Bab 5 : Move On
Hubungannya
dengan Layla cukup canggung. Tapi siapapun pasti akan canggung jika dihadapkan
pada situasi seperti ini. Baru kenal semalam, lalu membeli cincin tanpa pernah
saling kenal sebelumnya. Datuk Rafiq juga terus mengetes Rangga selama
perjalanan, mulai soal fiqih sampai hafalan doa yang Rangga ingat. Sampai pada
pertanyaan yang paling menentukan bagi semuanya.
“Nak Rangga
ini kan punya banyak pilihan, kenapa langsung mau sama Layla?” tanya Datuk
Rafiq yang seketika membuat seluruh penumpang dalam mobil tegang.
Rangga
tersenyum sambil mengangguk. “Rasanya sepeti dapat panggilan, jiwa saya
langsung terpanggil. Kayak ada feeling ini jodohku.”
Mendengar
jawaban Rangga semua orang langsung tertawa dan bernafas lega. Terutama pada
Layla yang puas dengan jawaban calon imamnya itu.
“Kemarin
orang tuaku langsung pengen cepat menikah, aku tidak masalah. Layla ada dream
wedding gak?” tanya Rangga.
“Loh emang
udah yakin Layla mau?” goda Datuk Rafiq yang membuat Layla salah tingkah hingga
wajahnya memerah.
Rangga juga
jadi ikut tersenyum malu meskipun akhirnya melihat Layla mengangguk dengan
malu-malu. Acara hari ini yang semula hanya membeli cincin jadi lebih lama
hingga makan malam bersama dan solat berjamaah. Khusus untuk solat Isya’ malam
ini Rangga yang menjadi imam disana.
Layla sudah
cemas khawatir jika Rangga tak bisa menjadi imam solat, atau tak menunjukkan
skil bacaa surah yang cukup baik. Rangga sendiri berusaha tenang dengan segala
tes yang diberikan orang tua Layla. Toh ini semua demi bisa menikahi Layla jadi
ia mau melakukannya.
Setelah
hampir seharian menghabiskan waktu bersama Layla dan keluarganya, Rangga
akhirnya pulang. Perasaannya senang tapi juga penat karena harus kembali
beradaptasi dengan lingkungan baru. Layla cantik, senyumnya begitu manis dan
semakin Rangga memandangnya semakin ia menginginkan Layla.
Sementara
Layla begitu berdebar bisa menghabiskan waktu bersama Rangga dan banyak tau
tentangnya dari obrolan Rangga dan keluarganya. Keputusan untuk setuju di
jodohkan rasanya bukan keputusan yang buruk baginya. Ini seperti memangkan
undian dan memakai seluruh keberuntungan dalam hidupnya.
***
“Gimana?
Suka gak?” tanya Zainab antusias dengan apa yang sudah dilalui putranya hari
ini meskipun sudah dapat laporan langsung dari Farah.
“Pengennya
gak heboh Ma, aku pengen cepet nikah.” Rangga menghela nafas sembari duduk
bersandar disofa dan menunjukkan struk pembelian cincinnya.
Zainab
mengangguk dan senang dengan keputusan putranya. Zainab tau jika Rangga sudah
tinggal bersama dengan Cika dan hari ini tiba-tiba memutuskan untuk melakukan
balik nama dan memberikan segalanya pada Cika. Zainab tak ingin protes sama
sekali, baginya ini sudah sepadan dengan apa yang sudah mereka lalui dan Cika
tak akan merasa rugi jika begini. Yah, ini cara putus terbaik, perpisahan yang
baik.
Rangga
kembali menghela nafas lalu melangkah ke kamarnya dan buru-buru masuk enggan
banyak mengobrol lagi setelah menyampaikan keinginannya menikah cepat. Rangga
baru membuka pesan dari Cika. Melihat kekasihnya yang kini aktif mengabarinya
terlebih dahulu. Mulai mengejarnya dan Rangga sudah tak lagi tertarik seperti
dulu.
Rangga
hanya membacanya lalu mengirim emoji jempol dan tak lagi menanggapinya. Ia tak
mau Cika terus terikat dengannya, ia tak mau menghabiskan seumur hidupnya untuk
melawan keluarga dan mengejar ah atau lebih tepatnya memaksakan restu dari
orangtuanya. Bukan itu kehidupan yang Rangga inginkan, Rangga pikir Cika pun juga tak menginginkan
kehidupan seperti itu.
