Bab 08 – Sweet Home
Mark mulai jarang
mengambil lembur di kantor terlebih karena pengembangan aplikasi yang ia
kerjakan bersama jajaran tim dan stafnya sudah berjalan dengan baik. Mark juga
mulai memperbaiki aplikasi yang ia buat dulu juga tiap malam. Kadang Lilia
membantu dan memberi masukan juga tiap kali Mark terlihat sudah suntuk di depan
komputernya.
“Mark…” sambut
Lilia yang sedang duduk di samping kompor menunggu masakannya matang.
“Apa ada orang
yang datang kemari?” tanya Mark lalu memeluk dan mencium kening Lilia.
Lilia menggeleng
lalu kembali menyelesaikan masakannya. Lilia memindahkan masakannya ke atas
piring. Lalu dengan tangan yang gemetar dan menahan panas Lilia pelan-pelan
berjalan menuju ke meja makan sampai kakinya tiba-tiba terasa begitu nyeri dan
membuatnya kehilangan keseimbangan.
“Aw! Shh…” desir
Lilia lalu berusaha bangun sambil memunguti beberapa pecahan beling dari piring
sajinya.
“Stop! Jangan biar
aku saja!” larang Mark lalu membantu Lilia bangun dan langsung mengambil alih
pekerjaannya.
“Maaf! Maaf Mark
aku tidak sengaja…” ucap Lia sambil memejamkan mata dan tertunduk ketakutan
bersiap mendapatkan hukuman dari Mark.
Mark bangun lalu
mengelus kepala Lilia. “Tidak apa-apa,” ucap Mark lembut lalu meraih tangan
Lilia. “Tidak ada yang luka, kakimu masih sakit?” tanya Mark perhatian yang
langsung di angguki Lilia. “Nanti akan ku obati, kita pesan makanan saja,” ucap
Mark lalu memapah Lilia ke ruang tengah.
Lilia mengangguk
lalu duduk sambil menatap Mark yang makin hari makin baik padanya. Perasaannya
memang jadi lebih baik, namun saat ia melihat kakinya yang sakit dan terus
memburuk perasaannya juga ikut memburuk. Bahkan Mark tetap tak mau membawanya
ke dokter atau pengobatan lainnya yang membuatnya merasa sedih kembali.
“Mark, kurasa
kakiku semakin memburuk. Aku mulai tidak bisa merasakan jari-jari dan telapak
kakiku. Aku takut ini akan semakin parah,” ucap Lilia lembut memohon agar Mark
mau membawanya minimal berobat.
Mark diam ia tak
mau Lilia pergi darinya dengan dalih apapun. Mark juga masih menaruh rasa
curiga begitu mendalam pada Lilia bila ia sedikit saja mengendurkan
penjagaannya.
“Kenapa kamu tidak
pernah merasa puas? Aku mengabulkan keinginanmu untuk jadi milikku, aku
mengabulkan keinginanmu untuk tinggal bersamaku, kenapa masih saja kurang?”
tanya Mark dengan pandangan yang begitu menakutkan dan tidak mengenakkan.
“T-tap-tapi ini…
aku janji jika ini permintaan terakhirku,” lirih Lilia memohon pada Mark.
Mark mencengkram
lengan Lilia lalu menyeretnya ke bawah secara paksa. Mark mengabaikan tangisan
Lilia yang memohon ampun dan meminta agar tidak tinggal di bawah lagi. Mark
kembali merantai kaki Lilia, kali ini ia juga mengikat tangannya.
“Kamu tidak bisa
bersyukur Lilia, kamu terlalu banyak menuntut…” gumam Mark sambil berjalan
keluar meninggalkan Lilia di gudang.
“Mark… ampun, aku
menyesal. Tolong jangan tinggalkan aku disini!” jerit Lilia memohon ampun namun
tak mendapat tanggapan dari Mark.
***
Semalam dua malam
berlalu, Mark sama sekali tak menemui Lilia lagi. Bila sebelumnya Mark masih
menemui Lilia untuk sekedar memberikan makanan dan minuman, kali ini sama
sekali tidak. Bahkan rasanya siksaan kali ini terasa dua kali lipat lebih parah
daripada sebelumnya.
Bagaimana tidak,
sebelumnya hanya kakinya saja yang di ikat. Sekarang tangannya juga. Memang ia
masih mengenakan pakaian lengkap. Tapi Mark sama sekali tak memberinya makanan,
bahkan seteguk airpun tidak. Lilia hanya berharap ini segera berakhir. Entah ia
segera mati atau Mark yang segera mengampuninya.
