Bab 12 – Rumah Disita
Beberapa
hari berlalu Stela masih sedikit merasa kesepian setelah David berangkat
bersama Anca. Stela belum sempat bertemu Anca, ia hanya diam di kamar
bersembunyi disana sendirian. David juga seolah kembali pada sikapnya semula
dan pergi tanpa memeluk atau berpamitan pada Stela. Bahkan David juga tak
bicara apapun lagi pada Stela.
Stela rajin
merapikan kamar berjaga-jaga jika tiba-tiba David pulang seperti sebelumnya,
mengganti seprei tempat tidur dan membawa pakaian kotor ke belakang untuk di
cuci. Indah terlihat asik menelfon saudara-saudaranya secara bergantian setelah
selesai membereskan rumahnya. Namun saat ia menelfon sambil berjalan keluar
tiba-tiba Indah melihat ada beberapa orang dari pihak bank yang datang ke rumah
Stela.
“Stela!
Stela sini cepetan!” teriak Indah begitu panik melihat orang-orang yang
mendatangi rumah Stela.
Stela yang
baru selesai menjemur langsung berlari ke arah suara Indah.
“Rumahmu di
segel!” pekik Indah panik.
“Astaghfirullah!”
seru Stela tak kalah panik lalu langsung berlari menghampiri orang-orang yang
menyita rumahnya di ikuti Indah di belakangnya. “Pak, ada apa? Kenapa disita?”
tanya Stela dengan suara bergetar.
Beberapa
tetangga mulai bermunculan, beberapa menghentikan laju kendaraannya juga untuk
melihat Stela dan rumah keluarganya yang tiba-tiba di segel.
“S-saya
masih t-tinggal disini, tolong jangan disita Pak…” ucap Stela yang langsung
berlutut memohon dengan airmata yang sudah tak bisa ia tahan lagi.
Petugas
bank dan beberapa preman yang melihat Stela memohon langsung bertukar pandang
dengan bingung. Tak ada keterangan jika rumah masih di tinggali sebelumnya.
Dalam surat-surat penyerta lainnya juga tak disampaikan jika ada pewaris lain
selain Romi atas rumah tersebut.
“Mbak,
maaf…” ucap petugas bank yang sebelumnya bertemu Stela.
“Pak…tolong
lah kasih saya waktu,” ucap Stela memohon.
“Berapa
hutangnya?” tanya Indah dengan suara tegas pada pegawai bank yang ada disana.
“Pak Romi
mengajukan pinjaman bulan lalu, sudah jatuh minggu depan. Sampai sekarang Pak
Romi tidak bisa dihubungi. Kami tidak bisa berbuat banyak, kami hanya bisa
memberi waktu seminggu jika ingin mengosongkan rumah,” ucap salah satu pegawai
bank sambil menunjukkan surat perintah yang berisi tagihan atas hutang Romi
beberapa minggu lalu.
Indah cukup
kaget dengan jumlah nominal pinjaman yang di ajukan Romi. Kagetnya lagi saat
melihat Stela langsung lemas dan pingsan saat tau jumlah nominal pinjaman
dengan jaminan rumah Abahnya itu jelas angka yang tak mungkin bisa ia ganti
dalam satu minggu. Para tetangga yang sebelumnya hanya melihat dan
memperhatikan di kejauhan langsung mendekat untuk membantu Stela yang pingsan.
Semua orang
kaget dengan keputusan Romi yang secara tidak langsung menjual rumahnya pada
pihak bank tanpa mempedulikan Stela. Kagetnya lagi Romi yang selalu
dibangga-banggakan oleh Ahmad sebelumnya sekarang tiba-tiba menghilang begitu
saja. Nomor telfon, sampai ke sosmednya tidak aktif lagi.
Kebanggaan
Ahmad yang menyekolahkan anaknya keluar negeri langsung pupus setelah kematiannya.
Putranya yang ia bangga-banggakan menjual semua asetnya, bahkan sekarang kabur
bagai penipu. Para tetangga yang sebelumnya mendambakan Romi dan berharap bisa
menjodohkan putri mereka sekarang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat
betapa kejamnya Romi.
Semua orang
tau betapa bangganya Ahmad pada Romi, semua orang tau betapa banyak pengorbanan
Ahmad untuk Romi. Mulai dari memberikan semua uang pensiunnya sampai menjual
hasil panenan kebun dan sawah hanya untuk Romi. Semua orang juga tau jika Stela
tak jadi kuliah karena Ahmad sudah kehabisan uang untuk memodali kuliah Romi di
Kairo.
Masih
teringat dengan jelas seolah kejadian itu baru terjadi semalam saat Ahmad
mengatakan jika nanti Romi akan pulang dan mengurus keluarganya dengan baik.
Ahmad begitu yakin akan kesuksesan Romi yang akan mengangkat derajat
keluarganya, menyekolahkan Stela dan memberikan kehidupan layak pada gadis itu.
Semua orang juga ingat betapa bangganya Ahmad ketika pertama kalinya setelah
sekian lama Romi mengirimkan uang sebesar 200$ pada Ahmad untuk berobat.
