Bab 4 : Anak Baik
Sarif
terngiang-ngiang bagaimana Kakek yang memarahinya karena mengatakan jika ia
benci pada Ibu dulu, teringat pula pada bagaimana Ibu memperlakukannya dengan
baik dan sangat kontras dengan Kakek yang selalu ingin mengusirnya. Semua jadi
terasa jelas karena ia memang bukan anak Ibunya selama ini. Sarif masih tak
paham apa itu gundik, apa itu simpanan, apa itu pelacur. Tapi yang jelas ia
paham ia bukan anak ibu.
“Makannya
kalo Ibu bilang ga suka kalo adek di tanya-tanya nanti ada gosip jadi kayak
gini…” Ayu coba menjelaskan pada Sarif di kamarnya setelah para tamu pulang.
Sarif hanya
diam lalu mendekat pada Ayu dan memeluknya dalam diam.
“Kalo Ibu
kasih tau itu jangan langsung di bantah. Ibu tau yang terbaik buat adek, tapi
adek malah marah-marah…”
“Kenapa Ibu
mau urus aku kalo aku bukan anak Ibu?” tanya Sarif sembari menatap Ayu yang
mengelus punggungnya dengan lembut.
Ayu diam
memikirkan jawaban yang paling tepat dan bisa diterima oleh Sarif. “Soalnya
Sarif anaknya suami Ibu. Jadi, Sarif anak Ibu juga. Ibu gak peduli kamu siapa
yang melahirkan, kamu kan dari bayi Ibu yang urus,” ucap Ayu lalu tiduran
disamping Sarif.
Sarif diam
cukup lama sambil memeluk Ayu. Memandangi wanita yang selama ini ia panggil Ibu
itu. Perasaannya jauh lebih tenang dari sebelumnya. Sarif jadi paham kenapa Ayu
marah kalau ada yang bertanya padanya soal kehidupan pribadinya. Sarif jadi
paham kenapa kepo itu membahayakannya. Sari jadi betul-betul mengerti
betapa penting menjaga jarak dari teman-temannya, dari lingkungan yang terlalu
banyak ingin tau soal dirinya.
“Aku sayang
Ibu…” lirih Sarif dengan suara yang bergetar.
Ayu
mengangguk lalu mengecup kening Sarif lembut.
“Jangan
ngeyel, jangan nakal, jangan terlalu banyak tanya kalo Ibu perintah…” Sarif
mengangguk dengan patuh. “Gimana sekolahmu?” Ayu mengalihkan pembicaraan.
“Kemarin
waktu Ibu gak ada, temanku ejek-ejek aku kalo aku anak haram, anak gundik, anak
yatim…”
Ayu
mendengarkan tiap cerita dari Sarif yang baru ia tinggal 2 hari dan sudah
banyak kekacauan yang timbul. Sejenak Ayu menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin
ini tidak terjadi kalau ia tidak gegabah melabrak pemilik warung pop ice itu.
Tapi ia juga merasa ini memang jalannya, ia tak bisa terus berbohong pada Sarif
tentang siapa dirinya sebenarnya.
“Besok kalo
masih di ejek, Ibu carikan sekolah baru buat Adek…” lirih Ayu lalu bangkit dari
tidurnya. “Ibu mau kerja dulu,” ucapnya lalu keluar dari kamar Sarif.
“Ibu…”
tahan Sarif sebelum Ayu benar-benar pergi.
“Ya?”
“Ibu pernah
diejek juga?”
Ayu
mengangguk. “Setiap hari, Ibu kan pejabat. Kenapa?” Ayu kembali mendekat dan
duduk di ujung tempat tidur.
“Kalo
jahatin Ibu?”
Ayu tertawa
lalu mengangguk.
“Kalo
berkhianat?”
Ayu
perlahan berhenti tertawa lalu menatap Sarif, melihat dosa yang terlihat atas
pengkhianatan nyata yang dilakukan suami dan gundiknya. Memandangi dosa orang
lain yang ia tanggung bahkan memanggilnya Ibu.