“Untuk apa membawa
itu semua?” tanya Emily teman kencan Mark yang membantunya packing dan
merapikan semua barang-barang dari kosan milik Lilia ke rumah Mark.
“Ah iya, ini milik
adikku. Aku ingin dia pulang, kami sempat cekcok… ku harap cara ini berhasil,”
ucap Mark.
“Oh ya? Ada
masalah apa sebelumnya?” tanya Emily penasaran pada kehidupan Mark.
Mark tersenyum
lalu menggeleng pelan. “Kamu tidak akan suka mendengar masalah keluargaku,
tidak menarik,” jawab Mark malu-malu lalu mempersilahkan Emily masuk ke rumahnya.
Emily menghela
nafas sambil menatap Mark lembut. Emily yang memiliki jarak usia cukup jauh
dengan Mark itu makin cinta dan makin terpesona pada Mark. Apalagi setelah
banyaknya pilihan teman kencan yang ada, Mark yang masih muda dan begitu
rupawan ini malah memilihnya yang sudah berumur setengah abad.
“Semua orang
memiliki masalah hidup Mark, menceritakannya pada orang lain mungkin tidak akan
menyelesaikan masalahmu. Tapi itu akan membuatmu sedikit lebih lega,” ucap
Emily lembut sambil berjalan masuk dan mengelus punggung Mark.
Mark terdiam lalu
meletakkan barang-barangnya di dekat tangga. “Sebenarnya ini sepele, hanya
karena rumah sakit menolak ibuku waktu itu…” Mark sengaja menggantung ceritanya
lalu tersenyum dan merangkul pinggang Emily sambil menggiringnya ke ruang tamu.
“Sakit apa? Rumah
sakit mana? Mungkin aku bisa membantumu,” ucap Emily begitu menaruh simpati
pada pria muda yang sedang ia kencani ini.
“Ibuku kecelakaan,
tertabrak di depan rusun tempat kami tinggal. Rumah sakit mungkin tidak
menolak, tapi perawat waktu itu tidak langsung mengurusnya dan sibuk menanyaiku
soal pembiayaan penangannya…” Mark menatap Emily yang terlihat sedikit pucat
mendengar ceritanya. “Perawat itu terus memintaku untuk mengisi data ini dan
itu, membayar formulir dan banyak lagi. Sementara ibuku sama sekali tidak di
urus. Kejadiannya sudah 15 tahun yang lalu…” Mark tersenyum lalu mendekat ke
arah Emily sebelum Emily mengambil ponsel dalam tasnya.
Emily mulai
terlihat panik dan ketakutan ia begitu berpikir keras bagaimana caranya pergi
meninggalkan Mark yang makin lama makin menakutkan.
“Suster tolong
ibuku dulu, aku janji akan membayarnya. Aku janji akan membayar semuanya. Tapi
suster itu malah menyodorkan dokumen lain dan formulir yang harus ku isi.
‘Ambil antrian, lalu pembayaran di muka…’ kata suster itu yang mengabaikan
ibuku. Suster Emily, apa kamu lupa pada anak laki-laki yang terus mengiba
padamu itu?” Mark tersenyum sambil mendekat ke arah Emily lalu mencengkram
bahunya dengan begitu erat.
Emily begitu ketakutan,
ia hanya bisa menggeleng sebagai bentuk kebohongan dan elakannya. Sekarang
terjawab sudah mengapa pria muda nan rupawan di hadapannya ini mau berkencan
dengan wanita tua sepertinya.
Mark menyeret
Emily sampai ke tangga yang mengarah ke gudang bawah. “Suster, kenapa kamu
membiarkan ibuku mati?” tanya Mark berharap jawaban Emily akan merubah
pikirannya.
“A-aku hanya
mengikuti prosedur, i-itu salah dokter yang berjaga…” jawab Emily begitu
ketakutan.
“Ah jadi benar itu
kamu!” ucap Mark lalu mendorong Emily hingga jatuh berguling menuruni tangga
dan menghantam pintu gudang bawah.
“M-Mark…ampun…”
lirih Emily begitu melihat Mark dengan santai berjalan menuruni tangga mendekat
ke arahnya.
“Jangan yang itu,
urus pasien yang satunya saja. Administrasinya belum terdaftar!” Mark menirukan
ucapan Emily yang melarang dokter jaga waktu itu untuk mengurus ibunya. [Next]