Bab 21 – Di Rumah
Pov Beni :
Dari kemarin
Aya tak membalas pesanku. Aku jadi sedikit khawatir padanya. Aneh, biasanya aku
tidak begini. Harusnya kan aku lega karena sudah menyatakan perasaanku. Kenapa aku
malah jadi makin terobsesi begini setelah tau perasaannya juga. Tapi sudahlah
selama janur kuning belum melengkung, apa salahnya aku coba memikat Aya
habis-habisan.
Bersyukur menjelang malam aku bisa mendapat balasan. Aku senang tiap kali Aya kelabakan menerima transferan dariku. Aya yang malu-malu kucing menerimanya dan akan tetap menyimpannya. Aku tidak peduli di gunakan untuk apa uang-uang yang ku kirim padanya. Tapi kurasa aku jelas memberinya jauh lebih banyak daripada Arman.
“Kamu
transfer Aya?” tanya Papa yang mengintipku sedari tadi sebelum terbang pulang.
Aku
mengangguk sambil tersenyum sumringah.
“Kenapa? Dia
kan ada bapaknya…”
“Aku mau
dia tergantung sama aku, biar aku doang yang ada di dunianya,” jawabku
blak-blakan lalu tertawa terbahak-bahak.
Papa hanya
geleng-geleng kepala lalu menghubungi Mama.
***
Aku mendarat
lagi menjelang siang, aku sudah lapar tapi Papa enggan mampir untuk makan dan
meminta langsung cepat pulang. Pasti sudah kangen Mama, tapi yasudah lah nanti
berati aku bisa mampir kerumah Arman untuk memberi kejutan pada Aya.
“Itu
temenmu bukan?” tanya Papa yang melihat ada Irsyad duduk di lantai teras depan.
“Itu
cowoknya Aya,” jawabku singkat dan aku jelas sudah tau jika ada Aya di rumah.
“Menyedihkan
banget cowoknya, kayak gembel,” komentar Papa lalu langsung turun menemui Mama.
“Weh! Ada motor
Aska nih!” seruku sengaja agar Aya tau jika aku ikut pulang.
“Om Beni!”
serunya lalu berlari ke arahku untuk memberiku pelukan sambutannya yang terlihat
jelas jika ia merindukanku.
Aku
tersenyum sumringah menyambut pelukannya dan sedikit mengangkat tubuhnya yang terasa
jauh lebih ringan daripada alat-alat beban fitnesku. Irsyad terlihat jelas
mengintip dari luar dan aku sengaja menunjukkan kedekatanku dengan segala
interaksi fisik yang tak mungkin bisa ia lakukan bersama Aya.
“Cowokmu
kesini juga?” tanyaku pada Aya.
Aya mengangguk.
“Katanya mau ada yang di omongin. Tapi aku ada disini mau kasih kejutan buat Om
Beni, jadi ikut kesini deh,” jawab Aya yang masih memelukku.
“Yaudah
kesana,” ucapku yang di angguki Aya. Aku langsung mengikutinya, penasaran
dengan masalah apa lagi yang di perbuat cowok tidak bermodal itu.
“Om Beni didalem
aja gak usah ikut,” ucap Aya coba menahanku sembari mendorongku pelan.
Aku
menggeleng. “Aku masih kangen sama Aya,” bisikku yang membuatnya bersemu yang
membuatku sukses bisa mengikutinya bertemu dengan Irsyad.
Jujur aku
tak peduli pada apa yang coba ia jelaskan pada Aya. Melihat wajahnya saja sudah
membuatku benar-benar muak. Kalau bukan karena dia tunangannya Aya sudah ku
seret masuk dan ku jadikan samsak seperti anak-anak yang coba menguji nyalinya
datang kesini.
Ia terus
melihatku dengan pandangannya yang menjijikkan itu. Ingin ku congkel matanya. Hingga
ia mencoba merebut ponsel Aya, datanglah kesempatanku. Plak! Aku tak dapat
menahan senyum girangku setelah menampar wajahnya. Sial! Aku kurang keras
menamparnya tadi.
“Apa? Kurang
kenceng? Mau lagi?” tantangku berharap akan memancing emosinya dan memberiku
kesempatan emas untuk menghabisinya.
Ia terdiam dan
dengan lancang masih berani memandangiku bahkan memelototiku seperti itu. Aku sudah
bisa membayangkan betapa tipisnya kelopak matanya dan betapa mudah jika aku
akan mencongkel matanya itu. Tapi Aya tiba-tiba mengajaknya bicara lagi dan
menyuruhnya pulang.
