0
Home  ›  A Mother  ›  Chapter

Bab 2 : Anak Nakal

“Gimana TPQnya?” tanya Ayu yang tak di tanggapi Sarif. Anak itu masih marah setelah kalah debat dengannya.

Ayu tersenyum melihat Sarif dengan ego dan keteguhan hatinya untuk melawannya seperti ini. Rasanya seperti melihat suaminya hidup kembali dalam versi kecilnya. Ia tak perlu ragu lagi jika Sarif bukan anak biologis suaminya, tak perlu tes DNA. Wajahnya, rambutnya, senyumnya, hidungnya, sekarang caranya marah pun mirip dengan Suaminya.

“Tadi di sekolah gimana?” Ayu masih coba merayu Sarif dengan lembut sambil memberikan sesendok tambahan tumis jamur kesukaannya.

Sarif masih diam meskipun ia tetap memakan makan malamnya dengan lahap.

“Besok Ibu ke Semarang dua hari, ada rapat. Adek gak bisa ikut, di rumah sama Akung gak boleh nakal.”

Sarif kini langsung menatap Ibunya. “Kok tiba-tiba?” tanyanya merasa sedih. Selalu sedih tiap kali ditinggal sendirian di rumah bersama Kakeknya. Meskipun sebenarnya ada pembantu juga dan Sarif juga jarang berbicara dengan Kakeknya ia tetap merasa tidak nyaman. Kadang Sarif merasa jika Kakeknya itu hanya menyayangi Ibu bukan dirinya.

“Aku tidak suka Akung, aku ikut Ibu saja…” pinta Sarif yang membuat alis Ayu berkerut.

“Nanti Ibu tambah uang jajannya, kamu kan masih harus sekolah. Besok les, besoknya latian taekwondo juga,” Ayu mengingatkan. “Ibu udah bayar mahal buat kegiatanmu, jadi kamu harus rajin biar Akung gak ikut marahin kamu,” lanjut Ayu sembari mengambilkan lagi secentong nasi dan lauk untuk Sarif.

Sarif hanya diam cemberut sealu itu yang Ayu katakan untuk menolak keinginan bolos darinya.

“Kalo sudah hari libur saja, nanti bisa ikut temenin Ibu…” ucap Ayu lembut memberi penawaran terbaiknya.

Sarif hanya mengangguk pelan. Sarif tau hanya betapa sibuk Ayu dan pekerjaan juga rapat dan pertemuan dengan banyak orang yang seolah tak ada habisnya. Sarif juga tau kalau ia ikut hanya akan merepotkan saja karena akan langsung merengek minta pulang karena bosan.

Tapi di rumah bersama Kakek bukan pilihan yang baik juga. Pandangan yang dingin dan menyudutkan dari pria tua itu ditambah dengan wajah yang selalu terlihat marah kalau ia mengajak bicara. Belum lagi jawaban atas tiap pertanyaannya yang singkat dan ketus, seolah tak memberi ruang untuknya bisa dekat.

“Akung kalo sama Ibu baik, suka tertawa, bercanda, kalo sama aku tidak. Wajahnya kayak suka marah,” ucap Sarif yang membuat Ayu tersenyum mendengar keluhannya.

***

Pagi sebelum Sarif bangun Ayu sudah berangkat ke Semarang. Urusannya tidak hanya sebatas rapat saja. Masih ada sesi ramah tamah, sarapan bersama, pencitraan dengan sesama pejabat atau pejabat yang lebih tinggi darinya. Jadwalnya begitu padat dan tak ada waktu jika masih harus mengajak Sarif dan mengurus kerewelannya.

Berbeda dengan Sarif yang paginya sudah dikejutkan dengan Kakek yang membangunkannya. Menyuruhnya mandi dan sarapan dengan dingin. Tak di ambilkan makan, tak di bantu mandi. Berbeda jika ada Ayu yang mengurusnya. Bahkan Sarif tak menonton acara kartun pagi harinya. Kakek sangat tidak suka jika melihat Sarif makan sambil menonton TV, memakan banyak waktu. Kakek benci keterlambatan.

Sarif bisa bersiap sendiri, pembantu di rumah juga siap membantu sebenarnya. Tapi pagi ini Sarif sudah rapi dan bisa mandiri karena takut dengan Kakeknya.

“Kemarin kamu kenapa bentak anakku?” tanya Kakek dengan dingin pada Sarif.

“Kemarin?” tanya Sarif bingung.

“Kamu bilang benci Ibu, kan?” tanya Kakek memperjelas dan kini terasa sangat menyudutkan Sarif yang merasa seperti sedang di labrak.

Sarif hanya bisa diam. Ia ingin menangis sekarang. Tak ada yang bisa membelanya selain Ayu, Sarif sendiri sebenarnya sudah lupa jika ia membentak Ayu sebelumnya. Sarif merasa jika ia dan Ayu sudah saling bicara berarti mereka sudah berbaikan.

“Sudah diurusi dari bayi, malah bilang kayak gitu! Dasar anak nakal! Gak tau diri!” sindir Kakek lalu kembali dengan aktifitasnya sembari mengibaskan tangan enggan menyalimi Sarif yang akan berangkat sekolah sembari melempar uang limaribuan jatah uang sakunya.

Ini adalah hari yang berat untuk Sarif. Bukan hanya karena Ibu tidak ada tapi juga merasakan penoakan dan teguran dari Kakek tanpa mampu membela diri. Sarif coba mengalihkan kesedihannya hari ini, bermain dengan temannya seperti yang biasa ia lakukan.

“Hai!” sapa Sarif ramah seperti biasa.

“Ih Sarif anak haram, iyuhhh ga usah main sama dia!”

“Iya! Kata Mamaku dia ternyata bukan anak Ibunya!”

“Sarif kan anak gundik.”

“Udah yatim, anak gundik juga.”

Ejekan demi ejekan bersautan meneriaki Sarif yang tak tau apa-apa. Sarif hanya tau jika ayahnya sudah meninggal, tapi tentang gundik…Sarif bahkan tak tau apa itu artinya. Paginya yang suram kini membuat seluruh harinya terasa suram. Teman-temannya mulai menjauhinya, ejekan demi ejekan terus terlontar padanya.

Bahkan ejekan itu juga berlanjut hingga di tempat TPQ. Anak gundik, sekarang itu tersemat di nama Sarif. Anak haram dari seorang gundik yang kini jadi yatim. Sarif terus di ejek, tapi tiap ia ingin melawan dan berkelahi dengan para pembulinya membuatnya teringat pada perawanannya kemarin pada Ayu.

Bagaimana jika kondisinya akan memburuk jika Sarif melawan? Bagaimana jika ia akan dimarahi lebih banyak orang dewasa seteah melawan? Bagaimana jika ia dicap sebagai anak nakal? Bagaimana jika nanti ada yang meapor pada Kakek dan ia akan makin dibenci? Dan begitu banyak ketakutan di benaknya hingga Sarif hanya bisa menangis di dekat gurunya berharap akan dapat perlindungan.


 

Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share