Bab 5 : Mencari Ibu
Sarif terus memikirkan Ayu dan ucapannya. Mungkin benar ia jadi penghalang kenapa Ayu tak kunjung menikah dari dulu. Sarif mulai menghitung sudah berapa tahun Ayu sendiri tanpa pasangan. Jika mengingat Ayahnya yang meninggal saat ia berusia 2 tahun kemungkinan Ayu sudah sendiri selama 13 tahun. Tanpa pasangan tanpa keromantisan dalam hidupnya.
Kegiatan
Ayu juga hanya bekerja, berorganisasi, berpolitik, turun kelapangan.
Menjenuhkan, begitu padat dan selalu dikejar waktu. Begitu banyak tanggung
jawab yang tak bisa diceritakan pada siapapun. Semua ditelan sendiri.
Sarif jadi
merasa bersalah pada Ayu. Mungkin sudah saatnya ia pergi dan membiarkan Ayu
hidup sesuai dengan kehidupannya yang seharusnya. Ayu juga berhak bahagia,
berhak hidup bebas tanpa beban, dan yang terpenting berhak memiliki keluarganya
sendiri.
“Ibu… Ibuku
yang gundik itu apa Ibu kenal?” tanya Sarif malam saat semua sibuk takbiran.
Ayu
mengangguk dengan ragu. “Ibu tau doang, enggak kenal. Tapi pasti dia tau Ibu.
Kenapa?”
“A-apa kalo
aku mau ketemu Ibuku yang asli boleh?” tanya Sarif yang membuat alis Ayu
berkerut.
Ayu tau
sejak ia Sarif bertanya soal gundik saat masih berusia 5 tahun dulu. Maka
pertanyaan soal ibunya yang asli akan segera menyusul. Bersamaan juga dengan
keinginan mencari ibunya yang pasti akan segera terlontar di kepalanya.
Ayu
mengangguk lalu mencari berkasnya. “Dulu Ayah bilang kalo ibumu namanya Cantik.
Ayah bilang dia meninggal waktu lahirin kamu, makannya kamu dibawa kesini…” Ayu
menyerahkan berkasnya. “Nih, ini ada alamatnya. Dia di Pemalang, gak jauh lah.
Masih sama-sama Jawa Tengah,” lanjut Ayu dengan santai sembari memberikan
beberapa berkas yang mungkin bisa membantu Sarif mencari ibunya.
“Ibu udah
pernah cek kesana?” tanya Sarif yang digelengi Ayu.
“Dia
ngerebut suamiku, ngapain juga aku harus datengin pemakamannya. Kurang kerjaan
banget, mana bikin aku jadi repot. Harus ngurus banyak gosip, belum lagi
masalah yang harus aku tutupin. Karirku jadi terlambat juga,” jawab Ayu acuh
tak acuh yang dapat lebih dipahami Sarif saat ini.
Sarif
mengangguk paham lalu memandang surat dan berkas yang diberikan Ayu.
“Kalo kamu
mau cari dia nanti biar ditemani sama supir Ibu aja, Ibu sibuk.”
Sarif
mengangguk lalu mulai mencari dari internet terlebih dahulu. Mencari alamat
yang ia terima di google maps. Melihat kondisi medan yang harus ia lalui dari
sana. Lalu memikirkan apakah yang akan ia terima nanti?
Terlepas
kabar soal kematian ibunya yang asli. Di hatinya Sarif masih yakin jika Ibunya
masih hidup dan hanya sedang menyembunyikan dirinya. Kalau masih hidup apakah
mau menerimanya? Kalau sudah mati apa ia akan cukup puas jika hanya berziarah?
Segala kemungkinan menjadi pertimbangan Sarif yang baru menginjak remaja itu.
Malam ini
kali pertama kalinya bagi Sarif untuk begadang, bahkan tak tidur sama sekali.
Pikirannya tak tenang membayangkan bagaimana ibunya yang asli. Memikirkan
kenapa bisa ibunya yang asli membuangnya padahal disini ada Ayu yang bukan ibu
kandungnya malah merawatnya dengan begitu baik. Sarif terus memandangi fotonya
bersama Ayu dan Kakek yang begitu ceria.
Tapi malam
itu juga Sarif menguatkan hatinya untuk tetap pergi mencari ibunya. Jadi pagi
setelah solat ied dan acara maaf-maafan di rumah, Sarif langsung mengajak
supirnya pergi ke Pemalang. Ayu hanya memberi izin tanpa ada tanda-tanda ingin
mencegah.
Wanita itu
terlihat begitu kuat dan tegar dengan segala yang menerpanya. Wajahnya datar
sulit di tebak, senyumnya tak sungguh-sungguh teresnyum, murungnya tak
benar-benar bersedih. Seolah ekspresinya hanya formalitas sebagai manusia saja.
***
Perjalanan
yang harusnya 6 jam terasa lebih cepat hampir separuhnya karena lewat jalan tol
dan masih harus tanya dimana alamat pasnya. Mungkin kalau sudah biasa dan sudah
tau bisa lebih cepat lagi. Begitu Sarif bertanya pada warga sekitar sejujurnya
ia lebih berharap untuk di tunjukkan saja dimana makam orang yang bernama
Cantik Nur Syifa ini daripada menunjukkan dimana orang itu tinggal.
Rumahnya
sangat sederhana, jelas kalah jauh dengan rumah yang biasa Sarif tempati.
Bahkan dibagian belakangnya juga masih menggunakan gedek dan ada tumpukan kayu
bakarnya juga. Orang-orang di dalam rumah juga langsung berbondong keluar
begitu melihat sedan berplat merah yang tiba-tiba parkir didepan rumah seolah
tak pernah melihat mobil sebelumnya.
“Permisi,
saya cari Bu Cantik Nur Syifa…” ucap Sarif begitu turun dan mendekat di
kerumunan keluarga yang baru keluar dari rumah sederhana yang cenderung miskin
itu.
“Saya
Cantik Nus Syifa, kenapa ya?” tanya Cantik dengan senyum ramahnya yang tampak
heran tiba-tiba dicari seorang pemuda seperti Sarif yang datang jauh-jauh
dengan plat AD ke rumahnya.
Sarif
terdiam lama, airmatanya langsung mengalir tanpa bisa ia bendung. “Aku Sarif
Bu, anakmu. Aku anaknya Tengku Ali Zainal. Aku tinggal sama Ibu Ayu…” ucap
Sarif begitu ia cukup kuat berbicara.
Cantik
langsung memeluk Sarif dengan hangat sambil menangis. Putranya yang selama ini
ia kira tak mungkin kembali padanya akhirnya kembali. Sesuai dengan janji
kekasihnya Ali dulu.
“Anakku…Anakku
sudah besar…” ucap Cantik lalu sambil terus memeluk Sarif dan mengelus
punggungnya.
Momen yang
begitu mengharukan itu hanya bisa di saksikan oleh supir dinas Ayu yang
mengantar Sarif di kejauhan. Perasaannya ikut terharu, tapi supir itu juga
terpikir bagaimana perasaan Ayu. Tak punya keluarga lain selain ayahnya dan
Sarif. Sarif juga bukan anak kandungnya dan sekarang terlihat begitu bahagia
bersama ibu kandungnya.