BLANTERORBITv102

Sapu Ajaib Bapak

Kamis, 15 Juni 2023


 “Oke PRnya buat besok, buat cerita soal pekerjaan orang tua kalian ya!” ucap Bu Guru sebelum kelasnya selesai.

Iqbal mencatatnya di buku tulisnya sebelum memasukkannya kedalam tas. Semua anak-anak di kelas Iqbal langsung ramai sibuk menceritakan pekerjaan orang tuanya masing-masing. Ada yang menyombongkan soal ibunya yang bekerja jadi pegawai bank, ada yang memamerkan ayahnya yang bekerja menjadi tentara, ada juga yang berbangga karena ayahnya baru di angkat sebagai kepala sekolah, ada yang tak mau kalah dan mengatakan kalau ayahnya bekerja menjadi dokter.

Semua dengan bangga menceritakan soal orang tuanya. Tak satupun yang ingin mengalah dan berbesar hati mengakui jika orang tuanya tidak memiliki pengaruh besar di dunia kerja. Semua ingin menjadi yang paling hebat dan paling keren.

“Iqbal mau tulis apa besok?” tanya Ahmad yang duduk di samping Iqbal.

Iqbal terdiam sejenak. “Belum tau…” jawab Iqbal lalu meringis bingung dan malu jika harus menceritakan soal ayahnya yang bekerja jadi tukang sapu jalan atau soal ibunya yang jadi penjual es dawet keliling. “Kalo Ahmad mau tulis apa?” tanya Iqbal.

Ahmad ikut menggeleng. Ahmad kurang tau apa pekerjaan ayahnya, ayahnya sering pergi keluar negeri. Ayahnya juga sering dapat penjagaan dan tamu kenegaraan yang penting. Ahmad kurang mengerti apa pekerjaan ayahnya tapi yang jelas sepertinya pekerjaannya pasti keren.

“Nanti aku tanya kerjaan Ayahku apa,” ucap Ahmad lalu berjalan keluar bersama Iqbal.

Sudah ada supir yang menunggu Ahmad dan langsung membukakan pintu sedan Civic yang menjemputnya sepulang sekolah. Iqbal hanya melambaikan tangannya pada Ahmad lalu pulang sendiri ke rumahnya sambil berjalan kaki.

“Wah anak Bapak udah pulang!” ucap Yetno begitu melihat putra bungsunya pulang dari SDnya.

Iqbal tersenyum lalu tos bersama ayahnya. “Bapak mau kerja?” tanya Iqbal.

“Iya dong! Kalo Bapak gak kerja nanti jalan-jalan kotor, banyak sampah. Nanti kotanya jadi jelek kalo gak ada Bapak,” ucap Yetno yang berusaha terlihat ceria dan bangga atas pekerjaannya pada anaknya agar tidak minder.

“Bapak kenapa gak ganti kerja aja?” tanya Iqbal dengan polosnya lalu mulai murung.

Bagai tersambar petir di siang hari. Ketakutan Yetno akan anak-anaknya yang malu atas pekerjaannya sekarang terjadi. Yetno cukup bingung menanggapinya kali ini.

“Wah gak bisa begitu Nak, cari kerja sekarang sulit…”

“Tapi bapaknya temenku kerjaannya bagus! Kenapa Bapak cuma jadi tukang sapu? Aku malu! Besok aku harus ceritain kerjaan orang tuaku. Aku malu kalo kerjaan Bapak cuma tukang sapu!” teriak Iqbal sambil menghentakkan kakinya lalu masuk kerumah sembari menangis dan membanting pintu di depan wajah bapaknya.

Yetno termenung, lalu menghela nafas. Senyum pria paru baya itu mulai luntur. Tak satupun anaknya yang bangga atas dirinya, termasuk si bungsu. Yetno menghela nafasnya lalu melangkah pergi menuju tempatnya menyapu biasanya.

“Kamu kenapa?” tanya Rosi pada putranya yang baru pulang sekolah dan langsung ribut dengan bapaknya sendiri.

“Aku sebal sama Bapak! Kenapa sih Bapak cuma jadi tukang sapu?! Kenapa Bapak gak jadi tentara apa pegawai biar kayak bapaknya temen-temenku?!” kesal Iqbal sambil menyeka airmatanya.

Rosi menghela nafas dengan berat. “Gak boleh bilang gitu, Bapakmu itu orang jujur. Meskipun Bapak cuma tukang sapu, tapi Bapak udah kasih kehidupan buat kamu. Gak boleh bilang jahat kayak gitu, ini kamu susul Bapak. Sekalian minta maaf udah bilang kayak tadi!”

“Gak mau!” seru Iqbal menolak perintah ibunya lalu berlari ke kamar dan memilih untuk mengabaikan perintah orang tuanya.

“Pokoknya ini harus di anter ke Bapak. Ibu mau keliling!” ucap Rosi tak mau tau juga.

Iqbal hanya diam. Cukup lama ia diam di kamar sempit yang biasa ia tiduri bersama kakak dan orang tuanya. Iqbal masih marah dan malu pada pekerjaan bapaknya. Tak ada yang bisa ia tulis untuk tugas sekolah. Pekerjaan orang tuanya terlalu memalukan bagi Iqbal yang sudah mulai mengenal gengsi.