“Kamu sama Abang
kesini gak dimarahin Ayah?” tanyaku memastikan.
Aya
menggeleng. “Tadi pagi Mama tiba-tiba kerumah terus ngajak aku kesini, katanya
Om Beni mau pulang. Jadi aku ikut, rencananya mau kagetin. Tapi kayaknya gagal
deh tadi,” jelas Aya.
Aku tertawa
mendengar penjelasannya. Aku hanya berharap orang tuaku tidak ikut campur dan
bicara macam-macam pada Aya terlebih dahulu.
“Ayah sama
Bunda tau?” tanyaku lagi.
Aya
mengangguk. “Emang kenapa? Tumben tanya itu mulu?” tanya Aya.
Aku
menggeleng. “Kemarin kan aku sempet agak marah sama Ayahmu,” ucapku jujur lalu duduk
di sofa ruang tengah sementara Mama asik membongkar koper bersama Aska mengeluarkan
segala oleh-oleh dan barang-barangku.
Meskipun
Aska sudah besar rasanya ia tidak sedewasa Aya. Aska masih saja suka penasaran dengan
oleh-oleh dan isi kulkas padahal hanya itu-itu saja isinya.
“Cowokmu
gak bikin masalah kan?” tanyaku pada Aya yang duduk di sampingku.
Aku ingin
merangkulnya dan mendekapnya saat ini. Aku tidak tahan, tapi rumah terlalu rame
dan ada Aska juga. Jadi apa boleh buat.
“Aku gak
tau, tapi kemarin Abang bilang liat dia sama cewek di acara party kampusnya,”
jawab Aya mulai murung.
Aku coba
menahan senyumku dan menahan diri untuk mendengar segala masalah dalam percintaan
Aya.
“Terus
gimana?” tanyaku antusias.
Aya
menggeleng. “Aku ragu kalo itu beneran Irsyad, tapi tadi tiba-tiba ada cewek
yang chat aku tanya soal Irsyad di DM…”
“Yang tadi
di depan pintu itu ya?” selaku yang langsung di angguki Aya.
“Aku sebelumnya
gak percaya, tapi gara-gara habis di chat tadi jadi ragu sama perasaanku
sendiri…” ucapnya menggantung.
Aku mati-matian
menahan senyumku. Aku mengerutkan keningku dan menaikkan sebelah alisku. “Gimana
maksudnya?” tanyaku lalu mendekat pada Aya.
“Ini…”
ucapnya lalu menunjukkan foto yang ia dapat dari Aska.
“Abang yang
kasih tau?” tanyaku memastikan. Aya langsung mengangguk. “Terus kenapa kamu gak
percaya kalo udah Abang yang kasih tau?” tanyaku heran.
Aya
menghela nafas. “Irsyad itu ke aku gak pernah pegang-pegang kurang ajar kayak
gini Om, masak iya dia berani kayak gitu sama cewek lain?”
“Kenapa gak
mungkin? Bukannya dia bikin kamu cuci piring sendirian waktu acara keluarga? Dia
juga berani ninggalin kamu di kebun binatang, apa yang tidak mungkin dia
lakukan? Dulu juga kamu gak jadi dijemput dia kan waktu beli bahan kue buat
ultahnya? Waktu dia ulang tahun juga, kamu malah nyamperin aku di kampus…”
“Tapi kalo
dia gak suka aku kenapa mau tunangan?”
“Ya,
seburuk-buruknya cowok pasti cari cewek baik Ay. Emang Ayah gak kasih tau?”
Aya hanya
diam, matanya langsung berkaca-kaca. Ia menundukkan pandangannya memandangi
wajah perempuan yang baru mengiriminya pesan tadi. Aku tidak suka melihat Aya sedih,
tapi melihatnya patah hati aku suka. Aku jadi bisa lebih mudah membuatnya move
on kalau begini.
“Jangan
sedih, kan ada Om Beni,” hiburku.
“Aku takut
kalo nanti gagal menikah…” lirihnya lalu mematikan ponselnya sambil menatapku.
“Nikah sama
Om Beni lah!” seruku santai yang membuat Aya langsung tersenyum.
“Tapi Om Beni temen Ayah…” lirihnya seiring senyumnya yang memudar. [Next]