Epilog
“Yakin mau
kamu temui Yuk?” tanya Gandi, orang tua Ayu yang selama ini diklaim sebagai
Kakek dari Sarif.
Ayu
mengangguk sembari mengusap airmatanya yang kecewa karena bahkan diakhir
hayatpun suaminya masih menipunya. Ayu merasa benar-benar di bohongi dan merasa
jika Sarif dan ibunya layak setidaknya sekali bertemu dengannya. Ayu ingin
dengar segala kesaksian dari gundik yang begitu dilindungi mendiang suaminya
itu.
Tengku Ali
Zainal, cintanya yang membuat perasaannya selalu bertepuk sebelah tangan.
Menghancurkan hatinya, mengacaukan karirnya, membuatnya hidup penuh pengorbanan
untuk membesarkan anak dari seorang gundik. Mirisnya Ayu juga percaya jika
gundik itu sudah mati dan mau menerima bayi tak berdosanya saat itu. Entah apa
yang nanti akan ia dengar, entah apa pilihan Sarif setelah ini, dan entah ia
harus bersikap seperti apa setelah ini.
***
Cantik
tampak ragu dan takut untuk menemui Ayu. Meskipun ia datang menaiki mobil dinas
yang digunakan Sarif. Cantik membayangkan segala kemarahan Ayu padanya. Tapi ia
juga ingat ucapan Ali yang menjanjikan Sarif yang kembali dan akan membawa
banyak keberkahan untuknya. Jadi sepanjang jalan ia terus menguatkan dirinya
sembari memandangi Sarif yang begitu mirip dengan mendiang ayahnya.
“Kamu
ganteng, mirip Ayahmu,” ucap Cantik sembari mengelus bahu Sarif.
Sarif
mengangguk, ia jadi teringat pada Ayu yang sering mengatakan itu padanya tiap
memujinya saat terlihat tampan.
Perjalanan
terasa canggung. Cantik merasa gugup sementara Sarif merasa sedih. Ia tak yakin
akan kuat atau tidak meninggalkan Ayu yang selama ini ia anggap sebagai Ibu.
“Sarif
habis ini mau ikut Mama apa Ibu?” tanya Cantik dengan lembut dan penuh harap.
Sarif diam
cukup lama mempertimbangkan. “Mama,” jawab Sarif dengan segala pertimbangannya
meskipun dalam hatinya ia ingin terus bersama Ayu. Sarif ingin terus bersama
Ibunya yang biasanya, Ibu yang membesarkannya dengan sepenuh hati bukan dengan
wanita yang menjadi simpanan dan tak pernah coba merawatnya atau datang
mencarinya ini.
“Nanti Mama
coba minta ke Ibu Ayu biar Sarif bisa pindah sepenuhnya ikut Mama ya,” ucap
Cantik sembari merangkul Sarif.
Sarif hanya
mengangguk pelan. Sarif ingin menangis, tiap mil perjalanannya pulang terasa
seperti semakin dekat dengan perpisahan dengan Ibunya. Setiap menitnya terasa
sepeti ia sedang membangun benteng pembatas besar yang tak mungkin bisa ia
masuki lagi setelahnya.
Begitu ia
sampai di rumah, Sarif melihat Ayu yang sedang menghisap rokoknya dan tampak
sedang menantinya pulang. Cantik tampak begitu gugup dan takut di hadapan Ayu,
hingga tangannya berkeringat dingin karenanya. Sementara Ayu yang akhirnya
melihat gundik peliharaan suaminya yang katanya sudah mati itu dengan pandangan
begitu merendahkan.
“Katanya
kamu sudah mati…” sindir Ayu dengan dingin sembari mempersilahkan Cantik masuk
dan duduk di dalam ruang kerjanya. “Sarif tutup pintu terus duduk disini!”
perintah Ayu yang langsung di patuhi Sarif.
Cantik
berusaha tenang menghadapi Ayu yang tampak begitu mengintimidasi dan sangat
mengancam baginya. Seorang istri sah yang dikhianati, suaminya direbut, bahkan
saat sudah berpulang pun masih di bohongi jika gundiknya sudah mati padahal
belum. Kesakitan berlapis itu jelas bisa menjadi dasar kuat bagi Ayu untuk
melakukan apapun pada Cantik.
“Nama kita
ternyata mirip, artinya sama…” Cantik coba mencairkan suasana. Sialnya tepat
setelah itu ia merasa ucapannya barusan terdengar sangat bodoh dan kelewatan.
Lihat saja Ayu sekarang tatapannya makin tajam dan dipenuhi kebencian.
Ayu kembali
menyulut sebatang rokoknya. “Kamu tau anakmu dibawa Bang Ali?” tanya Ayu yang
di angguki Cantik. “Kamu tau aku yang asuh dia?” tanya Ayu lagi dan Cantik
memberi respon yang sama.