“Pernah
lah, biasa itu…”
“Apa Ibu
sedih?”
Ayu kembali
tersenyum lalu mengangguk. “Iya lah, tapi dunia ini dipenuhi orang jahat, orang
egois, orang yang gak peduli sama kerugian orang lain selama dia hidup enak.
Dunia ini egois, keras, jadi kalo gak jadi egois dan keras juga bisa sedih
terus, kecewa terus, di jahatin terus.”
“Ibu
maafkan?”
Ayu terdiam
sejenak. “Gak ada yang berani minta maaf sama Ibu.”
“Kalo
berani minta maaf, Ibu maafkan?”
Ayu
mengangguk pelan. “Tapi Ibu tetap ingat semuanya.”
Sarif
menatap Ayu lalu menggenggam tangannya tapi kali ini Ayu tak menggenggamnya
lama seperti biasanya. Ayu langsung pergi melanjutkan aktivitasnya seperti
biasanya. Hari ini Sarif sudah terlalu banyak memaksanya untuk mengorek luka
lamanya.
***
Sejak
kejadian hari itu Sarif akhirnya dipindahkan ke sekolahan yang lebih jauh dari
rumah tapi lebih dekat dengan kantor tempat Ibunya bekerja. Semua jadi lebih
terkontrol sekarang. Sarif juga lebih mudah di atur dan menerima perintah. Ia
masih ceria seperti dulu, hanya saja akan langsung menghindar tiap di tanya
soal orang tuanya dan langsung menjauhi temannya yang bertanya.
Sarif yang
semakin besar juga terus berusaha untuk banyak membantu dan berguna untuk Ayu.
Mulai membantunya membawa barang sampai mengambil foto setiap ada tamu atau
datang ke acara sederhana. Sarif ingin berguna dan banyak membantu setelah
sadar perempuan yang selalu ia panggil Ibu itu bukan ibunya.
Hubungan
Sarif dan Kakeknya juga perlahan membaik sejak semua fakta terungkap. Tak ada
lagi perlawanan, bentakan, bahkan bantahan pada semua perintah Ayu dari Sarif.
Hanya ada anak baik yang patuh pada ibunya. Bahkan tak ada lagi rengekan jika
Sarif ikut dan terpaksa menunggu Ayu lama hingga urusannya selesai.
Hanya ada
anak baik yang perlahan mulai paham bagaimana kehidupan berjalan. Menjadi
pendengar di tiap perbincangan dengan teman sebayanya yang menceritakan soal
masalah rumah tangga di keluarganya. Sampai akhirnya Sarif masuk SMP dan
mengenal cinta monyet. Memahami apa itu pacaran, apa itu perselingkuhan.
“Ibu kenapa
tidak menikah lagi?” tanya Sarif sambil menemani Ayu berbelanja untuk menjamu
tamu saat lebaran nanti.
“Enggak ah
males, udah tua ngapain juga nikah lagi,” jawab Ayu santai sambil memasukkan
beberapa sirup kedalam troli.
“Ibunya
temanku umurnya 48 tahun menikah lagi, Ibu kan baru 45 tahun kenapa tidak
menikah lagi saja?”
Ayu hanya
tertawa lalu menghela nafas panjang. “Belum ada yang cocok.”
“Cocok sama
Ibu?”
Ayu
mengangguk. “Ya cocok sama Ibu, cocok sama kamu, bisa nerima Ibu, keluarga Ibu.
Pertimbangannya banyak.”
“Tapi aku
gak di terima juga gak papa. Aku kan bukan anak Ibu sungguhan, Ibu jelasin saja
biar mengerti.”
Ayu tertawa
lalu mengangguk agar Sarif berhenti mencecarnya. “Nanti kalo nemu yang pas lagi
Ibu bilang gitu deh ya,” putus Ayu.