0
Home  ›  A Mother  ›  Chapter

Bab 1 : Aku Benci Ibu

 

“Dijaga mulutnya! Gak usah tanya-tanya ke Syarif soal masalah keluargaku!” bentak Ayu begitu emosi ke sebuah warung penjual pop ice yang biasa jadi tempat nongkrong anak-anak di kampungnya.

“B-bukan saya Mbak yang tanya… orang lain…” si pemilik warung begitu tergagap tak menyangka jika pertanyaannya pada Sarif bisa sampai ke telinga Ayu, politikus muda yang kembali ke rumah orang tuanya sejak di tinggal mati suaminya.

“Siapa yang tanya? Sebut namanya kalo emang bukan kamu?!” cecar Ayu dengan tegas dan bentakan yang tertahan setelah melihat ada petani yang lewat dengan tumpukan jerami yang mengisi penuh kedua keranjang di sepedanya.

“Mbak…” sapa petani itu dengan ramah sambil berlalu dan Ayu ikut tersenyum ramah seperti tak terjadi apa-apa.

“Sekali lagi kamu tanya macem-macem ke Sarif, kamu cari-cari bahan gosip ke dia. Aku bakar warungmu!” tegas Ayu sebelum akhirnya pergi dari warung itu dengan emosi yang coba ia tahan.

Persetan dengan bagaimana reaksi si penjual pop ice itu, yang jelas Ayu hanya coba melindungi Sarif. Sarif kecilnya yang masih berusia 5 tahun.

***

“Ibu!” teriak Sarif yang langsung membentak Ayu begitu masuk ke ruang kerjanya. Nafasnya terengah-engah, dadanya terlihat naik turun, tangannya berkacak pinggang setelah mendorong pintu dengan begitu kerasnya. “Kenapa Ibu marahin ibunya temanku?!” bentak Sarif lagi kini sembari berjalan mendekat ke arah Ayu dan memukul meja kerjanya.

Ayu hanya menatap Sarif sejenak lalu berkedip dan kembali fokus dengan pekerjaannya meneliti berkas kanvasing yang tertumpuk penuh menjulang di atas meja kerjanya sebagai bahan persiapan pemilu kedepan.

“Ibu kenapa sih suka marahin ibunya temanku! Ibu bikin malu!” Sarif kembali berteriak dan kembali memukul meja kerja Ayu.

“Soalnya ibunya temanmu kepo sama kehidupan kita,” jawab Ayu dengan tenang lalu memberikan selembar uang lima ribu agar Sarif bisa pergi jajan di tempat TPQ nanti. “Ibu sibuk…” usir Ayu singkat.

“Dia cuma tanya bukan kepo!” Sarif coba membela yang membuat Ayu tersenyum. Sarif begitu polos, kanvas putih bersih yang kosong, mahluk kecil tak punya dosa itu sekarang paham caranya melawan dan mendebatnya dengan segala yang ia bisa.

“Emang kamu tau kepo itu apa?” tanya Ayu dengan nada mengejek dan kini memutuskan untuk memperhatikan Sarif dan segala kekesalan yang disuarakannya.

Sarif diam, hidungnya kembang kempis selain karena emosi dan datang dengan berlari juga dari tadi berteriak. Sarif juga bingung apa itu kepo yang di tanyakan Ayu.

Kepo itu kalo mau tau urusan orang, kayak punya uang berapa, anaknya siapa, agamanya apa, sudah menikah atau belum, tanya sesuatu yang tidak perlu di ketahui banyak orang…”

“Tapi aku kan anak Ibu, aku Islam, aku punya uang…” Sarif menunjukkan selembar lima ribunya.

“Tapi tanya itu tujuannya buat di jadikan bahan gosip, diceritakan lagi ke orang-orang lain sambil di lebih-lebihkan. Intinya nanti jadi kita yang jahat…”

“Tidak! Tapi dia baik sama aku!”

“Kamu yakin?” pertanyaan penutup yang membuat Sarif ragu pada dirinya sendiri. “Kalo dia baik, dia gak bakal cerita ke anaknya kalo Ibu datang kesana. Temanmu gak bakal marah ke kamu, lagian Ibu tadi kesana juga gak marah-marah. Kamu lebih percaya dia kan daripada Ibu.”

Sarif makin tersudut dan kehabisan bahan untuk melawan. Anak usia 5 tahun itu baru saja coba melawan dan mendebat seorang politisi yang 7 kali lebih tua darinya.

“Aku benci Ibu, tidak ada orang yang lebih ku benci di dunia ini selain Ibu!” teriak Sarif sebagai perlawanan terakhirnya.

“Sarif!” bentak Ayu tak terima dengan ucapan Sarif.

“Aku benci Ibu!” teriak Sarif lagi lalu berlari keluar dari ruang kerja Ayu.

Ayu hanya diam sembari menghela nafas panjang sebelum mengambil sebatang rokok dan menghisapnya. Membesarkan anak seorang diri, merelakan masa emasnya untuk tetap tinggal di daerah. Kehilangan kesempatan emasnya untuk pergi ke pusat, ketempat yang lebih besar, lebih berpeluang, lebih bersinar.

Ingin marah pun rasanya Ayu tak sanggup lagi. Ia sudah memikirkan hal ini berulang kali, menanyakan pada dirinya sendiri apakah ia yakin untuk membesarkan Sarif sendirian. Mungkin tidak benar-benar sendiri masih ada orang tuanya yang membantu, tapi ia tetap harus mengalah juga. Ayu bukan seorang bujangan lagi seperti dulu.


 

Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share