. Bapaknya tetap menyayanginya. Meskipun Iqbal sudah
membentaknya dan marah karena malu atas pekerjaannya, meskipun Iqbal lebih
membanggakan pekerjaan sebagai tentara dari pada tukang sapu. Tetap saja tukang
sapu yang ia panggil Bapak ini yang selalu mencurahkan segala kasih sayang
untuknya.
“Kenapa? Kurang?”
tanya Yetno menyadari putranya masih memandanginya yang sedang menyapu.
“A-aku mau
bantuin Bapak…” ucap Iqbal malu-malu.
Yetno
tersenyum lalu memberikan sebuah magnet sebesar gengaman tangannya yang sudah
di tali pada Iqbal.
“Sekali ini
aja ya bantuin Bapak, kamu cari kalo ada paku di jalan pakek ini. Besok jangan
bantuin Bapak lagi. Iqbal belajar aja, biar gak jadi tukang sapu kayak Bapak,”
ucap Yetno.
Iqbal
memeluk Yetno dalam diam lalu menangis menyesal. Yetno tersenyum dan sudah memaafkan
putranya sebelum putra kecilnya itu mengatakannya. Iqbal juga sudah tak mampu
bicara lagi lalu memilih langsung berjalan sambil menyeret magnetnya sembari
menenteng tas bekal untuk bapaknya dan bercerita bersamanya.
***
“Pekerjaan Ayahku
jadi sekertarisnya Bupati, Ayahku sibuk banyak berkas yang harus dibaca. Menurutku
kerjaan Ayahku hebat karena membantu banyak orang,” ucap Ahmad menutup
ceritanya soal pekerjaan ayahnya.
“Iqbal
maju!” panggil Bu Guru.
Semua mata
tertuju pada Iqbal. Sepatunya sudah jebol di bagian depan, kaos kakinya sudah
kendor, baju putih merah khas anak SDnya sudah lusuh. Biasanya Iqbal malu jika
disuruh maju kedepan. Tapi kali ini ia begitu percaya diri dan penuh rasa
bangga maju kedepan kelas.
“Bapakku
punya sapu ajaib!” seru Iqbal memulai ceritanya.
Seisi kelas
langsung diam hening begitu saja. “Gak mungkin!” teriak seorang murid yang
entah dari mana.
“Bapakku
punya sapu ajaib yang di pakai untuk menyapu jalan di kota. Bapakku menyapu
trotoar dari daun-daun kering, sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan paku
yang ada di jalan. Bapakku juga membersihkan selokan yang tersumbat agar jalan
tidak banjir. Sapu ajaib Bapakku membuat kota jadi bersih. Alun-alun jadi
bersih, sampah-sampah juga bisa di olah dengan baik. Daun kering jadi kompos,
sampah plastik di daur ulang. Pekerjaan Bapakku jadi tukang sapu jalanan, menurutku
pekerjaan Bapak keren sekali karena Bapak punya sapu ajaib yang bikin jalan
jadi bersih setiap hari,” Iqbal menceritakan pekerjaan bapaknya dengan lantang dan
penuh rasa bangga lalu kembali duduk ke bangkunya.
“Ya, bagus.
Tapi Ibu gak nyuruh bikin cerita dongeng ya. Tidak ada sapu ajaib. Jangan jadi
tukang bohong!” komentar Bu Guru dengan entengnya menyepelekan cerita Iqbal. “Yang
bohong giginya jadi om…”
“Pong!”
seru teman-teman sekelas lalu menertawakan Iqbal.
Ahmat
meringis menatap Iqbal yang jadi bahan tertawaan. “Menurutku pekerjaan Bapakmu
hebat sekali! Keren sama seperti pekerjaan Ayahku!” ucap Ahmad lalu memberi
sebuah permen pada Iqbal yang diam dan mulai murung karena komentar gurunya
yang menyudutkan hati kecilnya.
“Begitu ya?”
tanya Iqbal yang di angguki Ahmad. Iqbal kembali mengembangkan senyum
sumringahnya yang di penuhi rasa bangga kembali.
0 comments