Semua
menatap iba pada Stela yang benar-benar di tinggalkan semua orang dalam
keluarganya sendirian. Bahkan Romi yang belajar agama sampai kemesirpun ikut
meninggalkannya juga. Tidak hanya pergi namun juga menjual aset-aset keluarganya
tanpa peduli pada Stela.
“Stela ini
gak punya ATM, selama ini aku cuma liat didompetnya adanya KTP sama kartu
pelajar dari pondoknya dulu aja,” ucap Indah sambil mengelus-elus kepala Stela.
Bu RT ikut
mengangguk. “Iya, kemarin juga waktu Romi ngirim uang masih pakek wesel[1]. Kasihan
Stela…” imbuh yang lain.
“Dah aku
mau balik dulu mau cari kardus buat bantuin Stela kalo mau pindahin barang,”
ucap ibu-ibu pemilik toko kelontong dekat rumah Stela yang ingin segera
membantu semampunya.
***
Badan Anca
panas dingin selama hampir 3 hari setelah ia menyuntikkan hormon ketubuhnya.
Sebelumnya ia sudah sering mencobanya dengan meminum pil KB. Tubuhnya tidak
bereaksi seekstrim ini. Bahkan Anca sempat merasa percaya diri dan semakin
yakin karena kelenjar susunya mulai tumbuh bahkan putingnya juga mulai meninjol
karenanya.
Hasan
menemaninya meskipun tidak bisa 24 jam bersamanya karena Hasan harus bekerja
dan meyakinkan orang tuanya jika ia tak perlu ikut kencan buta atau di carikan
kenalan. Anca coba bersabar dan meyakini jika apa yang ia jalani sekarang demi
cintanya, demi kehidupan yang lebih baik lagi. Kehidupan bersama Hasan yang
dapat di sahkan jika ia berubah menjadi wanita seutuhnya.
“Kenapa
kita gak pindah ke Jerman aja sih? Kalo gak ke Thailand juga bisa, badanku
sakit banget tau gak suntik hormon terus. Sakit, dah kayak mau mati. Demam
tinggi, pusing, semua sendiku ngilu,” keluh Anca pada Hasan.
“Kamu kan
udah bilang kalo pengen jadi wanita seutuhnya biar bisa sama aku, biar kita
bisa sama-sama. Kamu udah ngejalanin sampe sejauh ini, sayang kalo kita
berhenti. Tanggung,” ucap Hasan menyemangati Anca.
Anca
terdiam sejenak lalu pasrah saja saat Hasan memeluknya dan mengelus punggung
juga bahunya. Anca benci prosesnya menuju kesempurnaan diri sebagai wanita.
Terlalu mahal dan menyakitkan. Suntik hormon, minum pil KB secara rutin di
waktu yang sama, biaya mahal yang harus ia keluarkan. Namun Anca begitu
mencintai Hasan, pria yang sudah membersamainya sejak lulus kuliah hingga
sekarang. Meskipun Hasan bukan cinta pertamanya, tapi saat bersama Hasan Anca
merasa Hasan adalah cinta sejatinya.
“Sabar, di
tahan dulu. Sebentar lagi kamu bisa jadi perempuan seperti impianmu. Kamu
cantik waktu dandan, tinggal panjangin rambutmu kamu udah sempurna setelah itu,”
ucap Hasan menyemangati Anca.
Anca
mengangguk. Anca yakin pada pilihannya untuk menjadi wanita seutuhnya. Namun
beberapa saat kemudian ia mulai terpikir, apakah benar ini jalan yang ia mau?
Apakah benar ini yang ia inginkan? Untuk menjadi wanita seutuhnya tidak cukup
hanya dengan rambut panjang saja. Ia masih harus ruting mengkonsumsi banyak
obat dan pil-pil yang menyakiti tubuhnya, belum lagi suntikan-suntikan hormon
secara rutin.
Tak
berhenti hanya di situ masih ada meja oprasi yang menantinya untuk memasang
implan dan memotong penisnya. Bahkan semua itu tidak terdengar mudah dan indah
meskipun hanya di ceritakan. Bahkan setelahnya pun juga Anca tetap bukan wanita
seutuhnya. Ia tetap tidak bisa menstruasi apalagi hamil meskipun ia sudah
melalui sekian banyak kesakitan nantinya.
“Kita bakal
terus sama-sama,” bisik Hasan sambil mengecup kening Anca.
“Besok kamu
jadi ketemu sama sepupumu?” tanya Anca dengan suaranya yang begitu lemah.
Hasan
terdiam mencoba mencari alasan agar Anca tidak kepikiran pada pertemuan
keluarganya. “Jadi ya jadi, kan masih keluarga…”
“Kamu tu
keturunan Arab…”
Hasan
tersenyum lalu melumat bibir Anca. “Berapa banyak pertemuan keluarga yang udah
aku datangi? Berapa kali keluargaku nyoba jodohin aku? Aku tetap stay sama
kamu disini, aku tetep pengennya dipuasin sama kamu,” ucap Hasan sambil
tersenyum lembut meyakinkan Anca. “Jangan khawatir, ini akan sama seperti
pertemuan yang sebelumnya juga,” lanjut Hasan lalu kembali melumat bibir Anca
dengan lembut dan di sambut dengan lumatan yang membangun gairah dari Anca. [Next]