Cika yang
cantik, berbakat, ramah, idola banyak orang. Cika juga berhak mendapat
kehidupan yang baik. Mendapat pasangan yang mampu menerimanya, tak hanya
pasangannya tapi keluarganya juga. Menerima kekurangannya, kesalahannya,
mengampuni skandalnya. Cika juga berhak atas hal itu, sayangnya Rangga bukan
orangnya.
Rangga
membasuh tubuhnya, menikmati guyuran shower dengan air dingin yang
menyegarkannya. Mencukur kumis dan janggutnya yang mulai tumbuh. Melihat
beberapa perawatan wajah yang dulu tak pernah terlintas untuk ia gunakan kalau
saja bukan karena mengenal Cika. Cika memaksanya dan begitu memperhatikannya.
Rangga
tersenyum kecil mengingat kadang Cika memperlakukannya seperti anak-anak. Cika
begitu keibuan, begitu mengaturnya, begitu dewasa, penuh cinta saat mereka
bersama. Begitu berbeda dengan Layla yang pemalu dan kalem. Layla pendiam,
mungkin karena belum mengenalnya dengan baik. Tapi gadis itu sejenak terlihat
begitu ringkih, kadang terlihat seperti penakut, menggemaskan, rasanya Rangga
bisa menebak jika Layla adalah gadis yang mudah sekali merasa bergantung ke
pasangannya. Cika juga begitu sebenarnya, tapi entah karena kehidupannya atau
apa, kadang Rangga merasa Cika tak membutuhkannya dan bisa menangani segalanya
sendiri.
“Halo…Asalamualaikum…”
sapa Rangga menelfon Layla sambil tiduran di kasurnya.
“Wa-alaikum
salam…” jawab Layla pelan dan terdengar ragu untuk menjawab.
“Aku udah
sampe rumah nih, habis mandi, mau istirahat, kamu lagi apa? Besok ada acara
apa?” Rangga memulai segalanya dengan antusias.
“A-ak-aku…aku
juga mau istirahat. Makasih buat hari ini, aku kira Mas bakal gak suka, ilfil
ke aku…”
Rangga
langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Layla yang begitu polos dan
penuh kehati-hatian, Layla terdengar seperti gadis canggung yang tak percaya
diri. “Mana ada ilfil, emang harusnya gitu kan kalo mau nikahin anak gadisnya
ya di tes dulu. Gak masalah,” jawab Rangga.
“Aku tadi
jadi ga jadi pergi makan malam, besok aku mau pergi makan siang…”
“Sama
siapa?” tanya Rangga penasaran.
“Teman, ah!
Sudah dulu ya Mas, temanku telfon.” Putus Layla begitu saja.
Rangga
tersenyum mendengar ucapan Layla. Ternyata Layla lebih menarik daripada yang ia
bayangkan. Layla punya kehidupannya sendiri. Meskipun ia sedikit kesal karena
di abaikan begitu saja, Rangga merasa tak masalah dengan hal tersebut. Layla
sangat berbeda dengan Cika yang tak pernah meninggalkannya untuk temannya.
Mungkin iya jika sibuk, tapi saat bersama jarang Cika meninggalkannya. Tapi
bukannya ini lebih baik? Orang baru kepribadian baru. Ini cara move on yang baik.
***
Cika
melihat balasan dari Rangga yang begitu singkat. Mungkin perbedaan waktu,
pikirnya berusaha menjaga prasangkanya sembari melihat berapa jam perbedaan
waktunya. Tidak lama sebenarnya hanya 5 jam, dulu mereka pernah melalui hal
yang lebih extrim. Rangga berubah dan Cika menyadari itu dengan jelas.
Tadi saat
Rangga membalas pesannya pun Cika coba menghubunginya dan Rangga malah ada
dalam panggilan lain. Mungkin urusan bisnis, pikirnya mencoba menghibur diri.
Tapi tak berapa lama ia hanya bisa meringis mengingat Rangga tak biasanya
begitu. Bahkan sudah hampir 2 jam menunggu Rangga tak menelfonnya kembali
setelah tak sempat mengangkat telfonnya.
“Loh, udah
bangun?” tanya Hans kaget melihat Cika yang keluar dari kamarnya.
Cika
menoleh padanya cukup kaget melihat Hans yang daritadi ada di depan pintu
kamarnya.
“Lo mau
ngapain?” tanya Cika penuh curiga.
“Ini…” ucap
Hans memberikan sekotak coklat yang ia beli saat jalan-jalan lagi bersama kru
yang lain setelah sampai hotel.
“Ah!” Cika
tersenyum lalu tertawa melihat pemberian Hans lalu menerimanya. “Mau ngeteh?”
tawar Cika yang langsung di angguki Hans dengan semangat.