Romi
langsung kembali ke Mesir setelah pengajian 3 harian. Bahkan Romi tak menunggu
sampai 7 hari berselang sama sekali. Ia juga hanya berbasa-basi sebentar dengan
mertua dari adiknya yang sudah mendanai pengajian dengan begitu baik. Stela
juga sudah tak menahannya lagi dan membiarkan Romi pergi begitu saja, bahkan ia
juga tak ikut mengantar ke bandara.
Stela masih
bergelut dengan perasaannya. Masih berkabung dan sedih karena Abah yang selama
ini ia jaga dan rawat akhirnya pergi dan dikecewakan oleh kakaknya yang tak mau
pulang ke tanah air lagi. Stela juga masih merasa sangat canggung pada keluarga
suaminya, meskipun ia pernah merawat ibu mertuanya sebelumnya dulu.
“Loh kok
gak ada?!” ucap Stela kaget melihat berkas-berkas penting seperti sertifikat
dan surat tanah tiba-tiba tidak ada di lemari Abahnya lagi.
Stela
langsung menggeledahi rumahnya, mencari surat-surat berharga itu ke semua
tempat dengan perasaan panik. Sebelumnya ia memang senang menerima perhiasan
mendiang ibunya yang di berikan Romi kemarin. Tapi kebahagiaannya seketika
hilang saat tau Romi ternyata membawa semua surat-surat berharga. Bahkan BPKB
dan STNK mobil bak yang biasa di gunakan Abahnya untuk jualan hasil panen juga
tidak ada.
“Abang!
Abang kenapa bawa semua surat-surat?” tanya Stela begitu Romi mengangkat
telfonnya.
“Mohon maaf
Pak, sebentar lagi pesawat lepas landas. Dimohon untuk tidak bertelefon…” ucap
pramugari mengingatkan Romi.
Romi
langsung mematikan telfonnya tanpa menjawab apapun pertanyaan Stela.
Stela
langsung menangis sambil terus menerus mencoba menghubungi Abangnya
berulang-ulang kali. Stela begitu kesal, marah dan frustasi. Pikirannya
langsung kalut dan penuh emosi, terlebih sebelumnya Romi sudah mengatakan
terkait pekerjaan di dalam dan luar negeri. Sekuat apapun Stela berusaha untuk
berkhusnudzon[1],
ia tetap su’udzon[2]
karena Abangnya jelas tak akan kembali lagi ke Indonesia.
Stela
menumpahkan segala kesedihannya yang merasa begitu kecewa dan tersakiti dengan
keputusan Abangnya yang tiba-tiba jadi serakah. Memang Abangnya pernah membantu
pengobatan Abah. Tapi dengan pengorbanan Abah dan Stela selama ini rasanya
sangat tak sebanding dengan uang 200$ yang di kirimkan Romi beberapa hari
sebelum kematian Ahmad.
“Abah,
Abang jahat! Abang gak peduli kita…” tangis Stela mengadu pada kamar Abahnya
yang sepi itu.
***
“Rencananya
aku mau pura-pura kencan sama Kinan Mi, biar di liput infotaimen, biar namaku
ikut naik,” ucap David menjelaskan rencana gimmiknya nanti bersama Kinan.
“Harus
banget kayak gitu?” tanya Aryo setelah sarapan dan bersiap berangkat ke
pabriknya.
David
terdiam, karena memang hal ini tidak harus ia lakukan. Namun apa salahnya
saling pansos[3]
toh ini hal wajar dan lumrah di dunia entertaimen. Semua orang pasti melakukan
hal yang sama jika ingin terkenal dan karirnya langgeng.
“Papi
berangkat dulu,” ucap Aryo lalu menyalimi David dan mengecup kening istrinya
sebelum berangkat.
“Hati-hati
ya Pi…” ucap Indah lembut mengantar suaminya sampai depan.
“Boleh ya
Mi…” pinta David kembali mengajak ke pembahasannya semula.
Indah
menghela nafas dengan begitu berat. “Kamu udah jelasin ke istrimu?” tanya Indah
yang membuat David diam dan sejenak berhenti merengek. “Bayangin deh kalo kamu
di posisi Stela, gak punya keluarga lagi terus punya suami malah mau bikin
gimik mesra-mesraan sama cewek lain,” ucap Indah.
