Chapter 30
Andin
hanya diam selama di mobil. Nasehat ayahnya terus terngiang
di telinganya. Memang bila di pikir lagi Bimo
hanya ingin membahagiakannya. Niatnya bagus hanya saja Andin merasa itu terlalu mahal. Meskipun tas barunya itu jika
di banding tas koleksi mertuanya dan iparnya jelas tidak ada apa-apanya.
"Maaf ya Mas... " ucap Andin
pada suaminya di tengah perjalanan ke dokter.
Bimo hanya mengangguk dan masih
mendiamkan istrinya.
"Aku gak tau Mas bakal beliin tas mahal banget
gini buat aku. Kan tau gitu aku bisa pilih warnanya... " ucap Andin sambil mengelus perutnya.
Bimo masih diam dan fokus menyetir.
Sementara istrinya bingung mencari bahan pembicaraan agar suaminya tidak
ngambek.
"Mas, nanti pulang jajan
yuk... " ajak Andin.
"Pengen jajan apa? "
tanya Bimo yang akhirnya buka suara.
"Itu loh mas, yang waktu kita
kencan dulu. Aku pengen makan di situ... " jawab Andin semangat yang di angguki Bimo.
"Kamu kaloku bolehin jualan
mau jualan apa? " tanya Bimo.
"Aku pengen jualan apa ya?
Mungkin jadi reseller barang-barang
di web online shop itu. Atau jual
tanda tanganmu... " jawab Andin
lalu tertawa bersama suaminya.
"Wah kamu malah
mengkomersialkan suamimu gimana sih... " ucap Bimo lalu mengelus perut Andin. "Jangan kayak mommymu
nakal dia mau untung banyak... " sambung Bimo lalu tertawa terbahak-bahak.
●●●
Usai
cek up
dan memastikan bayinya sehat dan baik-baik saja. Andin dan Bimo pergi ke mall. Tujuan awal memang hanya kencan
lagi. Makan mie pangsit dan otak-otak, tapi akhirnya malah membeli beberapa
peralatan untuk bayinya baru beli makan. Itupun di bungkus karena Andin sudah mulai sakit pinggang.
"Besok sisanya Mas sama Mama aja yang beli gapapa... " ucap Andin sambil menyamankan posisi duduknya.
"Ini taruh di apartemen dulu
ya? " tanya Bimo.
"Mas bilang Ayah dulu kabarin Ayah biar gak nunggu... Tanyain Putri dah bobo belum... " jawab
Andin.
Bimo langsung menelpon mertuanya
dan langsung to the poin saat
mengabari. "Ayah, aku sama Andin
mau kencan agak lama... " ucap Bimo.
"Oh iya Yah, Putri
dah tidur belum ?" tanya Bimo.
Nyatanya sepanjang perjalanan Bimo dan Andin malah asik menelfon dengan pak Trisno dari pada
mengobrol berdua. Usai menelfon mertuanya Bimo juga menerima telfon dari mamanya yang kangen Andin jadilah perjalanan ke
apartemen di isi dengan obrolan jarak jauh dengan para orang tua.
"Besok ya Ma, bantuin belanja kebutuhan
anakku! " ucap Bimo
semangat.
"Iya siap! " jawab bu Alin semangat.
"Ma, Silvia gimana? "
tanya Andin lembut.
"Tadi bilangnya mau keluar
sih... Ini gak di rumah... " jawab bu Alin. "Maaf in Silvia ya... " sambung bu Alin.
"Gapapa Ma..." jawab Andin lembut.
"Istriku baik, Mama gak usah khawatir... "
ucap Bimo
menimpali. "Udah ya Ma
dah sampe nih... " ucap Bimo
lalu mematikan ponselnya.
Andin hanya membantu membawa
barang-barang yang ringan sementara sisanya di bawa Bimo dan di bantu satpam. Kali ini Andin yang membukakan pintu karena semuanya membawa barang
berat kecuali dirinya. Tapi begitu ia membuka pintu apartemennya, lampunya
sudah menyala. Barang-barang sudah berserakan di mana-mana bajunya
terkoyak-koyak. Semua kacau dan berantakan hingga...
JLEB!
Sebuah hujaman pisau mengenai perutnya.
"Mati kamu! Makannya kalo di
suruh pisah ya pisah! " maki Silvia lalu menarik pisaunya hendak
menghujamkannya lagi pada Andin
yang tersungkur.
Dengan cepat Bimo menggenggam pisau itu dan melemparkannya jauh-jauh
meskipun akhirnya tetap melukai telapak tangannya.
Silvia hanya diam lalu mundur
beberapa langkah setelah mengetahui apa yang ia lakukan sudah melukai kakaknya.
Satu-satunya orang yang selalu ada untuknya dan melindunginya.
"Udah puas? Aku sama Andin gak bakal pisah. Itu
kemauanku... " ucap Bimo
lalu menggendong istrinya dan melarikannya ke rumah sakit dengan perasaan cemas
dan sangat khawatir. Sementara Silvia di amankan oleh satpam.