Tapi lama kelamaan rasa bersalah mulai menyelimutinya. Bapaknya memang tidak memiliki pekerjaan yang keren. Fisiknya juga tidak keren, kakinya pincang jari-jarinya ada yang buntung. Tapi bapaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

Iqbal mengambil tas berisi bekal dan botol minum untuk Bapaknya. Iqbal keluar rumah menyusul Bapaknya ke alun-alun yang tak begitu jauh dari rumahnya. Iqbal memperhatikan di kejauhan Bapaknya yang sedang menyapu daun-daun jatuh yang ada di trotoar bersama beberapa tukang sapu lain yang jaraknya berjauhan dengannya.

“Bapak!” panggil Iqbal sembari mendekat ke arah bapaknya.

“Wah iya Bapak lupa gak bawa bekal. Makasih ya udah di bawain!” seru Yetno begitu sumringah menyambut Iqbal lalu menerima tas berisi bekal dari putranya. “Ini,” Yetno memberikan selembar uang limaribuan terakhir yang ia miliki untuk Iqbal. “Pakek buat jajan sana,” ucap Yetno lalu kembali menyapu.

Iqbal menerima uang dari bapaknya dengan rasa bersalah. Meskipun ia sudah membentak bapaknya, bapak tetap memberinya uang. Seorang tentara berhenti di sampingnya memarkirkan motornya lalu berjalan ke warung untuk membeli rokok lalu pergi begitu saja setelah urusannya kelar.

Iqbal semakin merasa bersalah. Meskipun pekerjaan bapaknya tidak keren, tanpa seragam dan hanya menyapu di pinggir jalan. Bapaknya tetap menyayanginya. Meskipun Iqbal sudah membentaknya dan marah karena malu atas pekerjaannya, meskipun Iqbal lebih membanggakan pekerjaan sebagai tentara dari pada tukang sapu. Tetap saja tukang sapu yang ia panggil Bapak ini yang selalu mencurahkan segala kasih sayang untuknya.

“Kenapa? Kurang?” tanya Yetno menyadari putranya masih memandanginya yang sedang menyapu.

“A-aku mau bantuin Bapak…” ucap Iqbal malu-malu.

Yetno tersenyum lalu memberikan sebuah magnet sebesar gengaman tangannya yang sudah di tali pada Iqbal.

“Sekali ini aja ya bantuin Bapak, kamu cari kalo ada paku di jalan pakek ini. Besok jangan bantuin Bapak lagi. Iqbal belajar aja, biar gak jadi tukang sapu kayak Bapak,” ucap Yetno.

Iqbal memeluk Yetno dalam diam lalu menangis menyesal. Yetno tersenyum dan sudah memaafkan putranya sebelum putra kecilnya itu mengatakannya. Iqbal juga sudah tak mampu bicara lagi lalu memilih langsung berjalan sambil menyeret magnetnya sembari menenteng tas bekal untuk bapaknya dan bercerita bersamanya.

***

“Pekerjaan Ayahku jadi sekertarisnya Bupati, Ayahku sibuk banyak berkas yang harus dibaca. Menurutku kerjaan Ayahku hebat karena membantu banyak orang,” ucap Ahmad menutup ceritanya soal pekerjaan ayahnya.

“Iqbal maju!” panggil Bu Guru.

Semua mata tertuju pada Iqbal. Sepatunya sudah jebol di bagian depan, kaos kakinya sudah kendor, baju putih merah khas anak SDnya sudah lusuh. Biasanya Iqbal malu jika disuruh maju kedepan. Tapi kali ini ia begitu percaya diri dan penuh rasa bangga maju kedepan kelas.

“Bapakku punya sapu ajaib!” seru Iqbal memulai ceritanya.

Seisi kelas langsung diam hening begitu saja. “Gak mungkin!” teriak seorang murid yang entah dari mana.

“Bapakku punya sapu ajaib yang di pakai untuk menyapu jalan di kota. Bapakku menyapu trotoar dari daun-daun kering, sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan paku yang ada di jalan. Bapakku juga membersihkan selokan yang tersumbat agar jalan tidak banjir. Sapu ajaib Bapakku membuat kota jadi bersih. Alun-alun jadi bersih, sampah-sampah juga bisa di olah dengan baik. Daun kering jadi kompos, sampah plastik di daur ulang. Pekerjaan Bapakku jadi tukang sapu jalanan, menurutku pekerjaan Bapak keren sekali karena Bapak punya sapu ajaib yang bikin jalan jadi bersih setiap hari,” Iqbal menceritakan pekerjaan bapaknya dengan lantang dan penuh rasa bangga lalu kembali duduk ke bangkunya.

“Ya, bagus. Tapi Ibu gak nyuruh bikin cerita dongeng ya. Tidak ada sapu ajaib. Jangan jadi tukang bohong!” komentar Bu Guru dengan entengnya menyepelekan cerita Iqbal. “Yang bohong giginya jadi om…”

“Pong!” seru teman-teman sekelas lalu menertawakan Iqbal.

Ahmat meringis menatap Iqbal yang jadi bahan tertawaan. “Menurutku pekerjaan Bapakmu hebat sekali! Keren sama seperti pekerjaan Ayahku!” ucap Ahmad lalu memberi sebuah permen pada Iqbal yang diam dan mulai murung karena komentar gurunya yang menyudutkan hati kecilnya.

“Begitu ya?” tanya Iqbal yang di angguki Ahmad. Iqbal kembali mengembangkan senyum sumringahnya yang di penuhi rasa bangga kembali.




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.