“Ya bagus
lah, kan nikah juga bukan karena cinta. Aku gak cinta sama sekali sama Stela.
Kalo aku jadi Stela, aku bakal minta cerai sekalian!” ucap David begitu
sombong.
“Astaghfirullah
hal adzim! David!” jerit Indah begitu kesal dengan ucapan putra bungsunya itu.
“Mami gak setuju kalo gitu sama keputusanmu buat main series itu! Lagian
honormu juga gak jauh lebih besar daripada bunga bank punya Mami!” ucap Indah
tak kalah sombong dari David.
“Kok Mami
gitu sih! Jahat banget ngomongnya!” David tak terima dengan ucapan Maminya.
“Kamu pikir
kamu bilang kayak tadi itu gak jahat hah?!” bentak Indah.
David
mengepalkan tangannya begitu kesal pada kedua orang tuanya yang jadi
menyebalkan sejak ia mau menuruti permintaan mereka untuk menikah dengan Stela.
“Kamu coba
dulu lah Mas buat mulai hubungan sama Stela, ajak kencan, dinner, ke
kafe, nginep-nginep gitu. Jangan lah kayak gini terus, Stela itu udah gak punya
siapa-siapa lagi selain kamu. Selain kita. Abangnya aja juga langsung balik ke
Kairo. Apa kamu gak kasian?” bujuk Indah dengan lembut berharap akan dapat
meluluhkan hati David.
“Mi,
kesepakatan kita dulu gak kayak gitu loh. Mami kok jadi kayak gini maunya apa
sih?!” kesal David.
“Mami mau
cucu. Kemarin-kemarin kan sempet bilang. Tapi kamu bilang Stela masih
berkabung, kalian belum deket,” Indah langsung berterus terang.
“Cucu?!
Cuma cucu kan?! Oke bakal David turutin. Tapi habis itu jangan ngehalangin
karir David lagi!” bentak David lalu masuk ke kamarnya untuk mengambil tas dan
skripnya sebelum pergi dari rumahnya untuk menenangkan diri di kantor agensinya
sembari mengalihkan emosinya pada naskah yang harus ia hafal dan hayati.
Indah
mengusap wajahnya dengan sedih. David memang lebih sulit di atur daripada Adit.
Tapi Indah tak menyangka pilihannya pada Stela akan membuat David semarah ini.
“Mami
jangan sakit, aku takut kalo Mami sakit!” ucap David saat pulang sekolah dan
melihat Maminya yang terbaring di kamar karena terserang flu dan magh yang
kambuh di saat bersamaan. “David bakal nemenin Mami terus,” ucap David yang
langsung memeluk Indah dengan airmata yang berlinangan begitu takut kehilangan
Maminya.
“Adek,
nanti kalo udah besar harus pinter cari uang,” ucap Indah sambil mendekap David
yang menangis karena ia sakit.
“Gak! Aku
mau nemenin Mami terus aja!” tolak David yang masih kelas 6 SD waktu itu.
“Eh! Ya
jangan! Adek kan cowok, harus pinter, harus bisa cari banyak uang. Nanti Mami
yang jagain istrinya adek, kalo gak Mami di panti jompo aja gapapa,” ucap Indah
yang sudah membayangkan jika putra-putranya punya istri nantinya.
“Mami aja
yang pilihin istri, aku takut pilih sendiri. Nanti dia cuma sayang aku tapi gak
sayang Mami gimana…” ucap David kecil yang saat itu baru melihat Mbah Darmi
tetangganya yang di pindah ke panti jompo karena anak-anaknya tak mau
merawatnya.
“Ya Mami
kan bisa ke panti jompo,” ucap Indah santai sambil memeluk David.
“Gak! Aku
mau sama Mami! Istriku nanti juga harus sayang Mami!” David berkeras.
Indah
mendongakkan kepalanya, lalu tersenyum teringat betapa manisnya putra bungsunya
dulu. David yang sedari kecil selalu mendahulukan dan mementingkannya lebih
dari apapun.
“Anakku udah besar, udah lupa sama omongannya dulu…” gumam Indah lalu merapikan peralatan makan usai sarapan tadi. [Next]
0 comments