Kalau biasanya Bimo hanya khawatir pada istrinya
saja. Kali ini ada dua nyawa yang terancam. Ada bayi kecilnya yang kemungkinan
juga tertusuk di dalam sana.
●●●
Entah
berapa lama Bimo
menunggu Andin di
depan ruang operasi dengan lukanya yang menganga. Dan baru di obati begitu ada
perawat yang memiliki inisiatif untuk mengobatinya dan menjahit luka di telapak
tangannya.
Tak selang lama pak Trisno datang
setelah menitipkan Putri ke
tetangganya. Tak ada hawa-hawa
kedatangan orang tua Bimo. Hingga
ada telfon dari pak Hendro yang mengabari baru mengetahui bila Silvia nekat
menyerang Andin.
Suara bayi terdengar begitu
nyaring. Tak lama suster membawanya keluar dan meminta Bimo mengadzaninya. Bimo
begitu terharu tapi ia tetap lebih mementingkan istrinya dari pada mengadzani
bayi kecilnya.
"Ibunya sehat Pak, tapi masih belum sadar...
Lukanya cukup dalam tapi Alhamdulillah
belum ngenain bayinya... " jelas suster sekilas. "Nanti biar
dokternya saja pak yang jelasin biar lebih detail... " sambung suster.
Bimo hanya mengangguk lalu
menggendong bayi laki-laki nya dengan tangan bergetar dan suaranya yang terdengar
tengah menahan tangis harunya.
Tak selang lama Andin di pindahkan ke ICU. Wajahnya
pucat dengan ekspresi tidurnya yang begitu tenang saat di pindah ke ruang lain.
Pak Trisno ikut masuk ke ICU sementara Bimo
menunggu di luar untuk menemui orang tuanya yang datang bersama Silvia.
"Kamu mending bunuh aku dari
pada bunuh Andin. Andin
bikin salah apa ke kamu? " ucap Bimo
dingin lalu masuk ke kamar bayinya.
Bu alin hanya menangis frustasi
melihat anak-anaknya yang tidak akur. Apa lagi kali ini ia benar-benar harus
membawa Silvia ke psikiater mengingat
apa yang sudah ia lakukan begitu fatal.
●●●
Dua
hari berlalu dan Andin
tak kunjung membuka mata. Hanya bergumam memanggil ibunya saja sesekali lalu
tersenyum dan kembali tenang dalam tidurnya. Orang tua Bimo ikut cemas dengan kondisi Andin dan Bimo
yang makin memprihatinkan. Tak ada yang bisa istirahat dan makan dengan nyaman
saat tau andin masih belum sadar.
Bimo bahkan berkali-kali menegaskan
ia akan bunuh diri kalau sampai Andin
mati. Bimo juga selalu memegang erat tangan Andin atau memijit kakinya berharap
Andin segera bangun.
"Sayang aku gak suka liat kamu
tidur sekarang... Aku pengen liat kamu bangun terus marahin aku... Apa aku
perlu beli barang mahal lagi biar kamu bangun terus marahin aku? " ucap Bimo di samping Andin lalu mengecup pipinya lembut.
"Apa kamu gak pengen liat anak kita? " tanya Bimo.
Andin tak bergeming dan Bimo masih di sampingnya meskipun
sesekali meninggalkannya untuk solat dan mengecek bayinya. Bimo merasa sangat
kacau dan penuh dengan kekosongan. Sampai akhirnya jemari Andin mulai bergerak, lalu tangannya mulai mengelus perutnya
perlahan dan membuka matanya yang begitu berat.
"Andin... Alhamdulillah... " ucap Bimo lalu menangis tersedu-sedu penuh
haru mendapati istrinya yang kembali sadar.
"Mas... Bayiku mana? "
tanya Andin sambil
meraba perutnya dan mendapati bekas luka jahitan.
"Ada, bayinya cowok.
Sehat... Bentar ya... " ucap Bimo
semangat lalu buru-buru keluar dengan sumringah memberitahu mertuanya dan
membawa bayinya masuk ke ICU meskipun suster melarangnya.
Bimo langsung memberikan bayi
laki-lakinya pada Andin yang langsung menangis haru sambil mendekap bayi
mungilnya.
"Kamu jangan tidur lama-lama
lagi ya... " ucap Bimo setelah
Andin tenang
dan mulai memberikan ASI-nya untuk
pertama kali pada bayinya.
Andin hanya mengangguk sambil
tersenyum sumringah memandangi bayinya.
"Ayah, tadi aku ketemu ibu...
" ucap Andin pelan.
●●●
Andin
mulai di pindahkan ke ruang inapnya. Andin juga selalu di
temani ayahnya. Sementara Bimo
kerap keluar untuk persiapan akikah putra pertamanya dan kamar untuknya. Bimo
juga memilih untuk menjual apartemennya dan membeli rumah dekat rumah ayah
mertuanya.
Bimo ingin istri dan anak-anaknya tinggal dengan nyaman dan bahagia seperti saat ini. Bimo ingin memastikan keluarga kecilnya aman. Sepulang dari rumah sakit Bimo kembali mengadakan syukuran atas kepulangan dan kesehatan istrinya juga rumah barunya.