“A-aku tau
semuanya. Mbak Ayu yang mana, rumahnya dimana, dapil berapa, partai apa, tapi
aku ga pernah liat Sarif. Jadi aku ragu buat datang kesini. Aku takut kalo
ternyata Sarif sudah di oper ke orang lain lagi…” Cantik kini menundukkan
pandangannya dengan begitu malu tak kuasa menatap Ayu atau cengengesan
basa-basi lagi.
Sarif diam
mendengarkan penjelasan Cantik yang terdengar masuk akal dengan segala
perlindungan yang Ayu berikan selama ini padanya.
“Kenapa
kamu biarin anakmu dibawa kesini?” tanya Ayu penuh selidik.
Cantik
menatap Ayu sejenak lalu menatap Sarif bergantian. “Dulu aku masih kuliah,
Abang gak pengen aku putus kuliah. Jadi dia bilang kalo Sarif bakal lebih aman
kalo ikut sama Mbak Ayu dan aku bisa lanjut kuliah lagi kayak masih gadis.
Abang juga kasih aku biaya sampai selesai kuliah. Aku sempet ragu kalo Mbak mau
nerima anakku, tapi Abang bilang kalo dia bilang sama Mbak kalo aku udah mati.
Jadi Mbak mau ngurus Sarif, aku jadi lega. Gak lama Abang sakit, aku sempat
kepikiran buat ngejenguk Abang. Tapi waktu itu Abang bilang sebaiknya hubungan
kita disudahi saja. Abang yakinin aku suatu saat nanti Sarif bakal nyariin aku
sendiri dan bawa banyak keberkahan buat aku kedepannya. Kata Abang kalo Sarif
nyari aku lagi berarti dia punyaku dan aku berhak buat mewarisi hartanya
Abang.”
Ayu hanya
tertawa mendengar ucapan Ayu. “Abang yang kamu banggakan itu jadi kere dan
penyakitan. Makannya dia balik ke istri sahnya…” Ayu menunjuk dirinya. “Kamu
merasa pernah nikah apa cuma diewe doang? Dia ga pernah nyinggung soal kamu.
Kamu juga ga perlu ngarang soal harta warisan. Orang Abang itu bilang kamu udah
mati. Gimana bisa mayat mewarisi harta dari mayat yang lain?” Ayu tertawa
terbahak-bahak lagi mendengar ucapan Cantik yang begitu licik coba
mengancilinya.
Sarif juga
cukup terkejut mendengar penuturan Cantik yang coba menipu Ayu. Sarif paham
betul kemampuan finansial Ayu yang bekerja keras siang malam untuknya. Nyaris
tak ada sedikitpun warisan yang Tengku Ali sisakan untuk mereka.
“Ada motor
Supra X di belakang, itu ambil aja kalo mau,” ucap Ayu sambil masih tertawa
mengejek gundik simpanan suaminya itu lalu mengibaskan tangannya sebagai
isyarat untuk keluar dan menyudahi pertemuan kali ini.
Cantik
hanya diam tampak bingung dan tak paham dengan cara Ayu memerintah. Sementara
Sarif yang sudah begitu malu karena perbuatan ibu kandungnya langsung sigap
membuka pintu dan ingin mengajaknya pergi.
“Ini,
anggap saja santunan buat fakir miskin. Pulanglah,” ucap Ayu memberikan segenggam uang lembaran seratus ribuan yang
ada di dalam kantong dasternya dengan santai pada Cantik sebelum beranjak
pergi.
Cantik
memang berjalan keluar bahkan sampai keluar gerbang. Sementara Sarif masih ada
di rumah dan memutuskan untuk berkemas dan ingin pindah ikut bersama ibu
kandungnya. Ayu yang sadar pasti Sarif akan memutuskan itu memutuskan untuk
pergi berkunjung ke rumah pejabat daerah lain di kabupatennya dengan alasan
silaturahmi daripada harus mengucapkan salam perpisahan dengan Sarif.
“Ibu itu
pemaaf, gimanapun juga dia juga Ibumu. Kalau kamu diperlakukan buruk pulanglah,
pasti masih diterima,” ucap Gandi yang mengantar kepergian cucunya yang
akhirnya mengambil keputusannya sendiri.
“Akung…aku
sayang Akung, aku juga sangat menyayangi Ibu. Aku malu orang tuaku jahat semua
ke Ibu,” pamit Sarif sembari memeluk Gandi yang selama ini ia anggap sebagai
kakeknya sambil memeluknya erat sebelum akhirnya pergi bersama Cantik dengan
hanya membawa baju dan surat-surat yang akan memudahkan kepindahannya nanti (Tamat).